Dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu yang telah diajukan oleh Pemerintah pada awal Oktober, dinyatakan bahwa sistem pemilu yang digunakan untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan DPR Daerah (DPRD) adalah sistem proporsional terbuka terbatas. Akan tetapi, penjabaran yang dimuat pada ayat (3) pasal 138 menekankan substansi proporsional tertutup yang menentukan keterpilihan anggota DPR/DPRD berdasarkan nomor urut calon.
Menanggapi hal tersebut, Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang Undang Pemilu adalah akal-akalan Pemerintah semata.
“Itu khas proporsional tertutup. Yang membuatnya seolah-olah menjadi terbuka hanya karena ada daftar calon saja. Padahal, substansinya tertutup. Pemilih tetap tidak bisa memilih calon,†kata Masykurudin Hafidz, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), yang tergabung dalam koalisi Sekretariat Bersama Kodifikasi UU Pemilu,  kepada Rumah Pemilu (24/10).
Hal senada disampaikan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini. Menurut Titi, Pemerintah harus memikirkan ulang sistem proporsional terbuka terbatas yang dimuat dalam RUU. Sebab, sistem tersebut mematikan partisipasi politik pemilih dan memperkuat oligarki partai.
“Yang harus dilakukan Pemerintah adalah mempertahankan daftar terbuka dengan melakukan sejumlah perbaikan untuk menutup kekurangannya. Caranya, kurangi dominasi ketua dan sekretaris partai dalam menentukan daftar calon. Daftar calon bisa ditentukan dalam rapat pengurus parpol. Selain itu, parpol juga harus melakukan penguatan dan pendemokrasian di dalam tubuh internalnya,†tukas Titi (26/10).
Kekurangan sistem proporsional terbuka yang dimaksud Titi, yakni, mengakibatkan politik uang yang semakin marak, kesulitan mengontrol perilaku politik calon terpilih oleh konstituen, dan ketidakmampuan mengurangi oligarki dalam tubuh partai.