August 8, 2024

Refly Harun: Putuskan Tak Tangani Sengketa Pilkada, MK Tak Bertanggungjawab

Mahkamah Konstitusi memutuskan kewenangannya sendiri dalam sidang permohonan penghapusan kewenangan MK menangani sengketa pilkada (19/5). MK membatalkan dua Pasal 236 Huruf c UU No 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 Ayat (1) Huruf e  UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menjadi dasar kewenangan MK mengadili sengketa pilkada. Pakar pemilu dan konstitusi, Refly Harun menilai putusan itu tak tepat. Baginya MK tetap harus berwenang menangani sengketa pilkada.

Penilaian Refly penting tak hanya sejalan dengan ingatan kita pada pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung (MA) yang sulit diakses keterbukaannya sebagai alasan sengketa pilkada dipindahkan ke MK, tapi posisi Refly pun merupakan pihak pertama kali menaruh ketakpercayaan terhadap MK pimpinan Akil Mochtar. Berikut hasil wawancara jurnalis rumahpemilu.org, Nelvia Gustina dengan direktur eksekutif Constitutional anda Electoral Reform Center, Refly Harun di kantor Correct, Jakarta (19/5).

Apa hal mendasar tak tepatnya MK tak lagi tangani sengketa pilkada?

Saya kira tafsir MK sangat tekstual. Pemilu dimaknai MK hanya pemilihan umum memilih anggota DPR, DPD, DPRD, serta presiden dan wakilnya. Sejarahnya memang begitu. Dalam tingkat konstitusi belum ada kesepakatn mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung sehingga tak mungkin konstitusi memasukkan pilkada sebagai pemilu. Karena itu diputuskan dipilih secara demokratis. Pengertian dipilih secara demokratis itu opsional. Bisa dipilih secara langsung, bisa tak langsung.

MK memaknai kalau dipilih secara tak langsung maka dipilih DPR, sehingga itu bukan pemilihan umum dengan kata “pemilu”. Karena bukan “pemilu” maka sudah pasti sengketanya bukan di MK tapi di MA. Padahal pemilu dan pilkada instrumennya sama, menggunakan KPU, Bawaslu, Panwaslu maka mau tak mau harus ada kesetaraan. Keduanya harus ke MK juga. Dari sini MK kelihatan lari dari tanggung jawab. MK gagal memahami fungsinya sebagai the guardian of constitution dan sebagai penjaga demokrasi.

Kenapa begitu?

Karena yang namanya sengketa pemilu dan pilkada bukan sekedar konflik personal, di wilayah private, maupun di wilayah tata usaha negara. Ini sifatnya konflik tata negara. Kalau dia konflik tata negara maka sudah punya MK. Kenapa dilarikan lagi ke mahkamah non konstitusi, MA atau pengadilan tinggi?

Bagaimana dengan pengelolaan waktu sidang dengan banyaknya sengketa pilkada yang di sisi lain ada tuntutan penyelesaian gugatan UUD?

Jelas MK gagal memahami. Jika MK selama ini merasa kerepotan, itu kesalahan MK. MK keliru menerapkan hukum berita acara. Tapi bisa dipahami juga karena pada waktu itu ada orang-orang seperti Akil Mochtar. Akil “menggoreng” kasus pilkada sedemikian rupa untuk kepentingan pribadi sehingga MK terjerembab. Karena itu menurut saya yang dilakukan MK harus bertobat dan kemudian memperbaiki kesalahan. Bukan melemparkan bola panas ke institusi lain.

Selama ini ada kekeliruan dalam menyidangkan sengketa pemilu dan pilkada. Seolah-olah pilkada bertumbu hanya di MK saja, ini kekeliruan. Seharusnya secara sistemik kita harus memperbaiki sistem penanganan sengketa-sengketa pemilu ini mulai dari level bawah. Mulai dari tingkat KPU kaputaen/kota, KPU, tingkat Panwaslu, Bawaslu. Sehingga kalau pada tingkat bawah itu tidak terselesaikan maka barulah MK sebagai the guardian of constitutionsebagai penjaga konstitusi itu ngecek, apakah prinsip-prisnsip pemilu yang sesuai konstitusi itu sudah dilaksanakan apa belum? Yaitu pemilu yang luber dan jurdil, kalau belum dilaksanakan maka MK bisa memberikan hukuman.

Selama ini MK memeriksa kasus seperti di pengadilan negeri. Memeriksa satu persatu saksi. Kalau saksi bicara lebih dari 5 menit dan tak bisa dicek. Jadi begitu terjadi kesalahan hukum berita acara MK yang cenderung suka-suka.

Penyelesaian sengketa harus sistemik. Contoh: kalau MK menemukan calon melakukan politik uang, ya sudah didiskualifikasi. Selama ini MK tak memberikan efek jera. Akibatnya ada kepala daerah yang sudah dinyatakan melakukan politik uang tetap terpilih dia. Lalu MK melemparkannya ke pengadilan pidana.

Jika diserahkan ke MA, apa hal yang menjadi permasalahan sehingga tak tepat sengketa pilkada diserahkan ke MA?

Saya khawatir orang akan berlomba-lomba mencari kursi kepala daerah melalui instrumen atau institusi peradilan. Di keadaan ini koruptor tahu mereka bisa menang dengan membayar institusi itu. Pengawasannya jauh lebih sulit.

Padahal, sebelumnya, saat sengketa pilkada digeser dari MA ke MK alasan mendasarnya krisis kepercayaan. Dulu ada banyak putusan pengadilan dan MA yang ngawur. Contohnya putusan pengadilan tinggi Jawa Barat. MA pun pernah buat kesalahan mengenai perintah pilkada ulang di Sulawesi Selatan. Tak tepat kalau kemudian urusan sengketa pilkada diserahkan ke MA. Jadinya membolak-balik. Meskinya MK harus memperbaiki diri bukan lari dari tanggung jawab.

Apakah MK bisa memutuskan pengubahan pasal UUD atau UU yang menyangkut dirinya sebagai institusi?

Sebenarnya itu dilematis. Ada azas hukum yang menyatakan hakim tak boleh mengadili kasus yang menyangkut dirinya sendiri. Tapi dalam konsepjudicial review, tak ada institusi lain yang menyidangkan kalau MK tak menyidangkan. Tapi intinya, kita lihat hasil putusannya. Dan menurut saya, putusan menghilangkan kewenangan MK untuk menyidangkan sengketa pilkada, adalah keputusan yang tak bertanggungjawab.

Sama saja MK mengatakan bahwa penyelesaian sengketa pilkada yang mereka lakukan dulu itu inkonstitusional. Karena coba saja mereka menyatakan proses-proses sidang pilkada sejak 2008 sampai sekarang adalah inkonstitusional, kan kacau jadinya. Dengan keputusan MK ini berarti dari dulu MK sudah merasa ini barang inkonstitusional tapi terpaksa dikerjakan. Mestinya jangan begitu.

Saya khawatir dengan keputusan MK ini, maka akan marak sekali kasus-kasus pilkada di MA dan pengadilan tinggi. Dan ini akan tak sehat nantinya. Kita harus tahu, yang namanya sengketa pemilu dan pilkada ini orang berani bayar berapa pun. Akil Mochtar itukan mencengangkan: 3 M, 20 M dan seterusnya. Bagaiman kalau ini digeser ke pengadilan tinggi dan MA yang pengawasannya hampir tak ada.

Saya kira tambah gawat nantinya. Ini yang saya sesalkan. Karena MA sampai sekarang belum bisa membuktikan sebagai pengadilan yang bersih, apalagi pengadilan tinggi.

Tinggikah keraguan masyarakat daerah terhadap MK dalam menangani sengketa pilkada pascakasus Akil? Bagaimana menguatkan lagi kepercayaan masyarakat daerah terhadap MK?

MK memang terjerembab dengan kasus Akil. Tapi menurut saya ada peluang untuk memperbaiki diri. Tak ada masyarakat yang menekan MK. Menurut saya, MK itu lari dari tanggung jawab, itu saja. Bukan karena merasa masyarakat tak percaya pada MK lagi karena kasus Akil. Tak ada alasan lain.

Seharusnya MK menghayati perannya sebagai the guardian of constitution. Sengketa pemilu dan pilkada jangan dilihat sebagai sengketa perdata atau sengketa para pihak. Tapi ini adalah sengketa yang landasannya konstitusi, sebagai penjaga konstitusi MK harus melindungi konstitusi agar tercipta pemilu jujur dan adil.

Sengketa pemilu ini adalah terkait dengan konstitusi dan demokrasi dan itu adalah urusan MK sebagai penjaga konstitusi. MK hanya melihat kasus sengketa pilkada ini hanya kasus gugat menggugat antar calon. Tidak bisa begitu, melihatnya harus sebagai bagian dari bagaimana melindungi demokrasi dan menegakkan konstitusi.

Lalu bagaimana?

Ke depannya kita harus mengubah konstitusi. Kita harus disain ulang pemilu kita agar lebih baik. Penting bagi MK untuk menegakkan konstitusi dalam pilkada. Masak pada akhirnya yang terpilih adalah kepala daerah yang berani korupsi. Karena kepala daerah tersebut terpilih melalui pemilukada yang prosesnya gak benar.

Kalau misalnya MK memberikan pesan yang jelas pada para calon kepala daerah, anda jangan korupsi anda jangan politik uang kalau tidak anda akan dibatalkan oleh MK. Takut orang. Selama ini belum pernah ada putusan begitu. MK hanya menyatakan tak terstruktur, sistematis, dan tidak massif. Orang jadi berani melakukan politik uang. Yang penting nanti kalau pas pembuktian tak TSM.

Menurut saya kita harus mengubah konstitusi sekarang ini, untuk memilah pemilu lokal dan pemilu nasional. Pemilu nasional itu cukup memilih presiden, anggota DPR dan DPD saja. Sementara pemilu lokal memilih, gubernur, bupati, walikota serta wakilnya, dan anggota DPRD. Putusan MK sekarang dengan pemilu serentak ada 5 kotak, maka sesungguhnya tak ada peluang lagi untuk memilah pemilu nasional dan pemilu lokal. Karena itu menurut saya kita harus mengubah konstitusi kita. []