September 13, 2024

Menurunkan Syarat Usia Petugas TPS, Meningkatkan Layanan Pemilih

Sebagian warga berhak pilih di Pilkada 2017 harus bertepuk sebelah tangan. Beberapa petugas tempat pemungutan suara (TPS) tak paham regulasi mengenai kartu undangan (C6) dan pemilih pemilik e-KTP di luar daftar pemilih tetap (DPT). Sistem informasi data pemilih (Sidalih) yang akurat tak dimanfaatkan petugas di banyak TPS melalui ponselnya untuk memastikan hak pilih para pemilih. Syarat usia minimal 25 tahun untuk menjadi petugas TPS strategis diturunkan dalam regulasi pemilu untuk peningkatan layanan pemilih.

“Ini salah satu hal yang strategis dievaluasi jika undang-undang pilkada akan direvisi juga dalam perumusan undang-undang penyelenggara pemilu. Ada kasus warga tanpa C6, padahal nama ada di DPT, tapi malah memilh di 1 jam terakhir. Ada juga yang memahami, dengan C6 saja orang bisa memilih,” kata direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini di Jakarta Selatan (20/2).

Perludem menemukan inisiatif baik dari salah satu petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di TPS 28 Kalibata. Melalui ponselnya ia mengakses sistem informasi data pemilih (Sidalih)  pada pilkada2017.kpu.go.id untuk mengecek pemilih yang membawa C6 atau yang hanya berdasar e-KTP. Semua warga berhak pilih harus dilayani memilih tapi harus juga terdaftar di DPT atau mengikuti prosedur daftar pemilh tambahan (DPTb).

“Usia minimal 25 tahun perlu dievaluasi agar rekrutmen anggota KPPS lebih terbuka luas dan partisipatif terhadap pemuda di pemilu yang menggunakan teknologi (digital),” tambah Titi.

Pendapat Titi melengkapi penjelasan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta, Sumarno mengenai pentingnya keterlibatan pemuda sebagai panitia pemilu untuk meningkatkan layanan pemilih. Menurutnya, pemilu, khususnya Pilkada DKI Jakarta, yang sifatnya tinggi konsentrasi, kecermatan, dan stamini membutuhkan keterlibatan pemuda.

“KPPS kan bertujuh. Harusnya bisa bermacam-macam usia. Ketua KPPS bolehlah yang senior. Tapi KPPS lain harusnya juga bisa usia muda, bahkan kalangan mahasiswa,” kata Sumarno kepada rumahpemilu.org (11/2).

UU No.15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu mensyaratkan anggota KPPS menimal berusia 25 tahun. Jika usia pemuda menurut UU No.40/2009 adalah 16 sampai 30 tahun, syarat usia minimal KPPS 25 tahun menjadi kurang partisipatif. Padahal, selain dipahami awam sebagai warga yang relatif kritis dan punya semangat kerelawanan, usia 16 sampai 25 tahun pun akrab dengan teknologi digital ponsel yang oleh KPU makin luas diterapkan dalam pemilu.

Surat suara habis dan surat suara cadangan habis salah satunya disebabkan pemilih yang tak berhak memilih tapi tetap dilayani KPPS. Padahal, KPPS berwenang mengecek status pemilh di Sidalih untuk menerima/menolak pemilih. Petugas pun bisa mengecek keaslian e-KTP melalui aplikasi digital melalui ponsel.

Anggota KPU DKI Jakarta, Moch. Sidik menjelaskan kepada publik (15/2) bahwa proses bimbingan teknis kepada perwakilan KPPS sudah dilakukan sebaik mungkin. Termasuk di dalamnya pentingnya menggunakan Sidalih untuk memastikan pemilih.

Peremajaan kepanitian penyelenggara pemilu sebetulnya sudah dilakukan melalui regulasi yang melarang keikutseraan panitia selama tiga kali pemilu berturut-turut. Seseorang bisa menjadi panitia baik Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan KPPS di tingkat yang sama maksimal dua kali pemilu.

Koordinator nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykurudin Hafidz berdasarkan pemantauannya berpendapat, praktek regulasi pembatasan ikut serta kepanitiaan tak relevan dengan kebutuhan partisipasi dan perbaikan kualitas pemilu. Pembatasan ikut serta membuat warga yang cakap dalam kepanitiaan tak bisa mendaftar lagi.

“Perlu dipikirkan lagi persyaratan yang ada ini. Ada kebutuhan partisipasi ada juga kebutuhan kemandirian yang kuat dari panitia penyelenggara seperti KPPS,” tegas Masykurudin kepada rumahpemlu.org (20/2).

Perubahan syarat usia dan syarat lain penyelenggara dan kepanitiaan pemilu memungkinkan dalam momen perumusan undang-undang pemilu. Rancangan UU Pemilu yang besar kemungkinan untuk Pemilu 2019 ini menggabungkan regulasi pemilu presiden yang sebelumnya di UU No.42/2008, regulasi pemilu DPR, DPD, dan DPRD di UU No.8/2012, dan regulasi penyelenggara pemilu di UU No.15/2011.

Inisiator YouthProactive Transparency International Indonesia (TII), Lia Toriana berpendapat, perbaikan demokrasi dan pemilu seiring dengan kesadaran hak politik pemuda. Menurut deputi program TII ini, hak politik tak hanya memilih tapi juga dipilih. Terlibat di pemilu bukan saja menyoblos di TPS tapi juga menjadi penyelenggara pemilu dan mencalonkan jadi peserta pemilu.

“Pemuda sering merasa partisipasi memilih terjebak dalam demokrasi prosedural. Pemuda pun sering bilang cuma dijadikan objek suara para calon di pemilu. Kalau pemuda ingin dijadikan subjek dan aktif dalam demokrasi substantif, sadarkah identitasnya didiskriminasi dalam persyaratan calon penyelenggara pemilu. Ini PR kita,” tutur Lia.

Setelah Pilkada Serentak 2017 ada dua pesta demokrasi tiap tahun berturut-turut sehingga perbaikan regulasi menjadi kebutuhan pemuda. Akan ada Pilkada Serentak 2018 di 172 daerah, 17 di antaranya pilkada provinsi yang regulasinya bisa diperbaiki melalui revisi UU Pilkada. Lalu ada pemilu serentak nasional pertama di 2019, memilih presiden-wakil presiden dan wakil DPR, DPD, dan DPRD yang perbaikannya melalui RUU Pemilu. []

USEP HASAN SADIKIN