November 15, 2024

Fadli Ramadhanil: Mundur/Cuti Berdasar Ikatan Konstituen

Syarat mundur dewan jika mencalonkan di pilkada sudah disepakati mayoritas fraksi. Tapi masih kemungkinan berubah di Paripurna DPR dalam pengesahan hasil revisi undang-undang pilkada. Pasalnya, masih saja dikaitkan syarat mundur dewan dengan syarat (hanya) cuti bagi petahana kepala daerah yang mencalonkan di pilkada.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil berpendapat perbandingan dua posisi itu bisa makin menjelaskan mengapa dewan harus mundur sedangkan petahana kepala daerah hanya cukup cuti saja di pilkada. Berikut penjelasan Fadli (1/6) melalui sejumlah pertanyaan.

Sesuaikah membandingkan mundur/cuti dewan dengan petahana kepala daerah dalam pencalonan pilkada?

Tidak sesuai. Keduanya memang jabatan politik, bukan jabatan publik biasa seperti TNI/Polri, PNS yang punya undang-undang terkait pekerjaan. Tapi yang membedakan di konteks pilkada, petahana kepala daerah punya ikatan politik terhadap konstituen di pemilu sebelumnya. Jadi, mundur/cuti berdasarkan ikatan konstituen.

Bukannya dewan juga punya ikatan konstituen karena dia dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu?

Daerah pemilihannya berbeda. Pilkada daerah pemilihannya ya satu kabupaten/kota atau satu provinsi. Sedangkan pemilu legsilatif daerah pemilihannya gabungan kecamatan atau gabungan kabupaten/kota. Jadi, jika anggota dewan mencalonkan di pilkada, ikatan konstituennya berbeda. Ikatan konstituen ini berkait dengan komitmen dan harapan berupa periode menjabat.

Berarti ini juga berlaku sebaliknya?

Berlaku juga sebaliknya. Jika petahana kepala daerah mau mencalonkan menjadi anggota DPR, DPD provinsi, atau DPRD kabuten/kota, petahan kepala daerah harus mundur, tak boleh hanya cuti.

Jabatan eksekutif dan legislatif secara hukum sudah jelas merupakan jabatan yang bisa mencalonkan dan dipilih kembali. Eksekutif ada kesempatan untuk dua periode berturut-turut. Jabatan legislatif malah bisa mencalonkan dan dipilih berkali-kali, tak ada batasan periode.

Bagaimana bila jabatannya sama tapi beda tingkatan. Misal, bupati A mencalonkan di pilkada provinsi untuk menjadi gubernur?

Harus mundur, tak cukup cuti. Ini juga berlaku bagi dewan. Jika anggota DPRD kabupaten/kota mencalonkan menjadi caleg DPR/DPRD provinsi atau anggota DPRD provinsi menjadi caleg DPR, dia harus mundur. Begitu juga anggota DPR/DPRD mencalonkan di DPD atau sebaliknya, harus mundur.

Apakah konsep mundur/cuti berdasarkan ikatan konstituen ini sudah difasilitasi regulasi?

Belum semua. Dua Putusan MK sudah mengatur dewan dan petahana. Untuk posisi eksekutif naik tingkat sudah. Malah dilarang jika turun tingkat. Kedepan kita perlu mengatur syarat mundur pejabat legislatif yang pindah tingkatan daerah pemilihan, baik turun mau pun naik tingkat.

Dalam revisi undang-undang pilkada ini, mayoritas fraksi sepakat syarat mundur dewan jika mencalonkan di pilkada. Ada kemungkinan berubah di paripurna?

Meski kecil, peluang tetap ada. Kalau tak bisa berubah di paripurna bisa diubah melalui gugatan ke MK. Itu pun harus dengan dasar gugatan yang berbeda dibanding gugatan sebelumnya.

Jika dalam paripurna DPR kembali memaksa syarat mundur dihapus (cukup cuti)?

Bisa saja syarat mundur itu dihapus tapi DPR akan dinilai publik sebagai lembaga yang tak taat hukum. Ini sesuatu yang diatur terang. Jika DPR mempertentangkannya akan merusak citra DPR. []