August 8, 2024

Donal Fariz: Partai Harus Bertanggung Jawab atas Tindak Korupsi Kadernya

Pada 2013, Indonesia Corupption Watch (ICW) merilis 36 daftar sementara calon legislator (caleg) yang diragukan komitmennya di dalam pemberantasan korupsi. Tak sedikit caleg dan partai saat itu menolak, bahkan di antara mereka menyerang balik ICW.

Donal Fariz, peneliti korupsi politik ICW mengatakan, pentingnya pemilih mengetahui komitmen setiap caleg di dalam pemberantasan korupsi. Tujuannya, tak lain memastikan pemilih untuk tak salah memilih perwakilannya di legislatif. ICW menegaskan, keterlibatan kader atau pengurus partai di dalam kasus korupsi cenderung menjadi gambaran partainya.

Berikut wawancara jurnalis rumahpemilu.org, Heru Suprapto dengan Donal soal korupsi yang melibatkan kader-kader partai secara lebih mendalam.

Pada tahun 2013, ICW pernah merilis daftar caleg sementara yang diragukan komitmennya dalam pemberantasan korupsi? Apa masih relevan sampai saat ini?

ICW pernah merilis 36 nama caleg yang dianggap tak memiliki komitmen dalam pemberantasan korupsi. Kami publikasikan mereka karena pernah disebut dalam persidangan dan menerima uang. Selain itu, ada mantan terpidana kasus korupsi dan ada yang ingin membubarkan lembaga khusus, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi.

Beberapa partai merespon beragam laporan ICW ini. Banyak dari mereka merasa diserang dengan publikasi ini dan sebagian lagi menganggap tak berpengaruh. Namun, sampai hari ini daftar caleg itu sudah terkonfirmasi. Sejumlah nama di kemudian hari terlibat dalam kasus korupsi.

Sebut saja misalnya, Sutan Bhatoegana sekarang dikaitkan dengan kasus suap dan korupsi SKK Migas. Ada juga Setya Novanto dari Partai Golkar yang dikaitkan dengan kasus dugaan korupsi Akil Mochtar di Pilkada Jawa Timur. Ini mengkonfirmasi keraguan beberapa pihak terhadap publikasi kami yang mulai terkuak.

Bagaimana penyampaian ICW soal laporan ini?

Tujuan utama kami menyampaikan laporan ini untuk meningkatkan public awareness ke masyarakat agar waspada di dalam menggunakan suaranya nanti. Publik jangan salah memilih. Dampaknya besar untuk lima tahun ke depan. Caleg yang tak memiliki komitmen pemberantasan korupsi tentu merugikan masyarakat.

Saat bersamaan, kami juga melakukan hal lain, yakni mendorong publikasi caleg-caleg berkualitas ke masyarakat. Kami berkerjasama dengan civil society untuk mendorong itu. Masyarakat dapat mengetahui latar belakang caleg secara jelas. Sehingga, pemilih bisa memilih caleg-caleg berkualitas.

Bagaimana ICW yang selama ini mengampanyekan antikorupsi bisa bersinergi dengan isu Hak Asasi Manusia (HAM) dan kesetaraan gender?

ICW juga memberikan masukan kepada caleg-caleg perempuan. Koalisi Perempuan Indonesia pernah memberikan daftar nama-nama caleg perempuan. Kemudian, ICW memberikan masukan soal komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Bagaimana pun juga teman-teman di jaringan perempuan juga mau memilih caleg perempuan yang bersih dari korupsi.

Soal isu HAM, ICW juga mendorong kawan-kawan gerakan HAM membuat daftar caleg-caleg pelanggaran HAM dan bersinergi dengan kami dengan isu antikorupsi. Pada intinya, kami mengupayakan penyebaran gagasan antikorupsi ke kelompok gerakan masyarakat sipil lainnya.

Soal dana kampanye, ICW juga pernah mengkaji dan merilis dana kampanye tahap pertama. Hasilnya apa?

Laporan dana kampanye tahap pertama sebenarnya bisa menjadi peringatan bagi kita atas situasi rawan korupsi. Dari sini kita diingatkan, korupsi terbesar berasal dari pesta pemilu yang membutuhkan biaya begitu besar. Penyelewengan dana pemilu bisa menjadi masalah yang menggrogoti kandidat-kanditat untuk lima tahun ke depan jika mereka terpilih kembali. Untuk itu, Komisi Pemilihan Umum diminta serius memvalidasi laporan dana kampanye tahap pertama.

Kami menilai, akar korupsi pejabat publik dan dunia politik ini berasal dari pemilu. Pemilu yang diwarnai dengan tak adanya transparansi keuangan partai mengindikasikan bahaya korupsi ke depan saat mereka menjabat di parlemen maupun pemerintahan. Bagaimana pun mereka juga akan mengelola anggaran negara. Selain itu, akan meruntuhkan kepercayaan publik dalam pemilu berikutnya.

Nah, kami berharap, laporan dana kampanye tahap pertama ini jangan hanya dijadikan alas tidur bagi KPU. Laporan ini harus menjadi bahan yang sangat berguna untuk memvalidasi laporan keungan fiktif dari partai itu sendiri.

Banyak kader atau fungsionaris partai terjerat kasus korupsi. Bagaimana ICW melihat hubungannya dengan partai?

Kader atau fungsionaris partai yang terjerat kasus korupsi tak bisa dipisahkan dengan partainya. Sampai saat ini ada 73 kader partai yang dikaitkan dengan kasus korupsi. Kader dan partai ibarat dua mata uang. Tindak suap dan korupsi yang dilakukan kader partai menggambarkan partai itu sendiri.

Partai sering mengarahkan publik dengan informasi kasus korupsi kadernya secara bias. Mereka berusaha memisahkan kasus-kasus yang muncul dianggap sebagai aktivitas individu saja yang tak ada kaitannya dengan kebijakan atau aktivitas partai.

Namun, informasi yang bias itu terbantahkan dengan munculnya tersangka kasus korupsi yang melibatkan aktor-aktor kunci partai. Sebut saja, di Partai Demokrat, kita dapat melihat KPK telah mengadili dan menahan petinggi partai, Angelina Sondakh, Andi Mallarangeng, Muhammad Nazaruddin, dan terakhir Anas Urbaningrum.

Di partai lain, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), ada Luthfi Hasan Ishaaq sebagai Presiden PKS yang terjerat kasus korupsi impor sapi. Di Partai Amanat Nasional ada Wa Ode Nurhayati dan di partai lainnya ada sejumlah nama pengurus partai.

Kami melihat, kerja mereka tak bisa dipisahkan dengan aktivitas politik partai, seperti mencari dana untuk kebutuhan logistik partai. Kecenderungan yang terjadi, selain untuk keuntungan diri sendiri, tindak korupsi yang mereka lakukan juga diarahkan untuk mendanai segala kebutuhan partai, terlebih menjelang kampanye partai di pemilu ini.

Oleh karena itu, partai sebagai rumah besar harus bertanggung jawab terhadap kader-kadernya yang bermasalah secara hukum, khususnya yang terjerat kasus korupsi. Partai tak bisa melepas dari tanggung jawab atas kadernya yang tertangkap. Bagaimana pun, aliran dana korupsi masuk ke dalam partai. Tak pantas kemudian semua orang di dalam partai diam dan melokalisir masalah itu ke kader saja.

Jadi, pandangan ini relevan dengan laporan soal partai terkorup yang pernah dirilis ICW pada 2012?

Benar. Sebelum kami merilis nama-nama caleg yang tak memiliki komitmen di dalam pemberantasan korupsi dan terkonfirmasi di kemudian hari, kami sudah mencatat ada empat partai besar yang terkorup. Metode yang digunakan tak lepas dari kaitannya antara pengurus dengan kasus korupsi yang mengemuka.

Keempat partai yang terkorup, yakni urutan pertama Partai Golkar dengan 14 kadernya yang terjerat kasus korupsi. Disusul Partai Demokrat dengan 10 kader. Selanjutnya PAN dan PDI P dengan 8 kader. Saat itu, kami merekam jejak kasus korupsi mereka tahun 2012. Pada saat ini, tentu jumlahnya bertambah dan beberapa partai lain sudah menunjukan hal yang sama.

Banyaknya kader partai yang terjerat kasus korupsi membuktikan predikat partai itu sebagai partai terkorup. Sekali lagi, partai harus bertanggung jawab di hadapan publik karena menjadi mesin pencarian dana partai dengan cara melakukan tindak korupsi.

Ada kaitannya dengan dana saksi partai?

Yang terjadi jelang pemilu saat ini, partai kekurangan logistik setelah KPK memutus sumber pencarian dana partai dengan tindak korupsinya. Akibatnya, mereka secara berjamaah mendorong Presiden untuk mendanai saksi partai yang semestinya tak patut dibiayai negara.

Penolakan kami terhadap pendanaan saksi partai dengan APBN ini untuk menutup ruang-ruang transaksional antara kepentingan penyelenggaran pemilu dengan partai. Semestinya, partai tak lagi memanipulasi sumber pendanaan mereka. Biaya besar untuk kampanye bisa dialihkan ke pembiayaan saksi partai.

Jika, saksi partai tetap menggunakan APBN, kami akan mendorong KPK menjerat pemerintah atau penyelenggara pemilu karena telah menyalahgunakan wewenang dan APBN untuk kepentingan partai, bukan kepentingan publik. Sejauh ini, kami bersama masyarakat tetap mengawasi langsung praktik politik yang begitu rawan dengan tindak pidana korupsi. [HS]