Partai peserta Pemilu 2014 ditetapkan KPU sebanyak 10 partai. Apakah ini sesuai dengan keinginan masyarakat sebagai pemilih? Apakah sesuai dengan konteks pluralitas Indonesia? Bagaimana proses beserta aturannya selama ini? Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, August Mellaz menjelaskannya. Berikut hasil wawancara Usep Hasan Sadikin dari rumahpemilu.org pada Selasa (15/1) di Kantor Perludem, Jakarta.
Sebetulnya, masyarakat Indonesia punya keinginan apa terhadap sistem kepartaian. Apakah ingin banyak partai karena trauma dengan Orde Baru? Atau, apakah ingin sedikit partai saja karena kalau banyak bikin pusing? Atau, ingin partai yang ada sekarang itu partai baru mengingat tak baiknya kinerja wakil rakyat dari partai lama?
Ini perlu riset terlebih dahulu. Beberapa survey memang menyimpulkan kecenderungan masyarakat ingin partai sedikit. Meskipun persepsi masyarakat itu belum tentu benar.
Maksudnya “belum tentu benar�
Begini. Masyarakat kan punya tendensi tertentu. Juga punya traumatik tertentu. Bisa saja masyarakat sudah apatis. Ini wajar.
Tapi keinginan masyarakat agar jumlah partai di pemilu sedikit, tak menyertai pertimbangan bahwa Indonesia itu plural. Suku, bangsa, etnik dan agama, pandangan politik kita beragam. Konteks Indonesia ini cocoknya multipartai. Keragaman masyarakat akan dilibatkan secara politik melalui multipartai.
Masing-masing pihak dari banyaknya bagian masyarakat mengusung berbagai agenda dan kepentingannya. Lalu diwakilkan secara lembaga untuk menghasilkan segala konsensus kebangsaan.
Misalnya fenomena partai berbasis agama. Seperti PBB atau PDS. Atau partai yang ada di parlemen seperti PPP. Faktanya memang mengalami penurunan porsi perolehan suara di pemilu, tetapi mereka masih punya porsi suara. Berapa pun itu.
Dalam sistem politik yang sekarang di pemilu, mereka secara administrasi tidak diperbolehkan bertanding. Ini gak fair bagi negara seplural Indonesia.
Orang sah kok, di Sumatera Barat dan Bangka Belitung yang berbasis massa Islam Pedagang, pilih PBB yang sebelumnya adalah Masyumi. Orang di Sulawesi Utara dan Papua, berhak kok bikin partai Kristen dan mengupayakan “aturan salibâ€. Wajar itu. Yang paling penting adalah, apakah seseorang punya dukungan dari masyarakat yang bisa mengantarkan ke parlemen.
KPU dengan syarat verifikasinya sekarang ini tak mempertimbangkan konteks itu. Misal PBB, di Indonesia bagian barat banyak dukungannya tapi di Indonesia bagian timur sangat sedikit, sedangkan KPU memverfikasi secara nasional, ini bisa dinilai tidak fair?
Ya kalau dari pandangan saya, itu memang tidak fair. Tapi ini sudah menjadi klausul yang harus dilaksanakan. Ini semua akan menjadi evaluasi setelah Pemilu 2014 diselenggarakan. Yang paling fair-kan dengan menerima partai mengikuti pemilu, penentuannya nanti apakah partai itu mendapat dukungan atau tidak dari masyarakat.
Pandangan saya terhadap Indonesia yang plural, sebaiknya belajar pada negara-negara Eropa barat. Seperti Belanda dan Belgia. Mereka sabar berdemokrasi. Ada banyak etnis. Bahasa nasionalnya lebih dari satu. Ini prosesnya lama. Konsisten dijalankan. Ada kepentingan dari masing pihak yang berbeda yang terus dikomunikasikan. Karena di antara perbedaan itu ada benang merah yang mempersatukan.
Negara Eropa barat menerapkan demokrasi multipartai. Partai banyak yang terlibat dalam demokrasi. Ini yang disebut demokrasi konsensual. Membangun konsensus yang terpenting. Bisa diuji 20 sampai 30 tahun untuk dinilai berhasil. Mereka jadi maju kok.
Dari pengamat dan partai tak lolos, ada yang meragukan lolosnya PPP sebagai peserta Pemilu 2014. PPP mengalami penurunan signifikan dari jumlah konstituennya. Dari basis massa yang tak merata di nasional membuat PPP sangat sulit untuk bisa memenuhi syarat kepengurusan minimal secara nasional. Bagaimana menjelaskan keadaan dan dugaan ini? Apakah karena PPP partai parlemen, jadi bisa lolos?
Nah, ini yang susah karena tercampur rumor. KPU-nya ditekan atau diintervensi lah atau apa lah. Itu harusnya bisa dijawab dengan indikator tertentu yang lebih objektif.
Misal penjelasannya, partai parlemen, meski mengalami kesulitan dalam verifikasi tapi dibandingkan partai nonparlemen, kesulitannya lebih berat dialami partai nonparlemen.
Ambil contoh PPP. Mungkin dari total setiap provinsi tak bisa karena basis massa Islam tak merata di wilayah timur. Tapi dalam membangun struktur organisasi bisa dengan subsidi silang. Yang dari pusat bisa mengirim orang dan dana ke daerah provinsi yang kurang sumber dayanya.
Subsidi silang sumber daya tersebut masih bisa dipahami. Ini pun berlaku dengan Hanura, Gerindra dan PKB. Bukan berarti mereka tak mengalami kesulitan. Sangat sulit. Tapi karena sudah punya basis di parlemen secara nasional, juga basis di beberapa provinsi, hambatan tak meratanya sumber daya bisa diatasi.
Dibandingkan partai baru seperti Nas-Dem, kan berat. Partai seperti ini harus bangun dari awal. Walau pun Nas-Dem sebagian dari orang Golkar.
Teoritisnya begini, asal partai punya kursi perwakilan satu saja di tingkat DPRD Provinsi, satu kursi saja, satu orang, di situ bisa diasumsikan ada struktur. Dibanding kita harus merespon dugaan-dugaan. Memang anggota KPU dipilih dari DPR. Tapi, menilai KPU diintervensi, tak cukup punya dasar.
Jadi ini yang bisa menjawab. Meski kursi PKB, PPP dan Hanura kecil, tapi ternyata di tingkat kabupaten/kota kepengurusannya ada. Karena jaminan struktur melalui kursi nasional dan provinsi.
Dari sepuluh partai, partai baru hanya satu, perubahannya terhadap pemilih?
Dari sisi empirik memang perubahan sikap untuk memilih itu besar. Kecenderungan pemilih untuk memilih partai baru, besar. Tapi di sisi lain, perubahan sikap pemilih dari partai satu ke partai lain justru menunjukan ketidakstabilan pemilih.
Fenomena Nas-Dem sebagai partai baru itu diuntungkan dengan adanya kecenderungan sikap pemilih yang tak stabil. Di Indonesia, fragmentasi pemilih dalam pemilu itu besar. Kisaran 30 persen. Dari Pemilu 1999 sampai 2009, saya pernah menghitung, dari total suara yang ada terpecahnya mencapai 30 persen.
Jika fragmentasi dikaitkan sebagai kecenderungan untuk memilih partai baru pada pemilu ini, berarti satu-satunya partai baru cuma Nas-Dem. Jadi, pemilih yang suka berubah dalam memilih partai di pemilu, kalo pemahamannya ingin partai baru di luar parlemen, maka semuanya pilih Nas-Dem. Ini cenderung menguntungkan Nas-Dem.
Tapi kalau pun nanti Nas-Dem dapat proporsi yang bagus karena masyarakat yang tak mau pilih partai lama kemudian berubah pilihannya menjadi Nas-Dem, ini belum tentu merubah parlemen. Ini masih tanda tanya.
Kesimpulannya, sebagai satu-satunya partai baru, Nas-Dem diuntungkan. Ditambah fragmentasi pemilih masih tinggi. Keajegan pemilih untuk tetap memilih satu partai dari pemilu sebelumnya ke pemilu di depannya, masih belum ada.
Jika terjadi, limpahan pemilih harus bisa dikelola baik oleh Nas-Dem. Limpahan itu kan harapan dari masyarakat terhadap partai baru untuk merubah parlemen. Pertanyaannya, bagaimana Nas-Dem mengelola kecenderungan ini. Yang ke depannya, bagaimana Nas-Dem bisa konsisten dalam mengupayuakan platform ke parlemen.
Bagaimana perubahannya nanti di parlemen, dengan hanya satu partai baru. Akankah merubah kerja parlemen untuk lebih efektif?
Tidak juga. Efektifitas parlemen tak bergantung apakah partai baru atau lama eksis di parlemen. Jika fragmentasinya kecil maka kecenderungan memilih partai tertentu tak berubah. Dampaknya, situasi parlemen relatif stabil. Mau partai baru atau partai lama jika konsentrasi suaranya di atas 30%, parlemen relatif efektif.
Tapi jika fragmentasinya besar, masalahnya ada di konsentrasi besaran suara. Jika konsentrasinya rendah, maka suara akan tersebar ke partai baru dan partai lama. Jika persebaran suaranya merata, secara teoritis efektifitas parlemen menjadi tanda tanya. Partai-partai harus berkoalisi, karena gak ada yang dominan.
Perolehan suara merupakan cerminan dari kekuatan politik. Apakah konsentrasinya kuat atau tidak. Nah kecenderungannya kan tidak. Sekarang ini menjadi pertanyaan, pertama, apakah dengan sepuluh partai ini sistem kepartaiannya akan lebih sederhana atau tidak. Kedua, parlemennya bakal lebih efektif atau tidak. Secara teoritis kedua penekanan tanya itu tak ada jaminan. Ini soal konsentrasi suara. []