October 3, 2024

Ida Budhiati: Semangat Membatasi Dinasti Politik Tidak Didukung UU

Komisi Pemilihan Umum mengeluarkan Surat Edaran (SE) KPU No 302/KPU/VI/2015 untuk mendefinisikan siapa yang termasuk petahana dan siapa yang tidak termasuk petahana. Tetapi SE ini kemudian mendapat kritikan dari berbagai pihak, termasuk dari koalisi masyarakat sipil yang mengawal Pilkada. Dalam SE yang sifatnya menjelaskan UU 8/2015, KPU dianggap tidak tepat dalam mendefinisikan petahana sehingga SE ini berpotensi menjadi celah melanggengkan dinasti politik.

Namun perlu disadari bahwa munculnya SE ini akibat tidak konkretnya UU menjelaskan siapa yang dimaksud dengan petahana. Ranah ini, yang seharusnya menjadi bagian Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendefinisikan petahana dalam UU, dibebankan pada KPU yang seyogianya hanya pelaksana teknis dengan berpedoman UU. Untuk itu, jurnalis rumahpemilu.org, Debora Blandina, mewawancarai salah seorang anggota KPU RI, Ida Budhiati untuk menjelaskan bagaimana proses terbitnya SE 302 serta bagaimana KPU merespon tanggapan masyarakat.

Bagaimana KPU menanggapi masukan masyarakat mengenai SE 302?

KPU menghargai pandangan dari stake holder pemilu. KPU telah melakukan telaah seluruh pandangan yang diberikan berkaitan dengan definisi petahana.

Masukan seperti apa saja yang diterima oleh KPU?

Ada yang punya pandangan bahwa surat edaran KPU itu dikhawatirkan tidak bisa mencegah politik dinasti. Nah terhadap pandangan ini, KPU sebetulnya sejak awal sudah memahami spirit yang dikandung pasal 7 huruf R UU 8 tahun 2015. Dan di situ ada norma yang dirumuskan di dalam pasal dan kemudian ada penjelasan yang memberikan makna baru jika disandingkan dengan bunyi pasalnya.

Bunyi pasal 7 huruf R itu kan disebut bahwa calon tidak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana. Nah, penjelasannya menyebutkan tidak mempunyai konflik kepentingan adalah tidak mempunyai kepentingan hubungan darah satu tingkat ke samping, atas, dan bawah, kecuali telah melampaui jeda satu masa jabatan. Kami waktu itu merenungkan apa sih latar belakang pemikiran dirumuskannya norma itu. Karena kalau ditinjau dari sisi peraturan perundang-undangan, bunyi penjelasan tidak boleh melampaui bunyi pasalnya.

Tapi kemudian kita mencoba menangkap apa spiritnya. Ini kan pembentuk undang-undang kira-kira ingin mencegah politik dinasti. Nah kemudian di dalam menyusun peraturan teknisnya KPU tentang pencalonan itu yang kami lakukan mendefinisikan apa itu konflik kepentingan. Konflik kepentingan kan sudah ada dalam penjelasan seperti hubungan perkawinan dan sebagainya.

Kemudian petahana, apa itu definisi petahana itu kepala daerah sedang menjabat, kan begitu kalau ditelusuri baik di dalam berbagai literatur dan pendapat ahli bahasa. Petahana adalah orang yang menjabat dan dia akan mengikuti kompetisi kali kedua atau berikutnya, itu yang disebut dengan petahana.

Kemudian bagaimana ini dengan penjelasan kecuali telah melampaui jeda satu kali masa jabatan? Apakah orang yang sudah tidak menjabat dia juga termasuk dengan definisi petahana? Kan ini ada yang tidak sinkron. Kemudian kami mencoba merumuskan definisi pertahan itu adalah dalam peraturan KPU, kepala daerah yang sedang atau pernah menjabat, bahkan kami memperluas juga bagaimana mencegah potensi penyalahgunaan wewenang antara gubernur kepada bupati/ walikota maupun kepada bupati dan gubernur. Itu sampai seluas itu rancangan kami.

Kemudian pada saat konsultasi kami mendapat konfirmasi pasal 7 huruf R. Peraturan-peraturan KPU yang mendefinisikan petahana itu tidak terbatas hanya pada orang yang menjabat tetapi juga pernah menjabat ini di kritisi. Ini gak tepat KPU mendefenisikan petahana itu orang juga pernah menjabat.

Kritisi itu dapat dari siapa saja?

Dari Komisi II DPR juga pemerintah waktu rapat konsultasi. Yang mereka sebut rapat konsultasi waktu itu dengan forum panja. Nah, waktu itu sangat keras sampai berlarut-larut itu pembahasan rancangan peraturan KPU tentang petahana itu. Kemudian kami sudah sampaikan berkali-kali spiritnya itu kan ingin mencegah.

Memang ada rumusan norma yang tidak sempurna. Kemudian kami mempertimbangkan kalau KPU ingin terus mempertahankan memang ada resiko sengketa kalau kemudian peraturan kami diuji di Mahkamah Agung. Kalau mau disandingkan dengan bunyi pasalnya, bunyi pasal ya, karena kalau berbahasa hukum itu kan di lembaga peradilan yang dilihat adalah teks UU itu sendiri.

Kalau mau disandingkan antara peraturan KPU dengan norma pasalnya itu sangat mudah diprediksi bahwa kami dinyatakan tidak sesuai dengan UU. Nah, kemudian kami mempertimbangkan kita kembalikan sesuai dengan norma pasalnya. Karena kembali pada tadi, teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, tidak bisa bunyi penjelasan itu bertentangan dengan bunyi pasalnya atau muncul norma baru di dalam penjelasannya. Kemudian kita kembalikan.

Nah, pandangan kami bahwa ketika ada ide dan gagasan untuk memperbaiki sistem demokrasi dengan cara mencegah politik dinasti kemudian ada ketidaksempurnaan UU, KPU itu bukan satu-satunya pihak yang harus memberikan solusi. Bahkan kami dalam menyusun peraturan itu kan terikat dengan instrumen hukum dan norma yang ada di dalam UU. Nah, sekarang usaha apa yang bisa dilakukan? Ya Kita bisa berharap pada DPRD, kepada Menteri, dan partai politik itu sendiri.

Kepada DPRD ya kan harus dilihat dari sisi kepatutannya, dilihat alasannya sejauh apa kepatutan untuk mundur dari jabatannya. Kan memang menurut UU pemda, pengunduran diri disampaikan melalui rapat paripurna kemudian diteruskan. DPRD kan bisa mengambil kebijakan diteruskan atau tidak diteruskan dengan melihat alasannya. Begitu juga dengan menteri melihat alasan untuk bisa diterima pengunduran dirinya, jadi memperhatikan unsur kepatutannya.

Kemudian partai politik, partai yang punya semangat mencegah politik dinastikan bisa tidak mengusung yang bersangkutan di dalam proses internal partai politik.

Lalu bagaimana dengan petahana yang masa jabatannya berakhir sebelum masa pencalonan, tetapi secara politis kita tahu dia sudah menyiapkan sanak keluarganya untuk maju di pilkada 2015?

Kalau orang tidak lagi berstatus petahana, keluarganya tidak bisa dihalangi untuk mencalonkan diri.

Meski kita tahu dia sudah mempersiapkan itu dari awal?

Sebenarnya apa yang dikhawatirkan? Pengaruh penggunaan wewenang? Kalau itu terbukti, kan ada mekanisme penegakan hukum.

Sekarang ada 22 daerah yang kepala daerahnya tidak bisa dikenai pasal konflik petahana dengan munculnya SE ini. Itu bagaimana?

Iya, sekarang kan ada dugaannya. Apakah ada bukti-bukti yang cukup memadai untuk meminta pertanggungjawaban yang bersangkutan. Ini yang dikhawatirkan petahana yang ingin memperluas pengaruh dengan menggunakan jabatannya untuk mendukung calon-calon tertentu terlebih keluarganya.

Nah sekarang kalau memang itu benar terjadi bukankah ada mekanisme hukum untuk meminta pertanggungjawaban kepada yang bersangkutan. Pertanggungjawabannya tidak sekadar administratif kepada yang bersangkutan. Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang itu kan bagian dari tindak korupsi.

Jadi pengaturan di dalam UU kepala daerah itu bukan satu-satunya solusi untuk mencegah politik dinasti. Efektifkan juga bagaimana penegakan hukum terhadap orang yang menyalahgunakan kekuasaannya. Kita jangan hanya melihat surat edaran KPU bagaimana KPU itu menindaklanjuti UU. Kan dalam spirit yang sama, upaya apa saja sih yang bisa dilakukan?

Oke, Ini persyaratan yang dirumuskan dalam UU ada, kemudian selain mengatur syarat calon apakah ada usaha lain? Ada. Apa itu, diminta pertanggungjawabann dong orang yang nyata-nyata. Dugaannya kan kuat, sekarang tinggal bagaimana aspek pembuktiannya. Itu tindak korupsi.

Berarti KPU tidak akan mengubah SE 302?

Nah, saya tidak mengatakan begitu. Ini kan cerita latar belakang pemikiran merumuskan peraturan KPU bukan SE. SE itu hanya menjelaskan peraturan, kami tidak menambah dan mengurangi, kami menjelaskan dan menegaskan apa definisi petahana.

Definisi petahana itu juga dianggap sebagai norma baru karena di dalam UU tidak didefinisikan petahana..

Iya, dalam pileg pilpres dan pilkada, KPU sering kali dituntut membuat regulasi yang sebetulnya itu ranah pembuat UU. Nah, yang sebetulnya kalau ini ada persolan hukum, KPU akan menanggung resiko.

Sebelum membuat SE ini apakah ada bayangan bahwa SE ini dimanfaatkan kepala daerah untuk untuk mundur?

Sebelum SE ini dibuat sudah ada yang mensiasati ketentuan UU yang menyatakan mereka mengundurkan diri, kemudian kerabatanya mengajukan untuk maju.

Sekarang ini lagi digugat di MK soal petahana, apakah itu juga pertimbangan menunggu keputusan MK untuk memaknai petahana?

KPU juga berharap MK memberikan kepastian hukum, kemanfaatan, dan juga keadilan terkait dengan beberapa norma yang diujikan di MK.

Kemudian dari sisi UU, apakah pemaknaan petahana ini menjadi satu hal yang harus direvisi ke depan?

Iya, kalau sudut pandang KPU, UU itu semestinya mengatur secara jelas dan detil sehingga KPU tidak diberikan PR terkait aspek substansi, tapi lebih banyak berkiprah aspek teknis penyelenggara.

SE ini akan diplenokan lagi?

Iya, belum selesai.

Apakah surat edaran ini akan diperbaiki?

Ya kita lihat nantilah hasilnya. Tapi pada prinsipnya kami memahami. Kami itu dalam kerja terikat pada rambu-rambu. Rambu-rambu bagaimana tata cara penyusunan peraturan perundang-undangan termasuk pembuatan aturan KPU. Tidak hanya bisa bersemangat saja tapi melihat pengaturan hukum itu sendiri . Kami kan harus mempertanggungjawabkan seluruh kebijakan yang kami terbitkan.