Mengevaluasi lembaga penyelenggara pemilu pun termasuk di dalamnya menyertakan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Pada konteks Pemilu 2019, DKPP menambah sikap rivalitas lembaga penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti mengevaluasi DKPP dengan titik berangkat kasus pemecatan Evi Novida Ginting oleh DKPP. Kasus itu memperingatkan agar perlu pembedaan antara etik dengan kode etik yang bersifat lebih operasional. Anggota DKPP pun mesti dipastikan merupakan orang-orang yang memahami pemilu dengan baik.
Ramlan memandang wajar keberadaan DKPP apabila penyelenggara pemilu dianggap sebagai sebuah profesi. Setiap profesi memiliki kode etik dan dewan kehormatan.
“Jika penyelenggaraan pemilu dilihat sebagai profesi, wajar jika punya dewan kehormatan. Dewan kehormatan ini harus paham benar tentang profesi ini,” tutur Ramlan.
Seiring dengan Ramlan, Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi juga memandang tetap perlunya DKPP. Namun, turut mengingatkan untuk taat pada batas objek hukum di DKPP, yakni hanya masalah etik.
“Yang harus dibatasi adalah kewenangan etik dan kewenangan tata usaha negara,” ucap Veri.
Ramlan meminta agar anggota DKPP hanya boleh berasal dari mantan anggota KPU dan Bawaslu. Karena dewan kode etik merupakan dewan yang bertujuan untuk menjaga etik profesi penyelenggara pemilu. Maka, para anggota DKPP mestilah orang yang menguasai kepemiluan dan memiliki pengalaman sebagai penyelenggara pemilu.
“Untuk keanggotaan DKPP disarankan hanya boleh mantan anggota KPU atau Bawaslu. Tentu saja yang tidak bercacat, tidak bisa diambil dari luar,” tukas Ramlan.
Tim seleksi DKPP pun dapat digabungkan dengan Tim seleksi KPU dan Bawaslu karena ketiga lembaga merupakan lembaga penyelenggara pemilu.
Mantan Ketua Bawaslu RI, Bambang Eka Cahya Widodo juga mengusulkan agar anggota DKPP bukanlah orang yang mengikuti seleksi anggota KPU dan Bawaslu. Jadi, calon anggota DKPP tidak sama dengan calon anggota KPU dan Bawaslu yang tengah menjabat. Tujuannya agar tak terjadi konflik kepentingan atau timbul ego pribadi.
Bambang juga mengingatkan agar UU Pemilu perlu menegaskan batas kewenangan DKPP pada persoalan etik. Kelembagaan DKPP perlu dievaluasi sebab beberapa putusan DKPP dianulir oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Kewenangan DKPP harus dibatasi pada etik, bukan mengatur teknis pemilu. Beberapa putusan DKPP dianulir PTUN. Perlu kajian apakah putusan ini memiliki kelemahan, apalagi jika menyangkut anggota KPU/Bawaslu di tingkat pusat,” tandas Bambang.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini memandang penting adanya jeda waktu yang tak terlalu lama untuk pemberhentian anggota KPU dan Bawaslu, jika upaya hukum terhadap putusan DKPP dilakukan. Hukum acara yang sederhana juga harus disediakan.
“Untuk menegakkan pelanggaran etika perlu kehati-hatian karena menyangkut martabat atau marwah seseorang. Jadi, seharusnya lepas dari konsekuensi tahapan pemilu. Jangan karena mengejar tahapan, orang yang tidak hadir diputus in absentia,” tegas Titi. []
AMALIA SALABI