November 15, 2024

Djoni Rolindrawan: Terjadi Negosiasi-Negosiasi yang Menjijikan

Pemilu Legislatif 2014 belum juga sepenuhnya bersih dari praktik politik uang dan manipulasi suara. Rekapitulasi penghitungan suara di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) menimbulkan polemik adanya dugaan kecurangan perolehan suara.

Modus manipulasi suara pada Pemilu 2014 ini terjadi di internal partai politik. Suara partai politik, suara yang dihasilkan dari pemilih yang mencoblos gambar partai, menjadi sasaran kecurangan. Suara caleg yang tidak mengirimkan saksinya dalam rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPS dan PPK juga diincar. Aksi semacam ini terjadi setelah pelaku meyakinkan petugas PPS dan PPK bahwa apa yang dilakukannya merupakan kebijakan internal partai. Kemudian, suara tersebut dialihkan ke caleg tertentu.

Djoni Rolindrawan menjadi salah satu korban modus manipulasi suara tersebut. Calon anggota legislatif DPR RI nomor urut dua dari Partai Hanura ini bertarung di daerah pemilihan Jawa Barat III yang meliputi Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur. Berikut hasil wawancara jurnalis rumahpemilu.org, Maharddhika (8/5) dengan Djoni Rolindrawan mengenai kecurangan yang menimpanya.

Bagaimana Anda tahu bahwa Anda dicurangi?

Saya membandingkan suara saya dengan yang terdekat. Dari sembilan caleg, saya bandingkan ada empat caleg yang bergerak. Itu internal. Saya itu, kalau boleh bilang, dicurangi oleh teman separtai, incumbent, dengan nomor urut satu. Saya nomor dua. Ada pergerakan juga nomor enam. Itu yang paling dekat, sedangkan yang lain pergerakannya relatif tidak banyak.

Apakah Anda melihat kecurangan pada saat pemilihan, penghitungan, atau pendistribusian surat suara?

Pendistribusian kotak suara dari TPS ke PPS di Desa hiruk pikuknya luar biasa. Saya amati itu sampai di kecamatan. Sayangnya, saya hanya bisa mengirim 2300 saksi dari 6400 saksi. Saya tidak jelas mengetahui apa yang terjadi di dalam laporan dari yang 4000-an TPS. Saya tidak bisa memperhatikan secara detail saksi desa.

Saya pantau rapat pleno di PPK. Saya dicurangi di PPK Pacet, Kabupaten Cianjur. Jadi formulir BA1 (Formulir Berita Acara Verifikasi dan Rekapitulasi) dari kecamatan Pacet itu penuh dengan perubahan-perubahan. Penuh dengan tawaran-tawaran. Tim sukses saya dihubungi oleh penyelenggara. Diberitahukan bahwa caleg nomor dua itu dapat 675 suara, tapi bisa diangkat ke 875 dengan biaya 30 juta. Saya tidak merespon.

Pada saat sore, saksi di kecamatan menghubungi saya. Suara pesaing saya itu 913, sedangkan saya 875. Jadi sebetulnya waktu dia bilang akan menambah 200 suara itu sebetulnya suara saya juga, 200 suara itu tidak dihitung. Kita sudah tahu bahwa suara kita bukan 675 tapi 875 karena saya punya B1 kemudian jadi BA1. Sebelumnya saya sempat dapat informasi juga, tapi dokumennya tidak saya dapat karena mungkin kurang cepat, bahwa saya dapat 1252 suara. Penyelenggara bermain-main.

Alur melobinya seperti itu. Saya ditekan. Sementara di lain pihak, dokumen perolehan suara itu diangkat. Saya kira ini permainan yang terencana.

Saya teruskan informasi ke saksi agar tidak menandatangani berita acara terlebih dahulu. Saya minta kotak suara dihitung ulang. Penghitungan diskors hingga besoknya. Di situlah terjadi negosiasi-negosiasi menjijikan. Tengah malam penyelenggara datang ke saya. Dia bilang ke tim, “Pak, mohon ditandatangani ini revisi sudah dikembalikan ke semula. Perolehan suara dikembalikan ke semula.” Apa artinya? Dia mengakui bahwa suara itu dimanipulasi. Saya terkaget-kaget. Kemudian besoknya diterbitkan yang normal. Beruntung saya punya saksi yang cukup baik. Saya tidak jadi dicurangi di sini. Saya tidak jadi dizalimi.

Berarti menurut hitung-hitungan Anda, Anda sudah unggul?

Saya unggul. Di Cianjur itu ada 32 kecamatan. 31 kecamatan itu sudah pleno dan mengeluarkan C1 dan saya juga sudah kompilasi. Unggulnya itu tinggal menunggu satu kecamatan terakhir yaiitu kecamatan Cianjur kota.

Di akhir pekan lalu, di PPK Cianjur Kota, ketua KPPS terakhir menyampaikan perolehan suara di masing-masing desanya. Semua merekap, termasuk camat di situ. Saya di-sms oleh tim sukses saya bahwa hasilnya bagus. Saya sujud sukur karena menang, walaupun itu belum terbit di A1. Rekapan dari bacaan ketua PPS itu saya sudah unggul 585 suara. Di bogor saya unggul hanya 52 suara. Jadi memang tipis karena dicaplok sana-sini.

Lalu bagaimana hasil resmi yang dikeluarkan KPU?

Apa yang ada di formulir A1 itu berbeda sekali dengan yang dibacakan oleh Ketua PPS masing-masing desa. Kebrutalan terjadi di situ. Formulir A1 yang terbit membuat saya jadi tidak unggul. Dikalahkan.

Apa yang terjadi?

Di sidang pleno PPK Cianjur Kota, diinformasikan bahwa formulir A1 tidak akan selesai hari ini, maka nanti 1×24 jam diberitahukan. Keesokan harinya dilanjutkan sidang rapat pleno. Di sidang pleno itu ada masalah dari partai lain yaitu Demokrat dan Gerindra. Itu heboh sampai berbenturan fisik. Saya tidak tahu ini skenario atau memang demikian. Datanglah kepolisian. Ketua PPK diamankan beserta dokumen. Seluruh dokumen diangkut. Ada yang bilang ke Polres dan ada yang bilang ke KPU. Saya tidak menurunkan saksi waktu itu. Saksi dalam juga tidak ada yang diberi mandat untuk saya. Yang diberi mandat dari DPC itu untuk DPRD.

Saya menilai rapat pleno itu cacat. Pertama, masyarakat dan wartawan itu dilarang masuk. Padahal, merujuk UU, pleno itu harus terbuka untuk masyarakat. Wartawan lokal melakukan demonstrasi tapi tidak digubris, akhirnya walk out. Setelah walk out, mungkin KPUD menilai tidak ada lagi massa. Akhirnya masyarakat dibolehkan masuk. Kedua, saksi belum mendpat BA1 padahal ketentuan itu harus punya BA1 dulu baru masuk. Bagaimana mau mengatakan ya atau tidak, saksi saya belum mendapat BA1. Dalam agenda rapat sendiri, tidak ada tanya jawab dengan saksi. Kebut terus. 32 kecamatan harus selesai 1×24 jam. Tidak ada klarifikasi dan tanya jawab mengenai penggelembungan suara.

Jadi apa yang dilaksanakan di PPK CIanjur Kota itu, suara saya hilang, berubah. Tapi suara pesaing saya itu mengambil dari suara partai dan mengambil dari suara kecilnya dari saya dan caleg nomor tujuh. Caleg nomor tujuh itu pegawainya caleg nomor satu. Dia mencalonkan itu untuk tujuan tertentu, untuk membantu.

Lalu, bagaimana upaya pembelaan Anda?

Saya melaporkan kasus ini ke Panwascam. Setelah itu, saya juga melapor ke Panwaslu Kabupaten Cianjur untuk diteruskan ke Bawaslu Jawa Barat dan Bawaslu RI. Saya upayakan melalui kuasa hukum supaya laporan saya ditindaklanjuti.

Bagaimana responnya?

Bawaslu Jawa Barat menyampaikan rekomendasi ke KPU Kabupten Cianjur untuk melakukan validasi data suara menyusul laporan dari saya dan teman-teman caleg lain. Validasi data suara ini kemudian dilakukan. Validasi data suara yang dilakukan ini juga sempat diragukan Panwaslu Kabupaten Cianjur. Pasalnya, mekanismenya tidak ideal, dilaksanakan jam tiga pagi. Bawaslu Jawa Barat juga menyebut KPU Kabupaten Cianjur tidak melakukan validasi yang direkomendasikan. Ini kan seperti kucing-kucingan.

Bagaimana kelanjutan kasus ini?

Setelah validasi data suara ditolak, KPU Jawa Barat memberi tambahan waktu untuk KPU Cianjur melakukan validasi ulang dalam waktu 1×24 jam. Validasi ini kemudian dikerjakan oleh KPU Cianjur dan Panwaslu Cianjur dengan supervisi KPU Jawa Barat dan Bawaslu. Rapat Pleno Pencermatan Penghitungan Suara Pemilu 2014 di Bandung akhirnya mengesahkan data validasi suara KPU Kabupaten Cianjur. Suara Partai Hanura yang sebelumnya 27.810 suara terkoreksi menjadi 28.938 suara. Saya sekarang ada di pihak yang menang. Sementara itu, proses pidana sedang berjalan. Gakumdu (Penegakan Hukum Terpadu) telah gelar perkara.

Upaya pembelaan ini adalah perjuangan yang cukup melelahkan. Proporsional tambahan suara tidak boleh ada. Di UU No. 8 Tahun 2012 disebutkan yang mengotak ngatik perolehan suara itu dihukum empat tahun penjara. Sekarang tinggal bagaimana pelaku seharusnya dikenakan sanksi ini. []