Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengeluarkan putusan pada 18 Maret 2020 di Jakarta yang memberhentikan tetap satu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) tingkat pusat, Evi Novida Ginting. Sedangkan, enam anggota lainnya mendapat sanksi “Peringatan Keras Terakhir”. Oleh DKPP, pemberhentian tetap kali pertama anggota KPU tingkat pusat ini bukan disebabkan karena manipulasi hasil Pemilu 2019 melainkan karena salah tafsir Putusan MK yang justru dibangun dari produk hukum KPU sendiri menyertai struktur hirarkisnya.
“Menjatuhkan sanksi Pemberhentian Tetap kepada Teradu VII Evi Novida Ginting Manik selaku Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia sejak putusan ini dibacakan,” ucap anggota DKPP, Muhammad membacakan Putusan Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019, mewakili hakim majelis Sidang Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu.
DKPP pun menjatuhkan sanksi Peringatan empat anggota KPU Kalimantan Barat (termasuk ketua). DKPP memutuskan mengabulkan pengaduan Pengadu untuk sebagian meskipun Pengadu tidak meminta sanksi “Pemberhentian Tetap” melainkan meminta sanksi dengan kalimat “seadil-adilnya”.
Hakim majelis lain, Ida Budhiati menjelaskan dalam pembacaan putusan itu sebab sanksi dijatuhkan. DKPP menilai semua anggota KPU tidak mampu menyokong terwujudnya penyelenggaraan pemilu yang berintegritas. DKPP pun menilai semua anggota KPU tidak dapat menjaga kemurnian suara pemilih dengan tidak menerapkan sistem pemilu proporsional daftar terbuka, berdasarkan suara terbanyak (caleg).
Sebelumnya, tujuh anggota KPU (termasuk ketua) bersama empat anggota KPU Provinsi Kalimantan Barat (termasuk ketua) diadukan ke DKPP oleh Hendri Makaluas (Anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat). Semuanya diadukan atas kasus pelanggaran kode etik berupa perubahan perolehan suara Pemilu 2019 di Dapil Kalimantan Barat 6 untuk Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) atas nama Hendri Makaluas, Caleg Nomor urut 1 dan Caleg lain atas nama Cok Hendri Ramapon, nomor urut 7.
Dugaan Pengadu terhadap anggota KPU yang mengubah perolehan suara Pemilu 2019 di Dapil Kalimantan Barat 6, tidak diterima oleh DKPP. Menurut DKPP, pelanggarannya bukan manipulasi suara melainkan para anggota KPU secara parsial (atau tanpa memotret secara utuh) rangkaian peristiwa perubahan perolehan suara Pengadu dan Cok Hendri Ramapon yang telah dikoreksi berdasarkan Berita Acara Nomor 354/PY.01.1.BA/6103/KPU.Kab/VII/2019 dan dibenarkan oleh Putusan MK Nomor 154-02-20/PHPU.DPRDPRD/XVII/2019 tanggal 8 Agustus 2019.
Soal “Pemberhentian Tetap” hanya satu anggota
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menekankan pentingnya kehati-hatian dalam memaknai dan menyimpulkan Putusan DKPP ini. Menurutnya, kesadaran kita terhadap sifat mekanisme kerja KPU yang collective collegial akan menghadirkan tanya, “mengapa hanya satu anggota KPU yang diberhentikan dalam pelanggaran kode etik ini?”
Dalam Putusan Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 ini, DKPP menjatuhkan sanksi “Pemberhentian Tetap” kepada Evi sebagai Teradu VII berkait dengan jabatannya dalam keanggotaan KPU sebagai Koordinator Divisi dan jejak rekam pelanggaran kode etik oleh Evi sebelumnya. Dalam pelanggaran dan sidang kode etik sebelum ini, Evi pernah diberi sanksi DKPP berupa peringatan keras sebagai Koordinator Sumber Daya Manusia KPU.
DKPP menilai, setelah berganti sebagai Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu, Evi yang pada pelanggaran kode etik ini sebagai Teradu VII tidak menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik. Kinerja Evi bergantung pada pelaksanaan tugas dan tanggung jawab divisi guna memastikan teknis penyelenggaraan pemilu yang menjamin terlayani dan terlindunginya hak-hak konstitusional setiap warga negara.
Menurut DKPP, sekalipun mekanisme kerja KPU bersifat collective collegial, Evi sepatutnya menjadi leading sector dalam menyusun norma standar yang pasti dan berlaku secara nasional dalam menetapkan perolehan suara dan calon terpilih.
“Peringatan Keras Terakhir” dan keberlanjutan evaluasi
Titi pun berpendapat, Putusan DKPP ini menambah aspek yang harus dijadikan evaluasi bagi Pemilu Indonesia. “Peringatan Keras Terakhir” bagi enam anggota KPU lainnya bermakna, jika terjadi lagi pelanggaran kode etik (apapun bentuknya) oleh enam anggota ini, maka DKPP langsung memberhentikan tetap.
Titi menyayangkan, sanksi dari Putusan DKPP ini disebabkan oleh hal yang seharusnya bisa diatasi tuntas tegas oleh semua anggota KPU. Menurut DKPP, pelanggaran kode etik kali ini adalah, para anggota KPU secara parsial memahami dan menindaklanjuti Putusan MK. Putusan final mengikat ini sudah seharusnya disadari karena berdasar dari berita acara KPU di daerah yang menjadi bagian dari struktur hirarkis KPU yang nasional, tetap, dan mandiri.
“Harus diklarifikasi. Berdasar Putusan DKPP ini, anggota KPU bukan mengubah perolehan suara Pemilu 2019. Semua anggota KPU melanggar kode etik karena salah tafsir Putusan MK sehingga tidak menindak lanjuti putusan yang berisfat final mengikat ini,” jelas Titi.
Evi Novida Ginting Manik, menjadi anggota KPU tingkat pusat yang diberhentikan DKPP sejak lembaga kode etik pemilu ini berdiri. Secara permanen, DKPP berdiri pada 12 Juni 2012 berdasar UU No.15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Pentingnya menjaga etik profesi penyelenggara pemilu menjadi semangat keberadaan DKPP dalam memenuhi pemilu yang jujur dan adil. []
USEP HASAN SADIKIN