November 28, 2024

M. Afifuddin: Masalah DPKTb, Struktur Penyelenggara Harus Diminta Pertanggungjawabannya

Menyimak sidang perselihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 di Mahkamah Konstitusi (MK) kita disuguhkan persoalan daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb). Daftar nama yang menampung warga berhak pilih di luar daftar pemilih tetap (DPT) menjadi salah satu dasar gugatan tim kuasa hukum calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2, Prabowo-Hatta. Dengan dugaan adanya pelanggaran terkait DPKTb ini, pihak Prabowo-Hatta meminta pemilu ulang di lebih dari 48 ribu temat pemungutan suara (TPS) pada sejumlah KPU kabupaten/kota.

Ketua Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Muhammad Afifuddin berpendapat, perlu ada penelusuran yang tuntas siapa saja yang bertanggungjawab terhadap persoalan DPKTb tersebut. Meski belum tentu bisa dinilai sebagai pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan massif, berdasar kerja pemantauan bersama jaringan nasionalnya, JPPR menemukan adanya pelanggaran DPKTb. Berikut wawancara rumahpemilu.org dengan Afif melalui telepon (11/8).

Apakah memang dasar permohonan perselisihan hasil ke MK oleh Prabowo-Hatta sesuai dengan temuan pelanggaran hasil pantauan JPPR?

Kalau temuan JPPR memang ada pelanggaran yang menjadi dasar gugatan. Tapi, jumlah dan persentasenyanya tak sebesar yang disampaikan Tim Prabowo-Hatta. Jadi, berharap 100 persen sempurna di penyelenggaraan pemilu, merupakan hal yang tak mungkin.

Pelanggaran itu dalam persentase yang secara umum masuk dalam pelanggaran administratif, yang bentuknya juga bisa berupa DPT tidak ditempel, petugas membuka TPS tidak sesuai waktu, jika ditotal persentasenya berkisar 15 persen.

Betulkah bisa dinilai pelanggaran terjadi oleh penyelenggara dan kontestan sebagai pelanggaran masif, terstruktur, dan sistematis?

Kalau aduan di MK penekanannya adalah penilaian terstruktur, sistematis, dan masif, kelihatannya tak memenuhi unsur itu. Hanya insidentil dan beberapa titik saja. Pelanggaran memang terjadi tapi tidak TSM.

Apakah dibolehkannya DPKTb bagi warga yang alamat KTPnya tak sesuai dengan alamat TPS merupakan pelanggaran kode/etik?

Biar saja diadukan ke MK. Ini lebih baik. Nanti terserah vonisnya apa. Kalau KPU-nya salah ya silakan saja dilaporkan ke MK atau ke DKPP untuk yang terkait kode etik. Mekanisme hukum yang sudah diatur, proses sidang juga sedang berjalan. Memang baiknya melalalu jalur hukum.

Jika ternjadi di banyak TPS, apakah ini bisa disimpulkan sebagai kesalahan KPU Kabupaten/Kota atau Provinsi? Artinya bukan hanya kesalahan KPPS?

Sebenarnya kalau kemudian kesalahan teknisnya di tingkat bawah seperti DPKTb, kalau tidak sesuai dengan alamat KTP itu, harusnya tidak juga kita memutus kesalahan hanya di level bawah. Harus tetap ditelusuri hingga level atas, untuk dicari pada titik mana Bimtek itu bisa menjelaskan tugasnya KPPS. Dan itu dijelaskan apa tidak.

Kalau tidak dijelaskan maka wajar di tingkat bawah tidak mengerti dan kemudian tidak melakukan apapun terhadap masalah itu. Tapi kalau kemudian sudah dibimtek dan mereka mengerti baru kemudian pelanggarannya sepenuhnya kesalahannya ada di level bawah. Jadi harus dirunut sampai ke level atasnya, biar tanggungjawab itu tak terpotong di level paling bawah. Kasihan petugas di level bawah kalau kesalahan ternyata berasal dari pembekalan struktur di atasnya. Maka struktur di atasnya juga harus diminta pertanggungjawabannya.

Kalau berdasarkan pemantauan JPPR sendiri ada juga karena memang mereka tidak tahu. Contohnya mengenai DPKTb. Mereka juga tak tahu untuk diperbolehkan memilih dengan menggunakan A5 inikan sesuatu yang baru juga. Nah ini memang kelihatannya banyak yang belum tersosialisasikan.

Sebetulnya masalah DPKTb dan A5 ini lebih karena pembelaan konstituasi terkait hak pilih dari KPU di daerah, atau memang berkecenderungan tidak netral karena bisa menjadi ruang mobilisasi suara?

Betul memang DPKTb dan A5 bisa memberi ruang mobilisasi suara. Dan mungkin saja terjadi. Tapi yang terjadi adalah, sebagian besar karena untuk memfasilitasi hak pilih tak kehilangan haknya.

Baiknya seperti apa pemilu kedepannya menyikapi warga berhak pilih tapi tak ada di DPT? Idealnya semua warga yang memiliki hak pilih tercantum di DPT. Sehingga warga di DPKTb bisa diminimalisir. Tapi tetap DPKTb merupakan jalan keluar bagi warga yang tak tercantum di DPT. Ke depannya ya harus tetap ada DPKTb.

Bagaimana dengan warga di luar daerah KTPnya? Bagaimana agar warga ini bisa tetap memilih tapi juga aman kemungkinan pelanggaran?

Tetap harus mengikuti prosedur seperti di pilpres kali ini.