Ketaksesuaian persentase perempuan-lelaki sebagai warga dengan persentase perempuan-lelaki di lembaga perwakilan tak linier dengan indeks demokrasi. Representasi perempuan Indonesia di parlemen masih di bawah 20% tapi peringkat kualitas demokrasi Indonesia bisa lebih baik dari negara-negara yang representasi perempuannya tinggi.
Indonesia penting menyadari seberapa pengaruh antara representasi perempuan di parlemen dengan kualitas demokrasi negara. Karena, berdasar data peringkat demokrasi dan representasi perempuan, negara-negara berkualitas demokrasi yang baik umumnya berparlemen representatif gender. Begitu sebaliknya, negara-negara berkualitas buruk demokrasi umumnya berparlemen tak representatif gender.
Kita bandingkan data representasi perempuan Inter-Parliamentary Union 2017 dengan indeks demokrasi Freedom House 2017:
Dari peringkat sepuluh besar negara tinggi representasi perempuan, ada tiga negara yang punya nilai merah dalam demokrasi. Rwanda, Kuba, dan Nikaragua, merupakan negara peringkat pertama, ketiga, dan kelima dalam representasi perempuan, tapi nilai demokrasinya di bawah 50 dalam skala 100. Rwanda bernilai demokrasi 24, Kuba 15, dan Nikaragua 47.
Tujuh sisa dari 10 besar negara dalam representasi perempuan punya nilai demokrasi di atas 60. Bolivia dengan persentase perempuan di atas 50% (53,1%) punya nilai demokrasi 68. Finlandia sebagai peringkat pertama demokrasi dunia dan Swedia berperingkat ketiga demokrasi dunia dengan nilai 100, masing-masing berpresentase perempuan di parlemen di angka 42% dan 43,6%. Sisanya, Islandia punya representasi perempuan 47,6% dengan nilai demokrasi 97, Senegal 42,7%:78, Meksiko 42,6%:65, dan Afrika Selatan 42%:78.
Bandingkan 10 negara itu dengan Indonesia. Indonesia ada di peringkat 99 persentase perempuan parlemen dan di peringkat 94 nilai demokrasi. Persentase perempuan parlemen Indonesia adalah 19,8% (gabungan DPR dan DPD). Sedangkan nilai demokrasi Indonesia adalah 65.
Tapi coba kita cermati 20 negara paling demokratis menurut Global Democracy Ranking 2016 dan bandingkan dengan persentase perempuan di parlemennya:
Dari 20 besar negara demokratis, hanya Amerika Serikat yang persentase perempuannya di bawah 20%. Persentase perempuan parlemen Amerika Serikat di angka 19,1% mirip dengan Indonesia, 19,8%. Tapi nilai peringkat demokrasi Indonesia jauh di bawah pada posisi 69 dengan nilai 62,3.
19 dari 20 besar negara demokratis relatif tak ada yang punya permasalahan representasi perempuan. 99% merupakan negara dengan persentase representasi perempuan di atas 25%. 70% merupakan negara dengan persentase representasi perempuan minimal 30%.
Berdasarkan dua tabel perbandingan tersebut bisa ditarik kesimpulan mengenai representasi perempuan dan kualitas demokrasi. Pertama, banyaknya jumlah perempuan di parlemen tak otomatis berdampak pada kualitas demokrasi. Kedua, tingginya kualitas demokrasi suatu negara umumnya menyertakan persentase perempuan di parlemen yang cukup (sekurang-kurangnya 30%).
Kesimpulan itu akan lebih tajam dengan perbandingan peringkat negara dengan representasi perempuan paling rendah. Berikut tabelnya:
Dari 13 negara paling rendah representasi perempuan, mayoritas punya nilai demokrasi yang buruk. Adas 53% negara dengan nilai demokrasi merah yaitu Yaman, Qatar, Oman, Haiti, Lebanon, Kuwait, dan Thailand.
Soal sistem pemilu
Bila kita bandingkan data representasi perempuan di parlemen dengan sistem pemilu negara-negara dunia, maka tampak pengaruh. Berikut tabelnya:
Dari data tersebut jelas sistem pemilu proporsional lebih mendorong representasi perempuan di parlemen dibanding sistem pluralitas (first past the post:FPTP). Dari 20 besar negara yang tinggi representasi, hanya ada satu negara (Ethiopia) yang menggunakan sistem pemilu pluralitas (FPTP) yang mengasilkan representasi perempuan tinggi (38,8%).
Sisa 19 negara dari 20 besar negara tertinggi representasi perempuan menggunakan sistem proporsional murni dan sistem campuran. Proporsional murni ada yang bentuknya sistem proporsional daftar tertutup dan sistem proporsional daftar tebuka. Sedangkan sistem campuran berbentuk sistem paralel dan sistem mix member proportional (MMP) yang didominasi sifat proporsional dan sistem daftar tertutup.
Ada satu negara yang menggunakan sistem proporsional daftar fleksibel. Belgia menerapkan sistem pemilu yang berarti keterpilihan berdasar daftar tertutup (logo partai) atau daftar terbuka (nama calon). Penghitungan dewan yang mendapat kursi bergantung daftar mana yang paling banyak mendapat suara.
Sistem pemilu proporsional lebih mendorong keterpilihan perempuan di parlemen karena memang bersifat representatif terhadap ragam identitas warga, terutama gender. Sistem proporsional dengan bentuk perebutan banyak (lebih dari 2) kursi di setiap daerah pemilihan (dapil) menghasilkan dewan yang representatif. Sedangkan bentuk sistem pluralitas/mayoritas dengan bentuk perebutan satu kursi di setiap dapil akan membuat kontestasi yang ketat dan tujuan sifat parlemen yang dihasilkan pun bukan representatif melainkan efektivitas.
Setelah membandingkan data tingkat representasi perempuan, kualitas demokrasi, dan sistem pemilu maka didapat satu kesimpulan. Tinggi rendah persentase perempuan bukan dipengaruhi kualitas demokrasi melainkan penentuan sistem pemilu. Artinya, tinggi rendah persentase perempuan bukan lebih menggambarkan pengaruh kualitas demokrasi melainkan merupakan gambaran pilihan sistem pemilu yang lebih proporsional/representatif gender. []
USEP HASAN SADIKIN