Transparency International Indonesia mempublikasikan hasi survei persepsi yang menempatkan partai politik dan DPR sebagai kelembagaan yang paling korup. Korupsi KTP elektronik (e-KTP) semua fraksi partai melalui anggota dewan di Komisi II seperti membulatkan persepsi itu.
Bagaimana perspektif kepemiluan menjelaskan keadaan itu? Berikut penjelasan dari peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Heroik Mutaqin Pratama kepada rumahpemilu.org (8/5).
Semua fraksi melalui anggota dewan di Komisi II diduga terkait korupsi e-KTP. Ini lebih ke soal prilaku politisi atau soal ada permasalahan di keuangan partai politik?
Saya sepakat ini ada kaitan dengan perilaku politik. Tapi saya ingin lebih banyak menjelaskan di aspek keuangan partai politik. Selama ini, mahalnya biaya politik dan keterbatasan pendanaan partai disinyalir menjadi latar belakang banyaknya anggota partai politik terlibat praktik pencarian dana gelap. Korupsi e-KTP pertanda besar partai politik harus menata ulang sistem keuangan.
Uang yang dimiliki partai dikeluarkan untuk apa saja?
Paling tidak terdapat dua jenis belanja partai. Pertama, belanja pengorganisasian partai di mana uang dipergunakan untuk memenuhi aktivitas organisasi di luar kampanye, seperti kesekretariatan, sewa kantor, rapat rutin, kunjungan ke daerah, dan kongres. Kedua, belanja kampanye, yakni uang yang dipergunakan untuk pemenangan partai di pemilu, mulai dari biaya pemasaran politik, iklan di media massa, cetak baliho, poster, hingga stiker.
Apa yang harus dilakukan untuk mengatasi keadaan bermasalah itu?
Reformasi keuangan partai menjadi suatu keniscayaan untuk dilakukan. Salah satu caranya dengan meningkatkan bantuan keuangan negara kepada partai politik.
Dampaknya apa saja untuk bisa disimpulkan hal ini menjadi solusi?
Terdapat tiga keuntungan yang dapat diperoleh dari ditingkatkannya bantuan negara. Pertama, mampu meminimalkan praktik pencarian dana-dana ilegal yang dilakukan oleh anggota partai politik sehingga anggota partai politik yang duduk di kursi legislatif dan eksekutif dapat fokus untuk meningkatkan kualitas kerjaannya sebagai wakil rakyat.
Sesertamerta itu kah?
Sebagai institusi demokrasi, partai politik memang membutuhkan uang untuk menjalankan berbagai fungsinya, seperti kaderisasi, pendidikan politik, agregasi dan artikulasi kepentingan, serta kampanye. Meski demikian, bukan berarti seluruh kebutuhan partai dibiayai negara, melainkan disesuaikan secara proporsional dengan kebutuhan partai politik.
Hasil kajian KPK, misalnya, mengusulkan peningkatan bantuan keuangan negara dengan besaran bantuan 50 persen dari kebutuhan partai. Namun, besaran ini dikhawatirkan dapat membuat partai semakin bergantung kepada negara dan mengikis sumber penerimaan yang berasal dari iuran anggota yang sebetulnya patut untuk ditingkatkan kembali. Untuk itu paling tidak negara dapat meningkatkan bantuan keuangan terhadap partai 30 persen dari kebutuhan partai.
Bukannya partai masih bermasalah? Bantuan yang sedikit saja banyak permasalahan. Bagaimana meningkatkan bantuan di tengah kualitas dan kepercayaan partai yang rendah?
Peningkatan ini dilakukan secara bertahap dan wajib berjalan beriringan dengan transparansi dan akuntabilitas pelaporan keuangan. Hal ini karena uang yang diterima oleh partai politik berasal dari negara yang diperoleh dari publik juga. Maka, logikanya publik berhak mengetahui dipergunakan untuk apa saja uang tersebut. Dengan demikian, setiap laporan keuangan partai wajib untuk diaudit dan jika didapati ketidaksesuaian berhak dikenakan sanksi, seperti pengurangan besaran bantuan keuangan negara di tahun berikutnya. []