August 8, 2024

Wahyu Dinata: Kampanye Kotor Bisa Jadi Pemicu Konflik Antarwarga Jakarta

Pilkada DKI Jakarta 2012 menjadi barometer berbagai pihak menuju Pemilu 2014. Pilkada kali ini juga menarik, karena tampil dua pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dari unsur independen. Persaingan juga seru karena pasangan calon terpilih harus meraih 50% lebih suara, sehingga sangat mungkin dilakukan putaran kedua.

Sengitnya perebutan suara, membuat tim kampanye (resmi atau tidak) masing-masing bekerja ektrakeras. Dukungan dana yang cukup membuat mereka bisa melakukan segala cara untuk menyerang lawan. Tidak heran jika kampanye kotor atau dirty campaign, marak. KIPP Jakarta mendeteksi dan menemukan banyak kasus kampanye kotor ini.

Meskipun demikian, menurut Ketua KIPP Jakarta, Wahyu Dinata, penyelenggara pemilu, baik jajaran KPU DKI Jakarta maupun Panwaslu DKI Jakarta, seolah abai dengan fakta ini. Mereka membiarkan saja. Tidak ada penelitian, pemeriksaan apalagi tindakan. Padahal, bisa dibiarkan kampanye kotor bisa menjadi pemicu konflik warga kota.

Berikut wawancara rumahpemilu dengan Wahy Dinata tentang kampanye kotor dalam Pilkada DKI Jakarta, yang dilakukan pada Senin (18/6) lalu, di kantor KIPP Jakarta.

Apa yang dimaksud dengan kampanye kotor atau dirty campaign?

Sebetulnya tidak ada ketentuan spesifik yang menyebut kampanye kotor atau dirty campign. Namun dari undang-undang yang mengatur pilkada, kita bisa memakai beberapa ketentuan untuk melihat dan menilai praktek kampanye kotor.

Ketentuan-ketentuan mana yang Anda maksud?

Ya, misalnya Pasal 116 ayat (2) UU No. 32/2004 junto UU No. 12/2007, terdapat pidana pemilu yang mengancam perbuatan yang dimaksud, tetapi dengan catatan jika perbuatan dilakukan pada masa kampanye. Jika dilakukan di luar masa kampanye, bisa dikenakan pasal perbuatan tidak menyenangkan dan pecemaran nama baik, Pasal 310/315 KUHP.

Bentuk kampanye kotor macam apa yang ditemukan KIPP Jakarta dalam Pilkada DKI Jakarta?

Sebetulnya kita banyak menemukan kasus-kasus yang bisa kita kategorikan sebagai kampanye kotor. Namun yang kita laporkan ke Panwaslu DKI Jakarta hanyalah temuan yang benar-benar ada bukti konkrit sehingga kita yakin bisa diproses hukum. Kita menemukan kurang lebih 2.000 selebaran, yang menurut dugaan kami sudah masuk kriteria kampanye kotor.

Adakah bentuk baru dalam kampanye kotor, yang sebelumnya atau di daerah lain belum ada?

Materi kampanye kotor hampir sama di semua daerah, termasuk Jakarta, lebih pada penyerangan area privat, seperti selingkuh, korupsi yang belum ada keputusan tetapnya, penggunaan isu SARA, dll. Nah, bentuknya yang mungkin berbeda dan berkembang. Kalau dulu hanya lewat obrolan, ceramah, selebaran, corat-coret di tembok, poster atau sepanduk; kini bisa dilakukan melalui broadcast SMS dan BBM. Jadi modus kampanye kotor, ya mengikuti atau memanfaatkan perkembangan teknologi.

Siapa sesungguhnya pelaku kampanye kotor tersebut? Bisakah KIPP Jakarta mengidentifikasinya?

Ya tentu saja dilakukan oleh orang-orang dari pasangan calon yang tengah berkompetisi. Hanya saja tidak mungkin tim resmi melakukan itu. Pelakunya adalah “tim siluman” pasangan calon tertentu. Kita bisa menelusurinya, dari kontennya, modusnya dan alurnya. Namun tidak gambang untuk dibuktikan secara hukum. Selain itu, para saksi juga belum tentu mau bersaksi.

Ini pekerjaan susah, tetapi harus dicegah atau ditindak keras, sebab jika tidak kampanye kotor ini bisa mengarah ke konflik antarwarga. Kami sudah berulang kali mengingatkan ke penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Panwaslu, namun tampaknya mereka masih abai.

Mengapa Panwaslu DKI Jakarta diam saja?

Mereka terjebak pada apa yang dikatakan Prof. Thamrin Tamagola dengan istilah “demokrasi legal prosedural”. Jadi jika pemantau menginformasikan temuan, mereka menuntut kita untuk secara formal melaporkan, di mana seharusnya mereka bisa merespon informasi tersebut dengan menurunkan tenaga pangawas di lapangan. Tetapi yang terjadi mereka menunggu laporan resmi.

Lalu apa yang dilakukan KIPP Jakarta bila menemukan kasus-kasus kampanye kotor?

SOP KIPP Jakarta sebagai organisasi pemantau, sudah jelas: jika ada temuan langsung membuat laporan ke Panwaslu, yang kemudian kita lengkapi dengan publikasi media melalui siaran pers atau jumpa pers. Tujuannya agar masyarakat ikut terlibat dalam proses pengawasan pilkada.

Bagaimana dampak kampanye kotor jika pelakunya tidak bisa ditindak?

Setiap aktivitas yang melanggar undang-undang seharusnya bisa ditindak. Karena undang-undang menentukan batas kadaluwarsa terhadap tindak pidana pemilu, maka penyelanggara pemilu harus cekatan. Bergerak aktif, karena mereka digaji negara memang untuk menjalankan tugas itu.

Jika kampanye kotor ini tidak dicegah atau ditindak tegas, saya khawatir hal ini akan jadi pemicu konflik warga Jakarta. Kita tahu, meskipun Jakarta ini metropolis, pendudukanya berpendidikan, namun konflik antarkelompok bebrasis etnis dan agama juga kerap muncul, bahkan sampai menimbulkan korban. Makanya kami selalu mengingatkan penyelenggara pemilu agar begerak cepat menangani masalah ini. Jika memang tidak bisa ditindak, ya pencegahan harus dilakukan.