November 15, 2024

Demokrasi Tak Mati karena Pilkada Tak Langsung

“Demokrasi tak mati ketika masih ada caci maki. Demokrasi mati ketika pemujaan dimulai.” Tweet @RockyGerung (27/9)

Hasil Sidang Paripurna RUU Pilkada yang mensahkan rancangan pilkada tak langsung hadirkan keriuhan publik. Menjadi masalah bukan soal keriuhannya. Karena demokrasi memang perangkat lunak peradaban bicara. Keriuhan dalam demokrasi menjadi masalah saat berkecenderungan mengagitasi dan menghasilkan absolutisme. Agitasi publik itu yang mengaburkan masalah utama bahwa pilkada tak langsung kontraproduktif terhadap tata negara Indonesia yang menganut presidensialisme multipartai bersistem pemilu proporsional.

Kenapa kita perlu menggugat UU Pilkada yang disahkan 26 September 2014 dini hari itu? Jawabannya bukan karena demokrasi telah mati. Demokrasi tetap bisa hidup baik dengan pemilihan tak langsung. Kita perlu menggugat UU Pilkada juga bukan karena hak pilih setiap warga telah dibunuh. Liberalisme, paham filosofis hak individu, justru utuh diterapkan dalam demokrasi liberal bersistem parlementer. Sistem pemerintahan parlementer hanya menyelenggarakan satu kali pemilu utama, pemilu legislatif tanpa pemilu eksekutif.

Sistem parlementer merupakan salah satu sistem pemerintahan yang biasa menyertakan sistem kepartaian multipartai. Wakil rakyat dari berbagai partai yang akan memilih pejabat eksekutif. Di sistem pemerintahan ini tak ada pemilu langsung untuk memilih presiden apa lagi kepala daerah/negara bagian.

Sistem parlementer meski tak memilih presiden dan kepala daerah/negara bagian secara langsung tetap merupakan bentuk demokrasi. Bahkan, jika ada klaim demokrasi merupakan produk liberalisme, sistem parlementer biasa disebut demokrasi liberal. Jadi, tak tepat jika pemilihan presiden dan kepala daerah/negara bagian dinilai sebagai pemilihan khas demokrasi liberal.

Justru, sistem pemerintahan keterwakilan parlementer lah yang biasa dikenal sebagai demokrasi liberal. Indonesia pada 1955 menerapkan demokrasi ini. Saat itu justru Indonesia dipimpin oleh Bapak Pancasila atau Bapak Gotong Royong, Soekarno. Rocky Gerung, pemikir yang setuju dengan demokrasi liberal, menjernihkan liberalisme Pemilu 1955 melalui esainya di Majalah Tempo dalam keriuhan Pemilu 1999. Judulnya, “Tersesat di Jalan yang Benar”.

Mengapa sistem parlementer dinilai sebagai implementasi demokrasi liberal? Jawabannya, karena di dalam sistem ini kebijakan tertinggi bukan ditentukan oleh satu orang, melainkan oleh banyak keterwakilan rakyat di dalam parlemen. Individu di dalam liberalisme bermakna jamak. Liberalisme, sama halnya demokrasi, lahir dari kesadaran kolektif personal yang mengalami dominasi tunggal/komunal, baik atas nama Tuhan (teokrasi) atau Raja (monarki).

Jadi, hidup/mati demokrasi bukan soal memilih langsung/tak langsung pimpinan eksekutif. Demokrasi tetap hidup, bahkan berpotensi tumbuh kembang, juga dengan pemilihan pimpinan eksekutif melalui DPR/D. Catatannya, negara yang bersangkutan menggunakan sistem parlementer, bukan presidensial.

Presidensialisme Indonesia

Lalu, apa jawaban dari pertanyaan, kenapa kita menolak UU Pilkada? Jawabannya, karena disain konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah presidensialisme. Sistem yang memposisikan eksekutif lebih tinggi ini memang harus menyelenggarakan pemilu langsung untuk pimpinan eksekutif di semua tingkatan. Karena eksekutif dipilih langsung, pemenang pemilu eksekutif akan memperoleh suara lebih banyak dari pada pemenang pemilu legislatif. Poros eksekutif ini didukung kedaulatan rakyat yang lebih kuat melalui suara mayoritas pemilih di pemilu.

Pakar pemilu, Ramlan Surbakti sering mengatakan, belum berjalan baiknya pemilu di Indonesia karena selalu dipisahkan dalam pembahasan sistem pemerintahan. Profesor bidang politik ini mengingatkan, agar pemilu di Indonesia menghasilkan pemerintahan yang efektif, jangan lagi ada dikotomi rezim sistem pemerintahan dan rezim pemilu dalam perumusan undang-undang.

23 Januari 2014, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan penyelenggaraan pemilu serentak pada 2019. Presiden terpilih Joko Widodo pun dalam janji kampanyenya akan menyelenggarakan pemilu nasional dan daerah secara serentak. Pemilu Nasional Serentak 2019 merupakan pemilu yang menyatukan pemilu presiden dan pemilu DPR RI dan DPD. Putusan MK mengenai pemilu serentak merupakan kemajuan tata negara Indonesia. Pemilu serentak menguatkan disain presidensialisme karena jauh lebih mendorong tersusunnya pemerintahan yang lebih memungkinkan bekerja secara efektif.

Tantangan mendisain pemilu Indonesia adalah bagaimana menyesuaikan konteks masyarakat Indonesia beserta traumatik sejarah perpolitikan. Secara konvensional, sistem pemerintahan presidensial dipasangkan pada sistem kepartaian dwipartai dan sistem pemilu mayoritarian (distrik) sedangkan sistem pemerintahan parlementer dipasangkan pada sistem kepartaian multipartai dan sistem pemilu proporsional. Konvensionalnya dua format tata negara itu, bertujuan untuk terciptanya pemerintahan efektif dan efisien yang dipilih dengan pemilu efektif dan efisien.

Dibandingkan untuk bisa menilai rasional, Indonesia terlalu sentimentil menolak sistem pemerintahan parlementer. Berdasarkan traumatik sejarah otoritarian pasca-Pemilu 1955 dan pemilu Orde Baru, Indonesia lebih memilih sistem presidensial. Oligarki partai yang tetap kuat pasca-Reformasi menambah alasannya diubahnya jabatan presiden dan wakil presiden yang tak lagi dipilih parlemen.

Tapi presidensialisme Indonesia tak cocok menggunakan sistem pemilu mayoritarian. Dominasi Golkar berdasar otoritarianisme Orde Baru Soeharto puluhan tahun akan dengan mudah memenangkan setiap daerah melalui pemilu berformat penghitungan kursi First Past The Post (FPTP). Sehingga, meski 2004 Indonesia melakukan pemilihan presiden langsung tapi pemilu legislatifnya menggunakan sistem pemilu proporsional dan terus dipertahankan setidaknya sampai 2014.

Presidensialisme Indonesia selain tak cocok bersistem pemilu mayoritarian, juga tak cocok dengan sistem kepartaian dwipartai. Sejak pertama kali Indonesia menyelenggarakan pemilu pada 1955, terdapat ragam ideologi dan kelompok di masyarakat Indonesia. Ada 172 partai di Pemilu 1955 (27 masuk parlemen). Meski ideologi beserta massanya dibantai sejak 1965 hingga Orde Baru tumbang, ragam ideologi dan kelompok di masyarakat tetap ada.

Pasca-Reformasi, ada 48 partai (20 partai parlemen) di Pemilu 1999, 24 partai (16) di 2004, 44 partai (9) di Pemilu 2009, dan 12 partai nasional (10) dan 3 partai lokal di Pemilu 2014. Sistem dwipartai dianggap memberangus hak berpendapat, berserikat, dan berkumpul sehingga multipartai ekstrim dinilai sesuai dengan Indonesia.

UU Pilkada tak mendukung presidensialisme Indonesia

Putusan MK yang menitah penyelenggaraan pemilu serentak merupakan penguatan tata negara Indonesia. Evolusi presidensialisme multipartai bersistem pemilu proporsional seharusnya didukung dengan UU Pemilu yang mengatur pemilu secara menyatu dengan sistem pemerintahan presidensial, salah satunya mengatur pemilu daerah serentak: pemilu kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota beserta pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

Didik Supriyanto, Khoirunnisa Agustyati, dan August Mellaz dalam “Menata Ulang Jadwal Pilkada” (Perludem 2013) menjelaskan, penyelenggaraan pilkada hendaknya jangan dilepaskan dengan penyelenggaraan pemilu nasional. Presidensialisme murni Indonesia diwujudkan pemilu pimpinan eksekutif dari pusat hingga daerah demi stabilitas pemerintahan. Stabilitas berwujud masa kerja tetap (5 tahunan) karena poros eksekutif dan legislatif tak bisa saling memberhentikan sebelum masa kerja berakhir.

Tapi stabilnya pemerintahan hingga 2014 lebih banyak yang berlangsung tak efektif, baik nasional maupun provinsi dan kabupaten/kota. Jika pakem presidensialisme biasa disandingkan dengan dwipartai dan sistem mayoritarian, mungkinkah presidensialisme multi partai sistem pemilu proporsional bisa menciptakan pemerintahan pusat dan daerah yang efektif? Jawabannya, sangat mungkin.

Caranya dengan pemilu serentak nasional dan daerah. Selama ini, pemilu prosporsional di presidensialisme multipartai Indonesia memang tak didisain mengefektifkan pemerintahan kerja pemerintahan terpilih. Regulasi ideal yang dibuat selalu mengalami distorsi politik kuasa sehingga efesiensi dan efektifitas pemilu dikerdilkan dengan ambisi menghalangi persaingan (lawan) politik. Parliamentairy threshold ditinggikan dan presidential threshold diselewengkan maknanya.

Didik Supriyanto dalam “Pemilu Serentak yang Mana?” (2012) menjelaskan karakter  dan pengalaman Brasil yang menyelenggarakan pemilu serentak baik untuk jadi rujukan. Menyatukan pemilu eksekutif dan legislatif mendorong couthtail effect. Jika pemilih disodorkan surat suara pilihan presiden dan surat suara pilihan partai, maka pemilih cenderung memilih partai yang mencalonkan presiden yang pemilih pilih. Pemilu cenderung menghasilkan parlemen yang kondusif terhadap presiden terpilih.

UU Pilkada (tak langsung) yang disahkan 26/9 merupakan respon negatif dewan periode 2009-2014 terhadap disain Pemilu Serentak Nasional 2019. Pemerintahan daerah sudah melakukan transisi masa kerja dengan pilkada langsung serentak di 2016. Kenapa 2016? Agar ada efek evaluasi terhadap pemerintahan nasional. Jika Jokowi-JK baik, maka ada efek pilkada serentak akan dimenangkan kepala daerah yang dicalonkan oleh PDIP, maka pemerintahan akan sinkron dari pusat, provinsi hingga ke kabupaten/kota.

Tapi jika Jokowi-JK buruk, maka ada efek pilkada serentak dijadikan kritik rakyat berupa memilih kepala daerah yang tak dicalonkan PDIP. Pemerintahan provinsi hingga kabupaten/kota tetap sinkron sekaligus mempersiapkan pemerintahan pusat yang sinkron di Pemilu 2019.

Penjesalan semua di atas merupakan alasan kenapa kita sebaiknya menolak UU Pilkada (tak langsung). Pilkada melalui DPRD bukan lah mekanisme yang membunuh demokrasi. Ini soal apakah kita rela membiarkan pemerintahan nasional dan daerah hingga 2019 melanjutkan pemerintahan sebelumnya yang tak efektif.

Jadi, pilkada langsung/tak langsung di konteks Indonesia bukan lah soal (stigma) liberalisme atau nasionalisme/Pancasila. Ini pun bukan juga soal dukung para pihak berkuasa karena di antara kita memilih Jokowi/Prabowo, termasuk bukan soal mendukung PDIP karena partai ini merupakan fraksi yang konsisten menentang pilkada langsung sebelum Pemilu 2014, atau mendukung koalisi Merah Putih karena sebelum Prabowo dipastikan gagal jadi presiden, Partai Demokrat, Golkar, PKS, PAN, dan Gerindra memilih pilkada langsung. Jika kita memilih langsung/tak langsung karena alasan di paragraph terakhir ini, maka saat itu itulah kita mulai membunuh demokrasi. []

USEP HASAN SADIKIN