September 13, 2024

Di dan Pasca Covid-19, Demokrasi Tak Akan Pernah Sama Lagi

Merebaknya wabah Coronavirus disease (Covid-19) di Indonesia sejak kasus pertama dan kedua diumumkan oleh Pemerintah pada 2 Maret 2020 hingga Selasa (31/3) membuat aktivitas demokrasi cukup terganggu. Demonstrasi menolak Omnibus Law Cipta Kerja yang tengah digiatkan di berbagai daerah surut perlahan. Advokasi reformasi partai politik meredup. Pilkada Serentak di 270 daerah terpaksa tertunda. Tak terbayang jika di suatu daerah, ada warga masyarakat yang telah muak dengan kepala daerahnya lantaran melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, atau cuek bebek terhadap masalah dan kesulitan rakyat kebanyakan.

Meski tak dapat memfasilitasi semua bentuk ekspresi politik masyarakat, beruntung telah ada platform teknologi yang mewadahi masyarakat sipil untuk menyampaikan aspirasinya. Aksi Kamisan dari depan Istana pindah ke siaran langsung Instagram. Diskusi puspa ragam tema diselenggarakan di berbagai platform meeting online dan juga siaran langsung media sosial.

Dua diskusi terakhir yang saya saksikan, yakni diskusi “Mendesain Ulang Indonesia Pasca Covid-19” yang diinisasi oleh Nalar TV dan diskusi “Pengawasan dan Pemantauan Pilkada di Masa Wabah Corona” oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawasu). Sebelumnya, rangkaian webdiskusi membicarakan nasib Pilkada Serentak 2020 dan dorongan kepada Pemerintah untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) saya ikuti.

Advokasi daring semacam ini, tanpa masyarakat sipil bertemu langsung dengan para pemangku kebijakan, dan dengan pemberitaan oleh media, sukses menghasilkan kesepakatan penundaan pilkada melalui perpu. Meski sayangnya, tuntutan masyarakat sipil agar Pemerintah memberikan bantuan ekonomi kepada masyarakat golongan rentan, seperti ojek, pedagang asongan, pedagang kecil, juru parkir, dan banyak jenis pekerjaan harian lainnya, belum berbuah kebijakan progresif.

Sebelumnya, masih lekat betul dalam ingatan saya, kawan-kawan buruh dan kalangan miskin kota menggencarkan kampanye di media sosial mendorong Pemerintah dan stakeholder penanganan Covid-19 untuk menerapkan kebijakan yang tidak bias kelas.

Satu contoh yang ingin saya highlight dalam tulisan ini, Kementerian Kesehatan mengeluarkan anjuran agar anggota keluarga yang sakit untuk mengisolasi diri dari anggota keluarga lainnya dan menjaga jarak satu sampai dua meter di dalam rumah. Anjuran begini tentu tak bisa dilaksanakan oleh orang-orang yang hidup berjejal di bawah satu atap. Di Kampung Duri misalnya, satu, dua atau tiga petak ruang rumah ditinggali oleh lima orang. Bagaimana petunjuk menjaga sehat dan aman dari Covid-19 bagi masyarakat ekonomi bawah?

Beberapa hari lalu juga, saya melihat Whats App story seorang kawan yang berprofesi sebagai guru di sekolah negeri. Beberapa murid tak dapat mengikuti pelajaran yang diberikan secara daring, sebab tak ada cukup uang untuk membeli kuota. Tak hanya satu anak dalam satu rumah tangga yang perlu kuota untuk belajar secara online.

Tak ada kuota. Padahal, di masa wabah Covid-19, hampir segala aktivitas dan partisipasi menggunakan kuota. Bayangkan jika para aktivis pun sampai tak punya kuota!

Partisipasi di media daring dan sambungannya dengan kebijakan

Hari ini (1/4), Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mempublikasi konten berisi tiga opsi penundaan Pilkada di media sosialnya. Per pukul 15.09 WIB, konten ini mendapatkan 226 komentar dengan 225 pengguna Facebook membagikan postingan tersebut. Jika memperhatikan komentar pengguna, tak sedikit yang memberikan argumentasi mengapa mesti opsi A, B, atau C yang diambil. Semuanya berkomentar sebaik-baiknya juga secerdas-cerdasnya seolah argumentasi mereka akan dipertimbangkan. Tapi semoga betul dipertimbangkan.

Soal partisipasi masyarakat dalam demokrasi melalui media sosial, sewaktu saya mewakili Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada diskusi publik bertema partisipasi milenial melalui media sosial di Universitas Airlangga, Surabaya, pada 20 Februari 2020, banyak yang kebingungan soal mekanisme perubahan dari partisipasi menjadi kebijakan. Kaum muda bertanya, apa guna berpartisipasi melalui media sosial jika tak ada sambungannya dengan kebijakan Pemerintah. Protes demi protes tak berbuah kebijakan. Demonstrasi demi demonstrasi disambut gebukan aparat keamanan. Kritisisme dan saran di akun media sosial Pemerintah tak dibalas, dan tak ada informasi kepastian apakah partisipasi itu didengar.

Kita banyak kehilangan demokrasi langsung atau kesempatan untuk ikut serta dalam memutuskan kebijakan yang berdampak pada hajat hidup kita. Kita punya demokrasi yang semuanya serba diwakilkan, padahal tak ada akuntabilitas soal apa yang diwakili oleh wakil kita di parlemen.

Teknologi sebetulnya dapat mewadahi kita untuk mewakili diri kita sendiri. Tinggal platform atau mekanisme itu dibangun oleh Pemerintah, dengan pemikiran orang-orang di pemerintahan tak ketakutan kehilangan privilege-nya.

Di masa Covid-19, dimana partisipasi terbatas, belum lagi yang tak punya kuota karena tentu makan lebih utama, semoga ada kanal khusus untuk menjaring pendapat masyarakat atas isu ekonomi-politik yang akan berdampak pada kualitas hidup tiap-tiap orang. Hasil jajak pendapat kemudian dilaporkan kepada masyarakat, dengan dibuka ruang bagi auditor independen untuk mengaudit hasil jajak pendapat. Biar Pemerintah juga masyarakat sipil dengan struktur basis masanya kemudian menjadi agen edukasi masyarakat secara luas, sebelum masyarakat memberikan pendapatnya baik melalui internet maupun short message service (SMS).

Pasca Covid-19, semoga ada bentuk demokrasi yang lebih baik, yang tak kita dapatkan di masa sebelum Covid-19. Jika Gideon Lichfield, dalam artikelnya berujudul We’re not going back to normal (Baca: https://www.technologyreview.com/s/615370/coronavirus-pandemic-social-distancing-18-months/) mengatakan bahwa kondisi dunia tak akan pernah sama lagi setelah Covid-19, semoga begitu pula pada demokrasi langsung dalam artian progresif.