Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI merilis hasil analisisnya tentang keterpilihan perempuan calon legislator (caleg) pada Pemilu 2014 di Jakarta, Senin (12/5). Hasilnya, jumlah perempuan caleg terpilih diperkirakan menurun signifikan. Pada Pemilu 2014 perempuan yang terpilih hanya 79 orang atau 14 persen, menurun dibanding hasil Pemilu 2009 yaitu 103 orang atau 18 persen.
Anna Margret, peneliti Puskapol, lebih lanjut menyebutkan bahwa jaringan kekerabatan dengan elite politik mendominasi basis keterpilihan perempuan caleg. Ia berpendapat hal ini yang menegaskan ketergantungan perempuan pada basis kekuasaan laki-laki, kekuatan kekayaan materil, dan pelestarian relasi kuasa. Kondisi ini yang kemudian disebutnya sebagai politik gender oligarki di DPR RI. Berikut wawancara jurnalis rumahpemilu.org, Maharddhika dengan Anna selepas seminar Puskapol yang bertajuk “Refleksi Kritis Komitmen Internal Partai Politik Soal Keterpilhan Perempuan†di Hotel Bidakara, Jakarta (13/5).
Apa faktor utama yang membuat keterpilihan perempuan menurun?
Alasan sederhananya memang tak ada perubahan dari 2009. Hasil kerja partai dalam kaderisasi dan rekrutmen caleg tak ada bedanya. Rilis kami mengatakan, untuk mengkritisi jangan mulai dengan menyudutkan perempuannya mampu atau tidak. Kita mesti melihat basis rekrutmen calegnya: atas basis dan dasar apa partai memilih perempuan caleg untuk dijadikan anggota DPR RI. Kita menemukan tak berubah banyak dari 2009-2014. Basis rekrutmen yang paling dominan adalah jaringan kekerabatan, istri atau anak dari bupati atau pengurus partai. Tak ada yang berubah basis rekrutmennya. Kita pertama melihat ke sana.
Kedua, kader partai yang masuk pun tumpang-tindih dengan elite ekonomi. Perempuan-perempuan yang terpilih tumpang-tindih perannya dengan pemilik modal atau pengusaha. Sedikit sekali peluangnya untuk bisa diharapkan membuat perbedaan dan perubahan dalam kebijakan politik bahkan dalam memberi warna berbeda di DPR RI. Harus diakui soal kepercayaan terhadap perempuan sebagai anggota legislatif memang masih rendah.
Apakah hal ini juga jadi sebab perempuan legislator petahana tak terpilih lagi?
Petahana itu memang penurunannya tajam. Jadi memang salah-satu dominannya kita bisa lihat wajah baru. Wajah baru ini kalau kita telusuri adalah istri bupati, anak bupati, anak dan istri ketua umum partai. Mereka masuk karena ada ikatan kekerabatan.
Kalau dibilang kenapa terpental, kepercayaan pemilih terhadap perempuan di politik memang masih rendah. Komitmen internal partai sebatas pemenuhan syarat administratif supaya bisa lolos dalam berkontestasi di pemilu. Komitmen partai belum sampai pada komitmen yang berpihak pada penguatan perempuan, apalagi perluasan basis keterpilihan perempuan. Rekrutmen perempuan caleg masih tetap sangat terbatas pada keluarga penguasa atau perempuan pemilik modal.
Apa yang perlu dikritisi dari fakta ini?
Buat saya, yang perlu dikritisi itu basis rekrutmen caleg. Dasar apa yang dipakai partai-partai dalam merekrut perempuan caleg? Yang dipertahankan saat ini adalah relasi kuasa yang senjang. Hal ini dilakukan supaya perempuan tak bisa secara independen dan otonom, mempertanyakan—apalagi mengkritisi—proses politik yang ada. Mereka jadi bergantung pada relasi laki-laki—bapaknya dan suaminya—ataupun kepada pemilik modal yang berjasa di balik keterpilihan dia sebagai anggota legislatif. Ini potret suram yang bukan baru terjadi di Pemilu 2014. Pemilu 2009 sudah seperti ini.
Untuk kami, dari Puskapol, ini sebenarnya pukulan. Kita rupanya belum membuat sesuatu yang berarti dan dapat membendung politik gender oligarki yang sudah mulai sejak 2009. Sekarang makin marak dan makin terbuka. Kalau dibilang salah sistem partainya, tentu tidak. Secara teori, karena ini terbuka harusnya oligarki makin terpinggirkan. Ini malah makin subur.
Lalu apa yang menyebabkan politik gender oligarki ini tak juga terbendung?
Saya pikir ini disebabkan banyaknya tenaga yang dialokasikan untuk mempertanyakan rekam jejak caleg, individu. Kita tak memberi perhatian ke mekanisme rekrutmen calegnya sendiri, yaitu partai. Partai jangan-jangan melanggengkan praktik oligarki dan mempertahankan power imbalanceantara perempuan dan laki-laki yang memang dari awal sudah tak seimbang. Ini memang dipertahankan.
Jika menilik Peraturan KPU mengenai afirmasi perempuan, apakah peraturan ini sudah efektif?
Peraturan afirmasi perempuan 30 persen hanya diadopsi, tak diimplementasi. Diadopsi dalam arti diakui, diambil, dipetik, tapi ditundukkan pada kekuatan modal dan jaringan kekuasaan lama supaya tak ada perubahan. Peraturan ini memang tak ditolak, tapi ini yang justru makin bahaya. Partai seolah-olah setuju, padahal kalau dilihat dalamnya tidak. Kebijakan afirmatif untuk perempuan itu tunduk pada kekuatan modal dan kekuatan kekerabatan. Harusnya tak begitu. Jelas bukan itu maksudnya.
Tahun 2009 kita tak punya Peraturan KPU yang mewajibkan di seluruh dapil. Sekarang di tahun 2014 kita punya. Peraturan ini hanya berdampak pada tingkat pencalonan perempuan yang naik 37 persen. Hampir di seluruh dapil naik. Kalau tak kan di DCT dia langsung didiskualifikasi. UU-nya ada. UU-nya diterapkan.
Namun, hasil perolehan suara justru turun, apalagi kursi. Pencalonan yang naik tak diikuti oleh keterpilihan. Artinya, sebetulnya kita bisa lihat bahwa mendorong keterpilihan perempuan tak bisa hanya diselesaikan dengan peraturan formal yang berusaha menghilangkan hambatan dan tantangan. Itu tak cukup. Itu benar-benar tak memadai. Politik tak bisa bersandar hanya pada peraturan. Itu riilnya. Relasi kuasa itu bicara soal praktik. Bagi saya, ini kembali lagi ke rekrutmen caleg.
Apakah ini berarti peraturan apapun mengenai afirmasi perempuan selalu ditafsirkan partai sebagai pemenuhan syarat administratif saja?
Kalau kita lihat pengalaman dari 2009 secara kritis, memang ya, selalu. Itu kembali ke praktik sehari-harinya. Tadi kata kunci yang penting sebetulnya: apakah partai telah melakukan kendali internal di partai. Itu yang menurut saya tak jalan.
Namun saya melihat itu sebetulnya jalan dengan tujuan memelihara kekacauan ini. Atau, kendali tadi justru berjalan dengan tujuan persis seperti sekarang. Tujuan partai adalah membiarkan chaos. Membiarkan bahwa modal uang itu berkuasa.
Orang kemudian ramai-ramai bilang masyarakatnya yang bikin politisi jadi melakukan money politic. Saya sangat tak sepakat. Itu tak bisa dibilang bahwa pendidikan masyarakat rendah. Tidak bisa. Justru yang mesti dipertanyakan itu yang bayar uangnya itu siapa.
Itu bentuk tak adanya kontrol internalnya partai. Partai tak mungkin tak tahu. Kalaupun sampai tak tahu, dia bertanggung jawab untuk mencari tahu karakter dan rekam jejak masing-masing caleg. Bukan malah tugas LSM mencari rekam jejak politisi. Partai kan harus tahu. Itu yang tak jalan.
Apa yang kemudian harus dilakukan?
Saya tidak setuju kalau kita tinggal menunggu komitmen partai. Itu sama dengan mau bikin perubahan dan menunggu ratu adil. Tak bisa. Buat saya tegas kita yang di luar partai harus dorong partai berubah. Yang perlu kita pikirkan kemudian adalah insentif apa yang bisa kita tawarkan ke partai. Mekanisme punishment dan reward seperti apa yang bisa kita jalankan secara kolektif dan masif kepada partai.
Apakah hal tersebut cukup efektif menghukum partai?
Ini rupanya tak cukup untuk mendesak partai betul-betul berubah. Perubahan internal mutlak harus. Itu yang awal. Hal ini tak bisa dijawab dengan jawaban-jawaban yang sangat normatif. Kita perlu memikirkan bagaimana caranya mengubah sistem. Kita perlu memikirkan mekanisme punishmentdan reward. Saya pikir awalnya dari situ. Kalau tidak, praktik politik yang mengedepankan dinasti dan modal akan terus direproduksi karena tak dihukum penyelenggara negara dan penyelenggara pemilu.
Adakah peraturan yang bisa mendorong perbaikan rekrutmen caleg di tubuh partai?
Kita tak punya peraturan rekrutmen caleg. Tadi, Nurul Arifin langsung blak-blakan mengatakan bahwa sebetulnya ada peraturan partai yang bicara soal integritas. Golkar memang punya. Sayangnya itu hanya di tingkat aturan. Ketuanya sendiri yang mengatakan bahwa yang penting adalah elektabilitas. Akhirnya tak apa-apa dia tersangka korupsi, asal populer. Yang dipentingkan adalah persoalan berapa suara yang bisa disumbangkan caleg.
Apa harapan Anda pada perempuan terpilih?
Ketika perempuan terpilih, dia menjadi representatif, dia mewakili siapa, bagaimana cara dia mewakili. Setelah terpilih, perempuan perlu punya otonomi dan kuasa untuk melakukan perubahan. Perempuan sebagai aleg, kami bilang, harus dikembalikan pada prinsip representasi politik.
Apakah perempuan punya kekuatan dan kekuasaan riil untuk melakukan perubahan? Kalau dia masuknya saja karena relasi dia pada penguasa sebelumnya, mungkin sangat kecil peluangnya bagi dia untuk bisa bertindak sebagai seorang politisi. Itu akan susah. Yang ada dia menggenapi. Dia menjadi perpanjangan tangan dari pemilik modal dan pemilik kuasa yang sebelumnya.
Setiap kita bicara representasi, pasti ada yang diwakili dan ada yang dipinggirkan. Kita-kita ini—organisasi masyarakat, kampus—harus melihat dan teriak ketika ada praktik representasi yang kemudian menindas dan memarginalkan kelompok tertentu. Buat saya memang ini pekerjaan besar. []