August 8, 2024
Print

Akar Masalah dan Solusi Bantuan Partai

Menurut hasil penelitian Pekumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) tahun 2014, nilai bantuan keuangan partai politik dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBN/APBD) hanya berkisar 1,3 persen dari total kebutuhan operasional partai politik per tahun. Tentu saja bantuan ini tidak sebanding dengan besaran pengeluaran untuk dana kampanye setiap partai politik.

Walaupun undang-undang nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik pasal 34 point (1) menerangkan bahwa sumber-sumber keuangan partai politik dari a. Iuran anggota; b. sumbangan yang sah menurut hukum;  dan c. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Akan tetapi, pasca-Reformasi kondisi pemasukan keuangan partai politik hingga hari ini masih belum baik.

Iuran yang seharusnya mewajibkan setiap anggota partai tidak berjalan dengan maksimal. Cuma anggota-anggota dewan dan para menteri kader partai saja yang menyetor iuran tersebut setiap bulan. Sumbangan yang sah menurut hukum pun tidak transparan. Bantuan dari negara selama ini pun tidak ada laporannya.

Jadi apakah pemerintah nantinya harus memberikan bantuan untuk partai politik senilai Rp. 1 triliun?

Jika dilihat dari tujuan Pemerintah menggelontorkan dana tersebut, memang sangat mulia yaitu untuk mencegah korupsi serta membuka kesempatan yang sama bagi para pemimpin berkualitas. Pasalnya, bantuan untuk partai politik sudah lumrah di berbagai negara-negara berkembang. Misalnya Austria, Swedia, Meksiko yang mendapat bantuan dari pemerintah hingga 70 persen. Partai politik di Negara Usbekistan bahkan dibantu hingga 100 persen (Siaran pers Perludem, 2015).

Bantuan dana dari pemerintah, terbukti mampu menghentikan korupsi. Lalu mengapa Indonesia hanya memberikan bantuan ke partai politik hanya 1,3 persen dari pendapatan APBN/APBD? Padahal, saat ini Indonesia sedang gencar-gencarnya memerangi korupsi.

Memahami akar masalah

Jika merujuk pada negara-negara di atas yang dapat meredam korupsi dengan memberikan subsidi 70-100 persen, memang patut ditiru. Tapi, akar permasalahannya bukan pada besarnya bantuan yang digelontorkan. Namun, ada tiga faktor akar permasalahan.

Pertama, pada sistem pelaporan partai politik yang tidak transparan. Temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang berdasarkan uji akses informasi laporan keuangan tahun 2013 dan 2014 pada lima pengurus daerah. Menurut data ICW banyak pengurus di tingkat daerah atau wilayah yang tidak memiliki laporan keuangan partai yang terkonsolidasi. Laporan keuangan hanya sebagai pemenuhan audit agar memperoleh subsidi APBD tahun berikutnya.

Kedua, terkait Ideologi partai yang masih kurang bersih dan profesional. Riset Forum Indonesia untuk Trasparansi Anggaran (Fitra, 2014) menyebutkan dana partai politik di Indonesia datang dari berbagai pos. Artinya, parpol di Indonesia tidak kekurangan duit tetapi kurang berideologi demokrasi politik yang bersih dan profesional.

Ketiga, prihal sangsi bagi partai yang melanggar tidak tegas. Sangsi untuk partai politik yang korup, saat ini masih jauh panggang dari api. Padahal, pemerintah sudah menggelontorkan 1,3 persen dari APBN/APBD. Oleh sebab itu, akhirnya masyarakat dan para penggiat antikorupsi meradang atas wacana Mendagri yang ingin mensubsidi partai politik sebesar Rp. 1 triliun.

Dibantu dengan syarat

Jika dana APBN/D dari partai mau ditambah, ada tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus membuat Undang-Undang/Peraturan yang mengatakan bahwa bagi kader partai politik yang ingin menjadi pimpinan di lembaga Peradilan, Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah (BUMN/BUMD), dan Menteri, tidak boleh dari partai politik atau harus mengundurkan diri jauh-jauh hari (Minimal 5 tahun).

Kedua yaitu pengawasan. Pengucuran dana senilai Rp. 1 triliun yang wacanannya akan diberikan secara bertahap oleh Mendagri harus diawasi oleh tiga lembaga : (1) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); (2) Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK); (3) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Ketiga lembaga ini sudah terbukti track record dalam mengawasi transaksi mencurigakan. Dan yang terpenting mereka (KPK, BPK, PPATK) dipercaya oleh publik.

Ketiga yaitu partai politik sebelum mendapatkan bantuan dari pemerintah, harus merincikan terlebih dahulu rancangan anggaran belanja (RAB) berikut nominalnya. Lalu, RAB partai politik tersebut dimasukan ke e-budgeting untuk dilihat apakah sesuai atau tidak.

Keempat adalah pemberian sangsi yang tegas. Jika prilaku koruptif masih menyelimuti kader partai politik, maka pemerintah harus mengambil tindakan tegas yaitu langsung pembubaran partai tersebut. Mengapa? Karena menurut hemat penulis, jika sudah diberi dana bantuan, tapi masih saja korupsi artinya partai sudah gagal dalam kaderisasi. []

AHMAD HALIM
Peneliti di Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jakarta