September 13, 2024

Roy Thaniago: Jangan Pilih Partai Perampok Frekuensi Publik!

Setahun menjelang Pemilu 2014, Remotivi mencatat ada tiga partai yang masif dan sewenang-wenang mengeksploitasi stasiun televisi untuk kepentingan kelompoknya. Padahal untuk bisa bersiaran, stasiun televisi menggunakan frekuensi milik publik yang diamanatkan UU Penyiaran agar dapat digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat, bukan segelintir konglomerat atau partai.

Ketiga partai ini adalah yang petingginya memiliki stasiun televisi. Metro TV dimiliki oleh Surya Paloh, Ketua Umum Partai NasDem. RCTI, MNC TV, dan Global TV dimiliki oleh Hary Tanoesoedibjo, yang adalah calon wakil presiden sekaligus Ketua Badan Pemenangan Pemilu dari Partai Hanura. Sedangkan TV One dan ANTV adalah stasiun televisi yang dimiliki oleh Aburizal Bakrie, Ketua Umum dan calon presiden dari Partai Golkar. Sehingga, informasi dari keenam stasiun TV propaganda ini bias kepentingan politik yang menyebabkan isinya cenderung bersifat memihak, tidak akurat, dan cemar.

Penyelenggaraan pemilu menyertai pengawasan peserta dan media gagal memberikan sanksi tegas dan berpengaruh. Partai NasDem, Golkar, dan Hanura masih menjadi peserta pemilu tanpa sanksi apa pun. Metro TV, TV One, ANTV, RCTI, MNC TV, dan Global TV masih terus menayangkan informasi atau berita yang memihak partai atau tokoh pemilik media bersangkutan, dan menyerang partai atau tokoh pemilik media lain.

Remotivi berinisiatif membentuk Koalisi Frekuensi Milik Publik untuk menolak ketiga partai terkait permasalahan stasiun TV tersebut. Berikut hasil catatan Rumahpemilu.org dengan Direktur Remotivi, Roy Thaniago di Media Center Bawaslu (6/4):

Apa dasar hukum untuk menyatakan media penyiaran seperti Metro TV, TV One, ANTV, RCTI, MNC TV, dan Global TV telah melanggar?

Semangat UU Penyiaran no. 32 Tahun 2002 menempatkan frekuensi gelombang radio yang digunakan oleh televisi tak ubahnya tanah, air, dan udara, yang merupakan milik publik dan untuk dimanfaatkan seluas-luasnya bagi kepentingan publik. Turunan dari semangat ini dinyatakan dengan lebih tegas pada Pasal 34 Ayat 4: “Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu”. Selaras dengan UU penyiaran, dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS), pada Pasal 11 Ayat 2 dinyatakan bahwa “Lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dan netralitas isi siaran dalam setiap program siaran”. Ditambah lagi dengan Peraturan KPU yang hanya memperbolehkan partai politik melakukan kampanye di media massa pada 21 hari sebelum masa tenang.

Dengan kacamata regulasi tadi, eksploitasi lembaga penyiaran oleh kepentingan politik pemilik adalah pengkhianatan atas konstitusi. Namun faktanya, KPI sebagai lembaga yang diberi kuasa oleh UU Penyiaran untuk pengaturan isi siaran, tak juga bergerak menegakkan aturan dan melindungi publik dari informasi yang cemar.

Bisa disebutkan rincian pelanggaran itu baik dari pengamatan atau riset Remotivi maupun data lain?

Data KPI menunjukkan, sepanjang Oktober 2013, iklan Aburizal Bakrie dan atribut Golkar di ANTV dan TV One berjumlah 430 spots. RCTI dan Global TV memiliki tayangan kuis yang diputar dua kali sehari berjudul “Kuis Kebangsaan” dan “Indonesia Cerdas”. Kuis ini merupakan kampanye pasangan Wiranto dan Hary Tanoe, sekaligus menjadi ajang memberikan panggung bagi caleg dari Hanura secara terselubung. Sementara di Metro TV, selain iklan Nasdem yang tumpah ruah, kisaran durasi pidato Surya Paloh tiap kali kemunculannya tidak wajar, karena mencapai 3–6 menit (Data Aliansi Jurnalis Independen Jakarta).

Selain pengamatan terhadap media penyiaran, Remotivi pun melakukan survei konten media penyiaran. Hasil survei menyimpulkan, konten TV kita sangat sentralistik. Jauh lebih banyak menayangkan hal seputar Jakarta. Penelitian ini juga menemukan rendahnya mutu jurnalisme televisi. Berita dengan topik yang lebih punya kepentingan publik seperti pemerintahan hanya 4,4%, dan pemilu pemilu 5,1%.

Atas dasar pelanggaran UU itu, Remotivi bersama Koalisi Frekuensi Milik Publik mengajak warga untuk tak memilih Partai NasDem, Golkar, dan Hanura?

Iya. Melalui frekuensi publik, ketiga partai politik dan tokoh-tokohnya tersebut mendapatkan keuntungan yang tidak bisa dimiliki oleh partai politik lainnya—padahal tiap partai politik harus mendapatkan kesempatan yang sama dan setara. Lewat program non-berita, iklan, dan program berita, kemunculan mereka memperlihatkan arogansi dan kecurangan dalam memburu kekuasaan.

Produk jurnalistik dipaksa untuk bersikap partisan dan menghamba pada partai politik, bukan kepada publik. Kuis rekayasa dan reality show murahan juga dibuat demi meraup simpati publik. Kritik yang dialamatkan kepada tokoh dari partai politik lain dilakukan terutama bukan untuk kepentingan publik, tapi semata-mata demi menggebuk musuh politik. Bahkan, penggalangan dana bencana yang dilakukan stasiun TV, yang berasal dari dana pemirsa, juga diselewengkan untuk kepentingan kampanye politik.

Pesta demokrasi harus menjadi kemenangan bagi rakyat, pertama-tama dengan tidak memberikan tempat bagi mereka yang telah berlaku tidak adil dan lalim. Masa menjelang Pemilu harus dijadikan ujian bagi mereka yang sedang membujuk dukungan rakyat. Dan mereka yang gagal dalam ujian adalah mereka yang telah merampok frekuensi milik publik untuk memenuhi ketamakan diri dan kelompoknya.

Sebelum ajakan tak memilih ketiga partai yang dipimpin pemilik itu, Remotivi melakukan apa terhadap permasalahan media penyiaran dan kontestasi pemilu ini?

Sebelumnya, hal ini berdasar dari keprihatinan ketegasan KPI. Secara umum, keprihatinan kami terhadap KPI kami sikapi dengan memantau dan mendampingi seleksi komisoner KPI. Di konteks pemilu, KPI absen menjalankan fungsinya menjaga netralitas media penyiaran.

Lalu, kami bersama 31 organisasi dan masyarakat terdorong untuk membentuk gerakan Frekuensi Milik Publik. Gerakan FMP melakukan aksi untuk mendesak KPI bertindak tegas menghukum stasiun TV yang berpihak kepada tokoh dan partai. Aksi ini merupakan lanjutan dari upaya menerbitkan petisi online di change.org dengan tuntutan yang sama, yaitu meminta KPI segara menghukum stasiun televisi pengabdi partai politik. Petisi tersebut telah ditorehkan lebih dari 3.500 tanda tangan.

Bagaimana dengan masyarakat sendiri sebagai calon pemilih yang menggunakan informasi stasiun TV itu?

Kami melakukan aktivitas online melalui situs www.remotivi.or.id dan media sosial Remotivi. Ini bagian dari pendidikan publik mengenai media penyiaran dan hak publik. Himbauan kepada masyarakat Indonesia pun dilakukan. Sangat penting untuk tak mengandalkan informasi dari beberapa stasiun televisi yang bias kepentingan politik. Mewaspadai dan kritis terhadap informasi yang disiarkan RCTI, Global TV, MNC TV, TV One, ANTV, dan Metro TV.

Keenam stasiun televisi itu tidak layak dijadikan rujukan dalam menentukan pilihan politik warga dalam Pemilu 2014. Publik mesti selalu cermat dan mencari sumber informasi pembanding dari media massa lainnya yang lebih dapat dipercaya.

Seiring itu, kami menuntut agar Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menjalankan perannya dengan sebaik-baiknya dan setegas-tegasnya. Dewan Pers dan KPI wajib menghukum media massa yang tidak independen dan menunjukkan dosa mereka ke publik. Kemenkominfo dan KPI perlu mempertimbangkan pencabutan izin siaran bagi stasiun televisi yang telah gagal menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan masyarakat luas. Kami juga menyayangkan gugus kerja antara KPI, Bawaslu, dan KPU yang berkinerja buruk, lamban, dan ragu-ragu. []