Politik afirmasi perempuan dalam Rancangan Undang-undang tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (RUU Pemilu) dinilai stagnan. Tak ada perubahan signifikan dan masih memuat satu pasal inkonstitusional. Mengingat keterwakilan perempuan perempuan di DPR yang masih jauh sampai diangka minimal 30 persen, ketentuan afirmasi perempuan pelu ditambah.
“Tidak ada perubahan signifikan di RUU Pemilu mengenai politik afirmasi perempuan. RUU masih sekadar memuat regulasi 30 persen perempuan di daftar calon, tidak memperkuat posisi perempuan untuk terpilih,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini dalam diskusi “Perempuan di Pilkada 2017 dan Politik Afirmasi UU Pemilu” di Gandaria, Jakarta Selatan (28/11).
Titi mengingatkan, keterwakilan perempuan minimal 30 persen merupakan capaian keterpilihan. Selama ini konten regulasi pemilu masih menempatkan keterwakilan perempuan 30 persen dalam tataran pencalonan.
Anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu dari Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar), Hetifah Sjaifudian menanggapi positif penekanan itu. Ia akan memperjuangkan aspirasi politik perempuan melalui kebijakan ramah perempuan di UU Pemilu.
“Saya dan tiga perempuan Pansus RUU Pemilu lainnya akan terus memperjuangkan afirmasi perempuan di RUU,” ujar Hetifah.
Ia mengingatkan, perempuan dewan Komisi II yang terlibat dalam Panitia Khusus (Pansus) UU Pemilu hanya berempat. Tapi keadaan ini tak mengecilkan keinginan peningkatan afirmasi perempuan .
“Jumlah hanya berempat itu menyulitkan policy making process, tapi akan kami perjuangkan. Perludem dan aliansi masyarakat sipil lainnya juga tolong terus lakukan lobi ke semua fraksi. Suara masing-masing fraksi menentukan,” tukas Hetifah. []
Data partisipasi perempuan di Pilkada Serentak 2017:
http://rumahpemilu.org/id/perempuan-di-pilkada-2017-dan-politik-afirmasi-uu-pemilu-rilis-pers-dan-dokumen-presentasi/