August 8, 2024
Print

Politik Uang dalam Perspektif Kriminologi

Ketika penulis dihubungi oleh Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM) Titi Anggraini untuk menulis artikel mengenai politik uang (money politics) dalam rangka memperingati 50 tahun Prof. Topo Santoso, SH. MH., Ph.D (Guru Besar Fakultas Hukum UI) tanpa berpikir panjang, saya menyanggupinya. Ada 3 alasan yang ingin saya kemukakan, yakni: pertama, kendatipun penulis tidak pernah mengenyam pendidikan secara langsung dari beliau namun berbagai buku yang ditulisnya terutama mengenai Tindak Pidana Pemilu telah memberikan banyak hal kepada publik. Pada saat mayoritas ahli hukum pidana dan kriminologi cenderung mengulas mengenai kejahatan korupsi, teorisme, narkotika dan kejahatan serius lainnya—Prof. Topo Santoso justru hadir dengan menawarkan pemikiran kontemporer yang topiknya tidak kalah genting yaitu tindak pidana pemilu. Karena itu, tulisan ini implisit ingin “melunasi” utang akademik kepada beliau atas sumbangsihnya dalam kajian pidana Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia.

Kedua, salah satu tindak pidana Pemilu atau Pemilukada adalah money politics. Kejahatan ini bisa dikatakan sebagai penyakit lama yang tidak kunjung sembuh dalam setiap kontestasi Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada). Ibarat virus, kejahatan politik uang begitu berbahaya tetapi hingga kini belum ditemukan obat penyembuhannya. Revisi terhadap peraturan ke-pemiluan  ternyata tidak mampu menekan laju praktik politik uang. Padahal, bila dikaji lebih jauh money politics adalah cikal bakal munculnya korupsi politik yang bisa membentuk oligarki politik dan pada akhirnya melahirkan state capture corruption: ketika politisi, birokrasi dan korporasi bersatu padu mengorupsi kebijakan negara demi keuntungan pribadi atau kelompoknya. Dengan kata lain, negara terkesan mengorupsi dirinya sendiri.

Ketiga, secara akademik, dalam konferensi Hukum Tata Negara di Batusangkar Padang (9-12 November 2018) saya membawakan makalah mengenai Kebijakan Kriminal Politik Uang Dalam Pemilu. Materi penulis bahkan telah diterbitkan dalam Jurnal Integritas KPK Vol 5 Nomor 1 Juni 2019 dengan judul Politik Hukum Tindak Pidana Politik Uang Dalam Pemilu di Indonesia. Penulis juga beberapa kali diundang oleh penyelenggara Pemilu di Sultra untuk mengulas mengenai politik uang sebagai musuh demokrasi. Sehingga rasanya relevan jika penulis membahas mengenai politik uang dalam kesempatan ini.

Mengawali tulisan singkat ini, penulis ingin menegaskan bahwa dalam beberapa literatur, politik uang acapkali disebut sebagai korupsi elektoral. Dikatakan demikian, sebab politik uang adalah perbuatan curang dalam Pemilu atau Pemilukada yang hakikatnya sama dengan korupsi berupa suap menyuap.[3] Kajian mengenai politik uang sesungguhnya bukannya sepi atau tanpa peminat. Mulai dari perspektif ilmu politik yang menyasar partai politik sebagai arus utama dalam praktik money politics. Selanjutnya, ada pula studi hukum pidana baik dalam bentuk karya ilmiah maupun hanya sebatas edukasi kepada publik melalui organ penyelenggara Pemilu. Studi yang bisa dibilang masih jarang dilakukan mengenai politik uang adalah dalam perspektif kriminologi.

Masih mengenai politik uang, jika Pemilu pada masa orde baru lebih mengarah pada pelibatan pegawai negeri sipil dan pemihakan TNI/Polri kepada partai Golongan Karya (Golkar) maka pasca reformasi bergulir 1998 penyakit Pemilu bertambah pelik yakni massif dan sistemiknya money politics atau korupsi elektoral.[4] Kejahatan ini dilakukan mulai dari pemilihan Bupati/Walikota, Gubernur, anggota Legislatif dari daerah sampai ke pusat hingga pemilihan Presiden. Jadi bisa dikatakan bahwa politik uang menjadi momok yang sangat menakutkan sehingga dapat menggerogoti demorasi yang sehat.

Ramlan Surbakti menyatakan bahwa, kejahatan politik uang dapat diidentifikasi dalam beberapa hal, yakni: pertama, untuk dapat menjadi calon diperlukan “sewa perahu” baik yang dibayar sebelum atau sesudah penetapan calon. Kedua, calon dari petahana akan menerima dana yang sangat banyak dari pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut. Ketiga, bagi kabupaten/kota yang pemilihnya antara 10.000 hingga 100.000 dengan potensi ekonomi daerah yang sangat besar maka pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut dapat menentukan siapa kandidat yang akan terpilih. Keempat, jika terdapat 3 pasangan calon kepala daerah yang bersaing dengan asumsi bahwa memperoleh 25% suara sudah cukup mengantarkan calon sebagai pemenang maka politik uang akan berkontribusi besar dalam menentukan kemenangan.[5]

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah melakukan kajian mengenai kejahatan politik uang dalam Pemilu 2019 termasuk beberapa Pilkada serentak. Hasilnya, begitu mencengangkan, bahwa lebih dari 50% wajib pilih meyakini bahwa politik uang adalah bagian dari proses demokrasi. Tindakan menerima uang atau barang untuk memilih calon tertentu dianggap sebagai hal yang lumrah dan bukan lagi masalah serius.[6] Paradigma yang demikian, sesungguhnya patut dikhawatirkan sebab publik tidak lagi memandang bahwa politik uang sebagai praktik culas yang menggadaikan masa depan daerah atau negara. Hal ini dapat memicu semakin pragmatisnya setiap kontestasi dan yang paling penting adalah memundurkan kualitas demokrasi.

Selaras dengan itu, Kepolisian Republik Indonesia mencatat bahwa dalam Pemilu 2019 terdapat 132 dugaan pelanggaran Pemilu yang diterima dan diproses melalui Sentra Gakumdu. Dari jumlah tersebut, kasus politik uang adalah yang terbanyak yakni 32 kasus. Sisanya berbentuk tindak pidana Pemilu yang lain.[7] Sementara itu, Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) RI, menyatakan bahwa terdapat 35 kasus politik uang yang tersebar di 13 provinisi pada Pemilu 2019. Menuju Pemilukada serentak 2020, Bawaslu telah merilis indeks kerawanan Pemilu yang salah satunya mengenai ancaman kejahatan money politics.[8]

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dapat dikatakan bahwa kejahatan politik uang atau korupsi elektoral masih menjadi ancaman nyata dalam praktik berdemokrasi di Indonesia. Korupsi elektoral, selalu memimpin di depan terkait dengan tindak pidana Pemilu maupun Pemilukada. Hal ini tidak saja merusak kualitas demokrasi tetapi juga dapat mendegradasi peradaban bangsa Indonesia yang sejak dahulu kala dikenal sebagai bangsa yang bermoral. Pertanyaan kemudian adalah apakah yang menyebabkan massif dan sistemiknya kejahatan politik uang dalam Pemilu atau Pemilukada? Ulasan berikut ini akan mengupas kejahatan politik uang dalam perspektif kriminologi.

Hukum Pidana dan Kriminologi

Edwin H. Sutherland dan Cressey mendefinisikan kriminologi sebagai the body of knowledge regarding crime as a social phenomenon. It includes within its scope the processes of making laws, of breaking laws, and of reacting toward the breaking of laws.[9] Bahwa kriminologi merupakan ilmu yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial. Substansinya meliputi: proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi setelah terjadinya pelanggaran hukum. Kriminologi disebut juga sebagai the systematic study of the nature, extent, cause and control of law breaking behavior.[10]

Sementara itu, Moeljatno mendefinisikan hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan mengatur ketentuan tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dilarang, yang disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melakukan. Juga kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan sanksi pidana dan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan.[11] Jadi hukum pidana berisi tiga hal, yakni: (1) mengatur perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dilarang disertai ancaman pidana bagi yang melanggar. (2) ketentuan tentang kapan dan dalam hal apa seseorang yang melakukan perbuatan terlarang dapat dipidana. (3) cara pengenaan pidana kepada seseorang yang telah melanggar larangan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kriminologi dan hukum pidana merupakan ilmu pengetahuan yang objek studinya menyangkut kejahatan. Hukum pidana memfokuskan dirinya pada kejahatan dan ancaman sanksi bagi pelaku yang telah dirumuskan secara tertulis (normativestrafrechtwissenschaft). Secara teori hal ini disebut sebagai legal definition adalah any action by individual in contravention of a law is a crime.[12] Sedangkan kriminologi memfokuskan dirinya pada penyebab kejahatan sebagai fenomena sosial, pencegahan dan pelakunya.[13] Dalam pembacaan, John Lewis Gillin, hal tersebut disebut sebagai social definition of crime adalah those act which no civilized society can refuse to recognize as criminal and repress by means of punishment.[14]

Singkatnya, kejahatan dalam konteks kriminologi, tidak terbatas pada rumusan undang-undang semata tetapi juga yang belum dirumuskan secara tertulis (faktuelstrafrechtwissenschaft). Artinya, kejahatan tersebut menjadi familiar ditengah masyarakat tetapi belum dikategorikan sebagai tindakan terlarang menurut hukum pidana.[15] Jadi bisa disimpulkan bahwa hukum pidana memiliki radius yang lebih sempit ketimbang kriminologi pada saat memaknai kejahatan.[16]

Keterbatasan hukum pidana dalam memandang kejahatan seperti yang diungkapkan oleh Gillin tersebut, kemudian dikritik oleh Thosten Sellin, bahwa hukum pidana tidak dapat memenuhi tuntutan-tuntutan ilmuwan dan tidak dapat memberi suatu dasar yang lebih baik bagi perkembangan-perkembangan masyarakat.[17] Dalam konteks itu, kriminologi akan mengambil tempat yang lebih luas ketimbang hukum pidana ketika membahas mengenai kejahatan.[18] Konsekuensinya, tidak dapat dihindari bahwa kriminologi merupakan kumpulan dari banyak ilmu pengetahuan, seperti: antropologi, sosiologi, psikologi, penologi dan kriminalistik.[19] Atas dasar itulah Herman Manheim, menyebut kriminologi sebagai a king without a country.[20]

Kaitannya dengan kejahatan politik uang dalam Pemilu atau Pemilukada, kriminologi diarahkan sebagai pisau analisis untuk mengetahui sebab musabab terjadinya kejahatan politik uang kemudian akan dicari jalan keluarnya. Sehingga tidak terpaku dengan rumusan normatif tindak pidana politik uang sebagaimana disebutkan dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Pendeknya, kriminologi akan digunakan untuk menganalisis masalah politik uang sebagaimana telah diuraikan di atas.

Politik Uang Dalam Studi Kriminologi

Dalam rangka mengkaji dan menganalisis kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, kriminologi memperkenalkan beberapa teori yang dapat dijadikan rujukan atau pisau analisis dalam membedah kejahatan. Setiap teori memiliki basis argumentasi dan variannya sendiri-sendiri. Graham Brooks menyatakan bahwa dalam studi krimonologi, ada 2 tipe kejahatan Pemilu, yakni: pertama, corrupt campaign practice artinya praktik kampanye yang menggunakan fasilitas atau keuangan negara. Kedua, election fraud adalah kecurangan dalam Pemilu, termasuk dalam konteks ini adalah money politics.[21]

Untuk mengulas masalah politik uang sesuai topik di atas, penulis akan merujuk pada 2 teori mendasar dalam krimonologi, yakni anomie theory dan social bond theory, Pertama, anomie theory. Teori ini merupakan varian dari paradigma positivis.[22] Pertamakali diperkenalkan oleh Emile Durkheim (1897) dengan menyatakan an anomic society is one in which rules of behavior (i.e., values, customs, and norms) have broken down or become inoperative during periods of rapid social change. [23] Dalam kosa kata lain, anomie refers to a state or a condition in society in which the values and norms are no longer effective in regulating behaviour.[24] Bahwa anomie mengacu pada keadaan atau kondisi dalam masyarakat yang mana nilai dan norma-norma tidak lagi efektif dalam mengatur perilaku masyarakat.

Gagasan tersebut kemudian dimodifikasi oleh Robert K. Merton yang memperkenalkan teori social structure and anomie.[25] Merton menegaskan bahwa kejahatan dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Ditekankan oleh Merton, the concept of anomie to fit social, economic, and cultural conditions found in modern society.[26] Dalam konteks itu, anomie berpandangan bahwa social inequality leads to perceptions of anomie. To resolve the goals–means conflict and relieve their sense of strain, some people innovate by crimes. Jadi ketidaksetaraan sosial menjadi pendorong terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, untuk meredakan konflik dan ketegangan dalam masyarakat, beberapa orang berinvokasi dengan cara melakukan kejahatan.

Apabila teori tersebut dihubungkan dengan kejahatan politik uang dalam Pemilu atau Pemilukada akhir-akhir ini maka bisa diakatakan bahwa hal itu terjadi karena masyarakat sebagai wajib pilih dan calon yang akan dipilih (Presiden, anggota legislatif, bupati/Walikota dan gubernur) mulai kehilangan nilai-nilai moral sehingga dengan mudah melakukan perbuatan curang yang mencederai nilai kejujuran dan keadilan. Alhasil pemilih dan calon yang akan dipilih menempatkan kontestasi Pemilu atau Pemilukada dalam wadah pragmatisme.

Selain itu, masa transasi dari orde baru yang otoritarian menuju reformasi yang demokratis justru menimbulkan euforia yang berlebihan sehingga penyelenggaraan Pemilu atau Pemilukada hanya menguntungkan elit politik tertentu. Publik sedikit memperoleh manfaat dari pesta demokrasi yang diselenggarakan. Kondisi ini tanpa sadar telah menimbulkan ketidaksetraan atau ketidaksamaan memperoleh kesempatan dalam mengisi jabatan publik. Pada titik tertentu, publik merasa bahwa pesta demokrasi hanyalah seremonial belaka untuk menampung kepentingan elit. Dalam konteks itulah, sifat pragmatisme pemilih menjadi lebih terbuka sebab akses terhadap kekuasaan yang sulit ditambah dengan perilaku elit yang hanya mementingkan pribadi dan partai politiknya menstimulasi pemilih “menjual” suaranya.

Dalam kondisi yang demikian, bagaimanapun jelas dan tegasnya ancaman pidana dalam norma tindak pidana pemilu termasuk politik uang—hal itu tidak akan mampu menakut-nakuti psikologi pemilih agar tidak terlibat dengan praktik jual beli suara. Sebab ada akumulasi masalah yang belum terselesaikan. Pada titik inilah norma dianggap tidak efektif lagi mengatur perilaku masyarakat. Perlu diketahui bahwa teori anomie juga meyakini bahwa kejahatan mencerminkan keunikan dalam masyarakat dan mereka yang melanggar hukum mewakili kelompok yang unik. Dikatakan unik karena perilaku jahatnya bertentangan dengan standar moral yang telah disepakati bersama dalam masyarakat. Maka pelaku money politics mewakili kelompok yang unik tersebut.

Kedua, social bond theory. Teori ini pada dasarnya masih merupakan varian dari paradigma positivis. Pada awalnya diperkenalkan oleh Travis Hirschi sebagai pengembangan dari teori kontrol sosial. Hirschi menegaskan bahwa seseorang terlibat dalam kejahatan karena ia terlepas dari ikata-ikatan erat nilai moral yang seharusnya mengikat masyarakat dalam suatu cara hidup yang patuh pada hukum.[27]

Masih menurut Hirschi, kejahatan yang terjadi dalam masyarakat hanya dapat dikendalikan melalui penguatan kontrol sosial. Dengan cara yang demikian, anggota masyarakat akan berusaha menjadi orang yang lebih baik mulai dari lingkungan keluarga, pergaulan hingga lingkungan masyarakat luas. Ikatan sosial tersebut, dikonstruksi melalui 4 elemen mendasar yakni: (1) attachment is the strength or weakness of relationships. (2) commitment is the level of investment an individual makes in a relationship. (3) involvement, the amount of time an individual spends in conforming or non-conforming behaviour. (4) beliefs is the extent to which an individual has been socialized into being a law-abiding citizen.[28]

Pendeknya, attachement menekankan pada kelemahan dan kekuatan hubungan persahabatan atau pertemanan. Commitement merupakan tingkat investasi yang dilakukan seseorang dalam suatu hubungan pertemanan. Involvement adalah jumlah waktu yang dihabiskan seorang individu dalam perilaku sehingga mampu menyesuaikan diri atau tidak. Belief, bahwa sejauh mana seseorang telah disosialisasikan menjadi warga negara yang taat hukum.

Apabila teori ini, dihubungkan dengan kejahatan politik uang di Indonesia, dapat diakatakan bahwa penyebab massifnya kejahatan tersebut dilatari oleh terlepasnya individu-individu dari ikatan moral dalam keluarga padahal seharusnya menjadi pedoman hidup dalam bermasyarakat. Kondisi ini memungkinkan setiap orang melakukan perbuatan menyimpang atau kejahatan sebab sebagian orang tidak lagi menaati aturan hukum yang berlaku. Dalam hal ini, pelaku money politics melepaskan dirinya dari ikatan moral sehingga dengan mudah melanggar UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Oleh karena itu, mencegah atau menghindari terjadinya kejahatan politik uang dalam perspektif social bond theory sangat dipengaruhi oleh peran keluarga. Penanaman nilai-nilai moral sehingga memberi ikatan moral yang kuat dalam keluarga dapat mengarahkan individu untuk menjaga diri dan keluarganya dari perbuatan jahat, misalnya politik uang. Sehingga setiap orang akan fokus pada tindakan yang produktif, misalnya mengembangkan karir, menjaga reputasi keluarga dan terus menerus melakukan kebajikan. Perilaku keluarga yang demikian pada akhirnya dapat mempengaruhi lingkungan sekitar sehingga membentuk hubungan sosial yang kuat secara moril.

Dalam konteks itu, ketika ada calon kepala daerah atau calon anggota legislatif atau tim pemenangannya yang berusaha mempengaruhi wajib pilih melalui sejumlah uang atau barang agar memilihnya maka hal itu tidak mudah terjadi sebab masyarakat telah mengikatkan dirinya pada nilai-nilai moral yang dipercaya sebagai cara untuk membangun tatanan hidup yang lebih baik. Masyarakat akan sangat menghargai dan patuh terhadap aturan hukum dalam Pemilu atau Pemilukada karena kepatuhannya bukan karena takut dipidana tetapi lahir dari hati nuraninya bahwa menerima sejumlah uang untuk memilih calon tertentu merupakan perbuatan culas yang berdampak bagi individu, keluarga dan masyarakat.

Kesimpulan

Berdasarkan ulasan tersebut, berbicara tentang kejahatan politik uang pada dasarnya tidak hanya menajadi domain hukum pidana melalui ancaman pidana dalam tindak pidana Pemilu sebagaimana diatur melalui UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, melainkan juga menjadi fokus kriminologi. Politik uang dalam perspektif hukum pidana, hanya sebatas norma-norma yang disebutkan dalam kedua peraturan tersebut. Sedangkan krimininologi melihatnya dalam sudut pandang lebih luas. Jadi tidak terbatas pada rumusan undang-undang semata. Intinya, kejahatan politik uang dapat pula dianalisis dengan menggunakan teori kriminologi yakni anomie theorie dan social bond theory. Merujuk dari kedua teori tersebut dapat disimpulkan bahwa kejahatan politik uang terjadi karena masyarakat terlepas dari ikatan nilai-nilai moral dalam keluarga yang kemudian mempengaruhi hubungan sosial dalam lingkungan masyarakat. Ketika itu terjadi maka norma dianggap tidak efektif lagi mengatur perilaku masyarakat. Dengan kata lain, pelaku kejahatan politik uang telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan standar moral yang telah disepakati bersama dalam masyarakat. []

HARIMAN SATRIA

Dosen Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Univ Muhammadiyah Kendari

Referensi

Bonger, W.A, 1995, Pengantar Tentang Kriminologi (Diterjemahkan oleh R.A Koesnoen), PT Pembangunan, Jakarta.

Brooks, Graham, 2016, Criminology of Corruption: Theoritical Approaches, Plagrave Macmillan, London.

Brown, Stephen E, Esbensen, Aage dan Geis, Gilbert, 2010, Criminology: Explaining Crime and It’s Context, Anderson Publishing, New York.

Estlund, David, 2012, The Oxford Handbook of Political Philosophy, Oxford University Press, New York.

Gillin, John Lewis, 1929, Criminology and Penology VI, The Century Co,  New York.

Indeks Kerawanan Pemilu (Pilakda serentak 2020), 2020, Badan Pengawas Pemilu RI, Jakarta.

Lanier, Mark M. dan Henry, Stuart , 2010, Essential Criminology, Westview Press, Philadelphia.

Manheim, Hermann, 1960, Pioneers in Crimonologie, Steven and Sons.

Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Revisi), Rineka Cipta, Jakarta.

Satria, Hariman , 2012, Anatomi Hukum Pidana Khusus, UII Press, Yogyakarta.

___________________, 2020, Hukum Pidana Korporasi: Doktrin, Norma dan Praksis, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

___________________, Politik Hukum Tindak Pidana Politik Uang Dalam Pemilu di Indonesia, Jurnal Integritas Vol 5 Nomor 1 Juni 2019.

Siegel, Larry J. , 2012, Criminology (Eleventh Edition), Wadswort Cengage Learning, Belmont-USA.

Soekanto, Soerjono, Lilikuwata, Hengki, Kusuma, Mulyana W, 1981, Kriminologi Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Surbakti, Ramlan, Understanding the Flaws in Indonesia’s Electoral Democracy, The Indonesian Journal of Leadership Policy and World Affairs Volume 4 No. 2, 2014.

Sutherland, Edwin H dan Cressey, Donald R, 1960, Principles of Criminology (Sixth Edition), J.B Lippincott Company, Chicago-Philadelphia-New York.

Walkate, Sandra, 2007, Understanding Criminology (Third Edition), Open University Press, New York.

[1] Ditulis untuk memperingati hari ulang tahun Prof. Topo Santoso, SH., MH., Ph.D yang diinisiasi dan difasilitasi oleh Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

[2] Dosen Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Univ Muhammadiyah Kendari.

[3] David Estlund, 2012, The Oxford Handbook of Political Philosophy, Oxford University Press, New York, hlm. 735.

[4] Hariman Satria, Politik Hukum Tindak Pidana Politik Uang Dalam Pemilu di Indonesia, Jurnal Integritas Vol 5 Nomor 1 Juni 2019, hlm. 3.

[5] Ramlan Surbakti, Understanding the Flaws in Indonesia’s Electoral Democracy, The Indonesian Journal of Leadership Policy and World Affairs Volume 4 No. 2, 2014, hlm. 71.

[6] Kajian LIPI: Masyarakat Memandang Politik Uang Bagian dari Pemilu, Kompas 29 Agustus 2019, hlm. 5.

[7] Polri Sebut ada 31 Kasus Terkait Politik Uang, Kompas, 4 April 2019.

[8] Indeks Kerawanan Pemilu (Pilakda serentak 2020), 2020, Badan Pengawas Pemilu RI, Jakarta, hlm. 50.

[9] Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey, 1960, Principles of Criminology (Sixth Edition), J.B Lippincott Company, Chicago-Philadelphia-New York, hlm. 3.

[10] Mark M. Lanier dan Stuart Henry, 2010, Essential Criminology, Westview Press, Philadelphia, hlm. 16.

[11] Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Revisi), Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 1.

[12] John Lewis Gillin, 1929, Criminology and Penology VI, The Century Co,  New York, hlm. 11.

[13] Hariman Satria, 2020, Hukum Pidana Korporasi: Doktrin, Norma dan Praksis, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 8.

[14] Ibid, hlm. 12.

[15] Ibid, hlm. 9.

[16] Hariman Satria, 2012, Anatomi Hukum Pidana Khusus, UII Press, Yogyakarta, hlm. 6.

[17] Soerjono Soekanto, Hengki Lilikuwata, Mulyana W. Kusuma, 1981, Kriminologi Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 22.

[18] Ibid.

[19] W.A Bonger, 1995, Pengantar Tentang Kriminologi (Diterjemahkan oleh R.A Koesnoen), PT Pembangunan, Jakarta, hlm. 25-26.

[20] Hermann Manheim, 1960, Pioneers in Crimonologie, Steven and Sons, hlm. 29.

[21] Graham Brooks, 2016, Criminology of Corruption: Theoritical Approaches, Plagrave Macmillan, London, hlm. 43.

[22] Stephen E. Brown, Aage Esbensen dan Gilbert Geis, 2010, Criminology: Explaining Crime and It’s Context, Anderson Publishing, New York, hlm. 18.

[23] Larry J. Siegel, 2012, Criminology (Eleventh Edition), Wadswort Cengage Learning, Belmont-USA, hlm. 204.

[24] Stephen E. Brown, Aage Esbensen dan Gilbert Geis, Op.Cit, hlm. 239.

[25] Larry J. Siegel, Op.Cit, hlm. 205.

[26] Ibid, hlm.206.

[27] Sandra Walkate, 2007, Understanding Criminology (Third Edition), Open University Press, New York, hlm. 25.

[28] Ibid, hlm. 26.