August 8, 2024

Erik Kurniawan: Efektivitas Pemerintahan Terpilih Ditentukan Koalisi dan Strong Leadership

Situs change.org menempatkan petisi “Tolak Revisi RUU MD3! Ajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi” sebagai petisi yang paling banyak ditandatangani. 75.919 tanda tangan (19/9) menilai (salah satu) masalah undang-undang ini adalah tak otomatisnya partai pemenang pemilu menjadi pimpinan DPR. Lalu, UUMD3 hasil revisi sudah disahkan 8 Juli 2014 jelang hari pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014. Bagaimana posisinya dalam pembahasan pemilu? Salah satu agenda UU No. 8 tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD adalah terciptanya legislatif yang mendukung pemerintahan efektif. Apakah UUMD3 menghambatnya agenda pemilu itu? Berikut wawancara rumahpemilu.org dengan peneliti Indonesian Parliamentary Center (IPC), Erik Kurniawan di Tebet, Jakarta Selatan (22/7) dan (19/9).

Merujuk pada hasil Pemilu 2014, apa penilaian anda berdasar kebutuhan pemerintahan efektif?

Sejak awal, salah satu mandat undang-undang pemilu legislatif adalah mendorong efektifitas kerja parlemen. Penyederhanaan partai atau menciptakan sistem multipartai sederhana menjadi bentuk mandat itu. Pemilu 2014 meloloskan 10 partai ke DPR, jumlah ini lebih banyak dari Pemilu 2009. Jika merujuk pada hitung-hitung indeks efektivitas misi penyederhanaan partai untuk menciptakan sistem multipartai sederhana telah gagal.

Apa relevansi UU MD3 dalam pembahasan pemilu?

Undang-undang ini salah satunya membahas pimpinan dewan. Merujuk pada hasil pemilu, ada harapan yang bisa kita tarik dari perolehan suara bahwa parlemen bisa mendukung kerja presiden. Jokowi dari PDIP, dan PDIP pemenang pemilu. Disayangkan jika kerja pemerintahan menjadi tak efektif disebabkan oleh kepentingan segelintir orang di parlemen.

Apakah memang sebuah kewajaran ketua DPR otomatis dari partai pemenang pemilu?

Menurut saya wajar. Bukan hal mudah bagi partai bisa memenangkan pemilu. Yang diraih adalah suara rakyat melalui surat suara. Pemilu yang mengkonversi suara rakyat menjadi kursi memang menempatkan parlemen sebagai representasi rakyat. Siapa atau partai apa yang mendapatkan suara terbanyak akan mendapatkan kursi.

Apakah wajar jika ada keraguan terhadap kualitas kepemimpinan personal dari orang yang diajukan partai pemenang, sehingga pemilihan diubah menjadi cara voting?

Meragukan kualitas personal menjadi pemimpin di parlemen bisa dinilai wajar. Karena itu perlu untuk diambil jalan tengah. Partai pemenang mengajukan sejumlah nama, tiga misalnya. Lalu, nama ini akan dipilih anggota dewan dengan cara voting. Tapi nama-namanya harus dari partai pemenang pemilu.

Kembali ke harapan pemerintahan efektif, dengan hasil Pemilu Legislatif 2014, apakah kerja eksekutif akan efektif?

Kita punya pengalaman di Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Kita mungkin bisa memaklumi pemerintahan 2004 tak berjalan efektif karena presiden terpilih bukan berasal dari partai pemenang pemilu. Kursi Partai Demokrat di parlemen sangat sedikit. Tapi di 2009, presiden terpilih berasal dari partai pemenang pemilu legislatif. Partai Demokrat punya jauh lebih banyak kursi dibandingkan 2004. Tapi kita tahu hasilnya, pemerintahan SBY dengan dukungan partainya yang memenangkan pemilu pun tak berjalan efektif.

Strong leadership dari presiden menjadi salah satu hal yang menentukan jalannya pemerintahan efektif. Presiden mempunyai mandat rakyat melalui pemilihan langsung, bisa/tidak ia mengkondisikan parlemen untuk mendukung kerjanya? Bisa/tidak presiden mengkondisikan koalisi yang cukup untuk mendukung pemerintahan efektif?

Bagaimana baiknya koalisi yang bisa mendukung pemerintahan efektif?

Peta politik hasil Pemilu Legislatif 2014, dengan penyebaran penguasaan kursi yang bisa dibilang merata pada 10 partai penghuni DPR, PDI Perjuangan selaku pemenang Pileg dan Pilpres perlu menggandeng empat sampai lima partai lain kedalam barisannya. Dengan penguasaan 37 persen dari empat partai pengusung Jokowi-JK, koalisi ini masih memerlukan dukungan 14 persen kursi di parlemen.

Untuk menjaga keseimbangan, perlu kejelian dari koalisi Jokowi-JK dalam membangun koalisi. Pertimbangan untuk membentuk kaolisi ramping sudah menjadi pertimbangan yang pas. Porsi penguasaan parlemen cukup dimaknai dengan mengusai lebih dari 50%, tidak perlu merangkul seluruh partai yang bersedia bergabung. []