Calon anggota legislatif di nomor urut satu paling diuntungkan dan paling berpeluang terpilih dalam sistem pemilu terbuka terbatas. Perebutan nomor urut berpeluang berujung pada korupsi.
Sistem pemilu selalu menjadi isu krusial dari awal hingga menjelang akhir pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu. Hal ini menunjukkan bahwa perdebatan tak pernah usai antara partai pendukung sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup.
Hingga menjelang tenggat penyelesaian RUU Pemilu, muncul istilah sistem proposional terbuka terbatas sebagai titik tengah pendukung dua sistem tersebut. Sistem ini disebut-sebut akan jadi salah satu opsi untuk di-voting.
“Alternatif sistem proporsional terbuka terbatas itu bukan terjemahan sebagaimana ada di draft RUU Pemilu kita (draft awal yang diserahkan pemerintah—red). Terbuka terbatas terakhir itu adalah jika coblos partai lebih banyak, penetapan calon terpilih kembali kepada partai—siapa yang ditempatkan atau bisa direpresentasikan ke nomor urut,” kata Fandi Utomo, anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari partai Demokrat, menjelaskan istilah terbuka terbata pada sebuah diskusi di Jakarta (12/5).
Sistem proporsional terbuka terbatas mengarah pada perubahan formula penetapan calon terpilih. Jika pemilih di daerah pemilihan lebih banyak memilih lambang partai, pemenang pemilu legislatif (pileg) ditetapkan lewat nomor urut calon anggota legislatif (sistem tertutup). Namun, jika yang lebih banyak dipilih adalah caleg, yang mendapatkan kursi di daerah pemilihan (dapil) itu adalah caleg yang memperoleh suara terbanyak itu (sistem terbuka). Soal pemberian suara, pemilih bebas memilih tanda gambar partai atau calon anggota legislatif.
Dalam sistem terbuka terbatas, caleg di nomor urut satu paling diuntungkan.
Di proporsional terbuka penuh saja, caleg di nomor urut satu masih mendominasi keterpilihan. Data Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI terhadap hasil Pemilu 2009 dan 2014 menunjukkan keterpilihan di nomor urut satu berada pada besaran 60 persen. Keterpilihan caleg di nomor urut satu pada pemilu 2009 sebesar 64,96 persen dan pada pemilu 2014 sebesar 62,14 persen. Sementara caleg pada nomor urut lain, angka keterpilihannya hanya berkisar di angka 7 persen.
Di sistem terbuka terbatas, caleg di nomor urut satu akan makin diuntungkan. Dengan mengikuti logika pemilu terbuka terbatas di Pemilu 2014, akan ada 77 caleg di nomor urut satu yang diuntungkan. Sebanyak 77 orang peraih suara terbanyak akan memberikan kursinya pada calon di nomor urut satu. 77 calon anggota legislatif ini memperoleh suara terbanyak tapi tak melampaui raihan suara partai. Dalam logika sistem terbuka terbatas, mereka tak akan mendapat kursi karena formula penetapan calon kembali pada nomor urut.
“Orang di nomor urut besar ini tidak akan terpilih. Justru nomor urut satu yang akan terpilih,” kata Khoirunnisa Agustyati, peneliti pada Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Berujung korupsi
Nomor urut satu akan makin seksi dan diperebutkan karena privilese berlebih yang dipunyai caleg di nomor urut satu. Dalam kampanye misalnya, calon nomor urut satu akan diuntungkan juga oleh kampanye yang dilakukan oleh partai politik. Ketika partai mengampanyekan coblos logo partai, calon nomor urut satu diuntungkan. Jika pada hasil akhir lebih banyak yang memilih logo partai, nanti nomor urut satu yang terpilih.
“Simulasi penghitungan menunjukkan caleg akan ada di posisi aman itu apabila caleg ada di nomor urut satu. Ini tidak akan menjawab masalah politik uang. Karena caleg masih akan bersaing antar caleg dan juga bersaing dengan partai politiknya,” tandas Almas.
Kondisi ini akan bertemu dengan situasi partai yang tak memiliki sistem rekrutmen caleg yang memadai. Partai tak mendasari rekrutmen pada merit system. Preferensi penentuan daftar calon tetap justru ada di tangan segelintir elit saja.
“Caleg akan tetap bersaing juga. Ini justru akan menimbulkan candidacy buying. Mereka akan berebut nomor urut di partai politik,” kata Almas Sjafrina, peneliti pada Indonesia Corruption Watch (ICW).
Candidacy buying atau membeli rekomendasi dalam buku Korupsi Pemilu di Indonesia didefinisikan sebagai upaya politisi untuk direkomendasikan menjadi calon anggota legislatif atau eksekutif dengan cara membayar atau meniming-imingi elit partai. Proses jual beli rekomendasi ini bermula dari dua belah pihak baik tawaran dari elit partai maupun calon yang tidak percaya diri karena minimnya kapasitas sebagai wakil rakyat.
Maka tak heran jika banyak anggota legislatif terjerat korupsi. Hal ini disebabkan cara memperoleh kekuasaan sebagai wakil rakyat diperoleh dengan biaya tinggi dan dengan cara yang koruptif pula.
Dilema bagi perempuan
Nomor urut satu juga akan diperebutkan oleh perempuan caleg. Menempatkan perempuan di nomor urut satu dinilai sebagai langkah paling strategis untuk mendorong keterpilihan perempuan yang bermuara pada naiknya representasi perempuan di parlemen. Namun, tanpa afirmasi, upaya menempatkan perempuan di nomor urut satu akan menemui tantangan berat.
“Perempuan juga dituntut harus bisa punya kemampuan untuk mendekati elit partai karena keputusan untuk menentukan nomor urut itu ada di tim pemenangan atau tim rekrutmen caleg. Saya yakin di semua partai itu sistemnya sentralisasi,” kata Sri Budi Eko Wardani, akademisi Departemen Ilmu Politik FISIP UI.
Gerakan perempuan memang telah merumuskan bentuk afirmasi menuju arah tersebut. Bentuk afirmasi tersebut adalah menempatkan perempuan caleg di nomor urut satu di 30 persen dapil. Formulasi ini tentu akan menemui tantangan pula. Penyusunan daftar serta nomor urut calon yang hanya didasarkan pada preferensi politik elit membuat perempuan tunduk pada politik gender oligarki.
Jaringan kekerabatan dengan elite politik serta tingginya kemampuan modal kapital mendominasi basis keterpilihan perempuan caleg. Hal ini yang menundukkan perempuan pada basis kekuasaan laki-laki, kekuatan kekayaan materil, dan pelestarian relasi kuasa.
Sri Budi Eko Wardani memandang, hal ini akan makin jadi dilema jika diterapkan pada sistem pemilu terbuka terbatas. Gerakan perempuan jadi harus mendorong pemilih untuk memilih logo partai agar nomor urut satu bisa terpilih.
“Ini artinya buat perempuan akan terjadi satu perubahan strategi advokasi yang bisa-bisa mental gak akan ketemu kalau ini dilakukan. Ini buat saya juga akan terjadi satu yang sulit. Dilema yang dihadapi oleh gerakan perempuan,” tandas dosen yang akrab disapa Dani ini.