Pasca-Reformasi, Indonesia beralih dari sistem pemerintahan parlementer menjadi presidensial melalui amandemen konstitusi di 2002. Oligarki yang menyatu dalam tubuh partai coba dilawan melalui pemilihan pemilu presiden langsung di 2004. Di samping sebagai konsekuensi presidensialisme, Undang-Undang Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyertakan pemilihan kepada daerah secara langsung yang mengandung semangat melawan oligarki dinasti politik yang mengusai partai dan parlemen.
Sekitar sepuluh tahun demokrasi langsung diselenggarakan, oligarki masih kuat. Kekuatan kuasa modal sosial dan ekonomi masih menjadi aspek terutama dalam memenangkan kontestasi elektoral, baik pemilu presiden maupun pilkada. Untuk coba menjelaskan keadaan itu, rumahpemilu.org mewawancarai peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), Donny Ardyanto yang menulis makalah “Menantang Oligarki†dalam diskusi “Urgensi Pemuda dalam Mendukung Pilkada Langsung†di Cikini, Jakarta Pusat (10/10).
Sebetulnya, bagaimana menjelaskan penilaian keadaan demokrasi Indonesia di konteks dinamika cara pemilihan di pilkada?
Pertama kalinya pilkada langsung diterapkan dalam pemilihan Bupati Kutai Kartanegara pada Juni 2005. Artinya, rakyat Indonesia baru merasakan pengalaman pilkada langsung di masing-masing wilayahnya tidak lebih dari 2 kali. Di sisi lain, pengalaman pilkada oleh DPRD di era Reformasi di rentang 1998-2004 juga baru 1-2 kali dialami masing-masing daerah. Dengan pengalaman yang masih sangat terbatas, menjadi terlalu dini menilai cara pemilihan kepala daerah berdampak besar dalam kemajuan demokrasi di Indonesia.
Bukannya partisipasi langsung merupakan bagian yang penting dalam demokrasi sebagai pembeda teokrasi atau monarki?
Jika kita hanya melihat berdasarkan hak warga negara untuk memilih pemimpinnya secara langsung, tentunya pilkada melalui DPRD adalah sebuah kemunduran. Namun kemajuan serta kualitas demokrasi tidak bisa dinilai dan diukur semata-mata hanya dari pemberian hak pilih langsung tersebut.
Dari berbagai metode yang dilakukan untuk mengukur demokrasi baik itu dalam Indeks Demokrasi Indonesia, Global Democracy Ranking, dan Freedom in the World, mekanisme pemilihan hanya merupakan satu indikator dari puluhan indikator demokrasi. Jadi, selain terlalu dini dan sumir untuk menilai perkembangan demokrasi Indonesia berdasarkan mekanisme pemilihan, ada aspek lain yang lebih relevan dalam memandang transisi demokrasi.
Salah satu semangat mewujudkan pemilu presiden secara langsung di 2004 adalah untuk melawan oligarki partai yang berelasi dengan legislatif yang memilih presiden. Apa ini tak bisa dijadikan alasan pemilihan langsung sebagai kemajuan untuk konteks Indonesia?
Menurut Jefrey Winters, oligarki yang dijalankan kaum oligark telah menguasai perpolitikan Indonesia di era Reformasi. Kali ini tanpa adanya kediktatoran Soeharto yang membatasi ruang gerak oligark. Kita bisa buktikan dengan gampang. Partai-partai besar sekarang ini hanya dikuasai satu atau segelintir orang saja. Arena pertarungan politik dibuat sedemikian rupa sehingga hanya dengan restu dan campur tangan mereka, politik bisa berjalan dengan biaya besar. Biaya besar ini bukan hanya dalam kerangka kontestasi di pemilu. Dari awal untuk bisa masuk dalam ruang kontestasi pemilu saja sebuah partai harus menyiapkan biaya minimal Rp 35-60 milyar. Ini belum termasuk biaya kampanye, sehingga juga belum menjamin partai bersangkutan memperoleh suara signifikan. Jadi, langsung atau tak langsung masalahnya ada di oligarki.
Beberapa kepala daerah ada yang dinilai baik secara kualitas dan berhasil memajukan daerah yang dipimpinnya. Banyak dari mereka bukan orang partai. Apakah ini bukan bentuk pemutusan oligarki partai?
Politik harus mulai dipahami dan disikapi bukan berdasarkan figur ataupun hasil polling. Politik harus berdasarkan gagasan dan platform dari aktor politik. Ideologi. Rekayasa politik diperlukan untuk mengubah pemahaman tersebut. Mau tidak mau ini diawali dengan kesadaran bahwa segala hiruk pikuk politik yang terjadi selama ini tidak lain merupakan pertarungan antar oligarki dalam memanfaatkan serta memperebutkan kendali atas institusi-institusi demokrasi.
Bagaimana melawan oligarki?
Menjinakkan oligarki sangatlah sulit. Cengkeraman oligarki bisa diatasi dengan aturan hukum. Menurut Winters, hal itu harus dimulai dengan masyarakat mempunyai organisasi dan pemimpin di luar struktur yang dikuasai oligarki. Organisasi dan pemimpin politik inilah yang akan menjadi agen dan alat dalam menantang oligarki.
Oleh karena itu, jauh lebih penting mendorong kewarganegaraan yang aktif dengan keterlibatan langsung warga negara di institusi-institusi demokrasi, dimulai dengan partai . Contoh pilihan sederhananya, masuk partai yang sudah ada dan melawan oligarki dari dalam, atau membuat partai baru yang terbebas dari kaum oligarki.
Masuk partai atau membuat partai. Bagaimana keadaan masyarakat terhadap kebutuhan keterlibatan aktif di partai?
Pendalaman demokrasi membutuhkan peran aktif warga negara berpolitik. Peran aktif ini harus lebih dari sekedar aktif mengikuti isu politik di media massa atau media sosial. Bukan juga dengan mengambil sikap hanya berdasar pemahaman dari media massa dan media sosial.
Saya menyayangkan jika pemuda berkecenderungan menekankan kerja dan tindakan nyata tanpa menyertakan kritisme terhadap negara melalui gerakan politik. Ini bukan saja soal “lebih baik menyalakan lilin dari pada mengutuk kegelapan†tapi juga soal bagaimana bagaimana kita terlibat secara aktif, masif, dan terorganisir melalui institusi-institusi demokrasi seperti partai politik untuk melawan oligarki yang menyebabkan gulita sehingga menciptakan terangnya kehidupan bernegara. Ini yang menjadikan demokrasi tetap hidup. []
foto: perspektifbaru.com