November 6, 2024

Erik Kurniawan: Dapil Sebaiknya Wewenang KPU, Bukan DPR

Daerah pemilihan merupakan salah satu elemen penting pemilu. Keterwakilan daerah beserta penduduk oleh wakil rakyat ditentukan di sini. Karena ada sifat menentukan keras-lunaknya kompetisi, dapil menjadi komoditas kepentingan, khususnya anggota dewan sebagai pihak pembuat undang-undang yang kemungkinan mencalonkan lagi di pemilu berikutnya.

Seperti apa idealnya dapil dibentuk agar relatif lepas dari kepentingan kuasa. Berikut wawancara Usep Hasan Sadikin dari rumahpemilu.org bersama pegiat pemilu dari Indonesian Parliamentary Center, Erik Kurniawan di Jakarta (6/2).

Bisa dijelaskan, pentingnya dapil dalam penyelengaraan pemilu dan demokrasi?
Sejatinya daerah pemilihan itu basis dari wilayah kompetisi pemilu. Justru persaingan pemilu ada di dapil. Dalam pemilu legislatif dapil salah satu elemen teknis yang paling menentukan nasib partai peserta pemilu. Banyak/sedikit-nya suara dan kursi salah satunya ditentukan di dapil.

Itu dari sisi peserta pemilu. Dari sisi pemilih, akan ada kejelasan siapa yang akan mewakili pemilih. Pembentukan dapil juga menyertai semangat mendekatkan wakil rakyat dengan pemilih. Pemilih kenal dengan calon wakil rakyat. Kalau berdasar administrasi provinsi kan terlalu luas. Calon tidak lebih dikenal masyarakat sebagai pemilih.

Pemilu 1999 kan dapilnya berdasarkan provinsi. Pemilu 2004 dipecah pendapilannya. Diteruskan di Pemilu 2009 dan Pemilu 2012. Ini maksudya untuk mendekatkan pemilih dengan wakil rakyat. Semakin jelas akuntabiltias keterwakilannya.

Idealnya, dapil dibentuk berdasarkan apa?
Idealnya dapil dibentuk berdasarkan satu kesatuan wilayah, kesetaraan populasi, kepentingan komunitas (suku misalnya), adminitrasi, kekompakan. Ada lagi tambahan, sebaiknya dapil bisa ajeg.

Seperti apa keterkaitan dapil, kursi dan jumlah penduduk?

Penduduk jelas terkait dengan dapil beserta kursinya. Apalagi bagi penganut demokrasi keterwakilan. Ada teori yang menghitung jumlah layaknya kursi parlemen terkait jumlah penduduk. Parlemen diibaratkan sebagai jantungnya negara. Volume jantung dibandingkan dengan volume tubuh, dirumuskan dengan akar pangkat tiga. Rumusan itu diadopsi ahli pemilu.

Melalui dapil juga kita bisa menyederhanakan jumlah partai di parlemen. Dapil itu terkait dengan jumlah kursi. Sekarang jumlah kursi pemilu di Indonesia ada 560. Nah itu dibagi ke sejumlah dapil. Setiap dapil jumlah kursinya 3 sampai 10 untuk tingkat pusat DPR RI dan 3 sampai 12 kursi untuk provinsi dan kabupaten/kota.

Kenapa kursi di dalam dapil minimal 3, kenapa maksimal 12?

Minimal 3 kursi dalam satu dapil, karena sistem pemilu kita pakai sistem proporsional. Kursi tiga dinilai bisa untuk mengakomodir multipartai. Kalau kursinya minimal dua, jadinya mayotarian, sistem distrik.

Nah kenapa sepuluh, semangatnya tadi. Ini usaha mendekatkan pemilih dengan wakil rakyat. Latar belakang dari DPR memang punya keinginan dibanyakin saja. Karena peluang dapat kursi lebih besar.

Idealnya rentang atasnya sebaiknya terus dikurangin. Dari 12 ke 10. Itu alasannya. Jumlah kursi besar lebih kepada alasan mendekatkan wakil rakyat dengan pemilih. Sedangkan jumlah kursi diperkecil lebih beralasan untuk penyederhanaan partai di parlemen.

Kenapa tidak didorong 3 sampai 6?

Partai besar menginginkan itu. Maksimal sampai 12, pengaruh dari partai kecil di parlemen. Kalau dapilnya enam sulit bagi partai kecil. Pengalam di Pemilu 2009, partai kecil dapet di kursi ketujuh, kedelapan dan kesembilan. Kalau partai besar kan bisa dapet kursi di satu dua tiga. Nah kalau dapilnya cuma enam, suara sisa untuk dikonversi ke kursi (melalui metode perhitungan) akan balik lagi ke kursi kesatu yang lebih memungkinkan didapat partai besar.

Berapa idealnya kursi parlemen di Indonesia?

Jika dihitung dengan rumus akar pangkat tiga, Indonesia ketemu angka 619 kursi parlemen. Itu dengan jumlah penduduk sekarang 237-an juta penduduk. Data yang dipakai dari sensus penduduk terakhir, 2010.

Rumus itu ada catatan bagi negara berkembang. Ukuran jumlah penduduk yang dipakai bukan total penduduk tapi penduduk aktif. Yang dimaksud penduduk aktif adalah penduduk melek huruf dan angkatan kerja. Jika pakai penduduk aktif, Indonesia penduduk aktifnya sekitar 50% dari 237-an juta. Itu didapat sekitar 110-an juta jiwa. Jika dimasukan rumusan volume jantung, didapat kursi parlemen Indonesia di angka 480-an kursi.

Jadi, jumlah kursi di parlemen yang sekarang nyatanya lebih banyak dari hitungan teori.

Bagaimana di negara lain?

Memang rumusan tersebut bukan hal mutlak. Inggris misalnya, peduduknya sekitar 60 juta tapi jumlah kursinya 650 kursi. India, jumlah penduduknya 1 milyar lebih tapi kursi parlemennya 600. Jika banyak negara kita bandingkan rentangnya, ya tidak jauh beda. Rentangnya 484 sampai 619 kursi.

Karena kita pakai demokrasi dengan makna keterwakilan, penduduk selalu dijadikan patokan untuk menentukan jumlah kursi dan daerah pemilihan. Jumlah penduduk berapa? Lalu, alokasi kursi berapa? Juga dalam pendapilan. Jika kita mau menggabungkan kabupaten A atau B perlu dihitung juga jumlah penduduknya.

Agak berbeda denga Jerman. Dasarnya bukan jumlah penduduk. Tapi jumlah pemilih. Ditentukan setelah pemilu untuk pemilu berikutnya. Berapa orang yang milih. Itu yang dianggap akuntabel. Lalu dikonversi di kursi. Jumlah kursi di setiap negara bagian ditentukan dari seberapa banyak partisipasi penduduk negara bagian tersebut dengan memilih di pemilu. Walau suatu negara bagian jumlah penduduknya banyak tapi kalau partisipasi memilih di pemilu sedikit, ya dapat jatah kursinya juga sedikit.

Selama ini seperti apa dapil dibentuk dalam penyelenggaraan pemilu?

Selama ini pendapilan bisa dinilai buruk. Ini dampak dari pendapilan yang diserahkan kepada DPR. DPR yang penuh kepentingan politik kuasa menghasilkan undang-undang yang mengatur pendapilan. Merubah atau mempertahankan aturan dapil, ya terkait dengan kepentingan anggota legislatif yang di pemilu berikutnya mencalonkan lagi.

Sebaiknya dapil itu aturan penetapannya ditentukan KPU. Undang-undang hanya mengatur dasar-dasar penetapan dapil. Definisinya ditentukan jelas. Semangatnya apa. Luasan dapil harus menyertai banyak pertimbangan satuan area. Sedangkan rincian besaran, luasan dan jumlah, ditentukan oleh peraturan KPU sebagai penyelenggara teknis pemilu.

Pada Pemilu 1999 dapil diterapkan berdasarkan administrasi provinsi. Ini sama seperti pemilu sebelum reformasi.

Pada Pemilu 2004, dapil lebih baik diterapkan. UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilu Legislatif memberikan wewenang kepada KPU untuk menetapkan dapil di Pemilu 2004. Semua tingkatan wewenang KPU. Dari pusat DPR RI sampai kabupaten/kota.

Di Pemilu 2009 dapil tingkat pusat DPR RI ditentukan anggota DPR. Ini ditetapkan melalu UU No. 10 tahun 2008. Pemilu 2009 terjadilah kasus acaknya dapil yang disebabkan pembagian daerah yang berdasarkan kepentingan orang yang mencalonkan lagi. Ini tak hanya adanya kepentingan partai, tapi sampai pada kepentingan individu anggota DPR.

Banyak terjadi pelanggaran di Pemilu 2009. Ada aturan rentang kursi dapil 3-12, tapi di Tangerang sampai 27.

Bagaimana dengan dapil di Pemilu 2014?

Dapil di 2014, pendapilan merujuk ke undang-undang sebelumnya, UU No. 10 tahun 2008. Sayangnya undang-undang yang dirujuk ketika menetapkan dasar pembentukan dapil tidak menggunakan metode yang jelas. Basis kependudukannya tidak jelas. Dasar yang menyebabkan buruknya pendapilan di Pemilu 2009 diulang. Tapi malah itu yang oleh DPR dipakai untuk 2014.

KPU di Pemilu 2014 ini punya komitmen memperbaiki dapil. Kewenangan mereka ada di dapil tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Dari hasil diskusi dan tukar informasi, sekarang lebih baik. Karena beberapa prinsip penting dimasukan. Untuk provinsi dan kabupaten/kota yang rentang kursinya diatur undang-undang berjumlah 3-12 kursi, KPU sekarang kuat mematuhi.

Ada usaha dari masyarakat untuk perbaikan aturan pembentukan dapil?

Dari Perludem ada. Dari proses sidang sementara memang jika aturan dapil dirubah untuk Pemilu 2014, harapannya kecil. Akan berdampak munculnya gonjang-ganjing politik. Banyak anggota dewan, politisi dan partai sudah investasi politik yang besar untuk di dapil. Jika dirubah di pemilu sekarang (2014) sulit.

Tapi kami berharap sudah diperbaiki untuk pemilu berikutnya, 2019. Kesadaran konteks Pemilu 2014 dan prosesnya bisa banyak menjadi pertimbangan untuk hasilkan aturan pembentukan dapil yang lebih baik. []