Dewan Prewakilan Rakyat (DPR), telah mengesahkan hasil revisi UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi Undang-Undang nomor 1 tahun 2015 (UU No 1/2015) tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 1 tahun 2014 (Perppu No 1/2014) yang mengatur tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Dalam revisi tersebut, ada dua hal yang penulis ingin pertanyakan. Pertama terkait waktu pelaksanaan Pilkada serentak tahap I, yang akan dilaksanakan pada bulan Desember 2015. Kedua, terkait penghapusan Uji Publik atau sosialisasi Bakal Calon Kepala Daerah.
Sesungguhnya, penggiat pemilu Didik Supriyanto (Ketua Perludem) telah mengusulkan untuk mengundurkan Pilkada serentak tahap I, menjadi bulan Juni tahun 2016. Dengan rasionalisasi, pertama, pemungutan suara pada awal Juni memberi ruang bagi penyelenggara pemilu untuk merencanakan dan mengelola dana anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) lebih leluasa.
Kedua, KPU dan jajarannya tidak mengalami hambatan dalam pengadaan dan pendistribusian surat suara dan perlengkapannya, karena pada waktu itu kondisi cuaca relatif baik: tidak sedang musim hujan di darat, juga tidak sedang musim angin di laut.
Bak gayung bersambut, usulan Perludem diamini oleh salah satu komisioner komisi pemilihan umum (KPU), Ida Budhiati. Ia mengatakan bahwa dengan pemunduran Pilkada serentak, akan membuat Penyelenggara (KPU) lebih siap dari mulai Pusat, Daerah, dan Kabupaten/Kota. Namun, usulan Perludem dan KPU ternyata tidak digubris oleh komisi II DPR. Mereka (DPR) tetap kekeh bahwa, Pilkada serentak tahap I akan dilaksanakan di bulan Desember 2015 nanti. Dengan alasan, ini adalah usulan dari aktivis-aktivis daerah yang menganggap, jika tahun depan akan memperpanjang masa jabat kepala daerah (Baca : Beritaempat.com).
Pertanyaannya, mengapa DPR tidak menggubris usulan penyelenggara pemilu (KPU) dan penggiat pemilu. Padahal notabene merekalah (penyelenggara pemilu-penggiat pemilu) yang banyak makan asam garam dalam dunia kepemiluan.
Jika, dalihnya (DPR) hanya waktu yang sangat panjang untuk kepala daerah yang seharusnya habis di tahun ini (2015). Itu bisa dipatahkan dengan pertanyaan, apakah tidak lebih mudharat, jika dibandingkan dengan kurang siapnya penyelenggara pemilu dalam melaksanakan Pilkada secara serentak, karena waktunya yang relatif pendek? Padahal, idealnya perencanaan dan persiapan pemilu setidaknya 24 bulan. Walaupun, akhirnya KPU (terpaksa) menyanggupi Pilkada serentak dilaksanakan akhir tahun ini.
Lalu, pertanyaan selanjutnya, dalil apa yang menguatkan pemilihan kepala daerah secara serentak tahap pertama dilaksanakan bulan Desember 2015?
Kenapa uji publik dihapus?
Dalam rapat paripurna tersebut, anggota DPR juga sepakat untuk menghapus bab VI pasal 38 Uji Publik dalam UU No 1/2015. Dari sepuluh fraksi, hanya fraksi Demokrat yang tidak sepakat dengan penghapusan Uji Publik tersebut.
Padahal, menurut penulis artikel ini, Uji Publik sangat bermanfaat bagi calon pemilih. Kenapa? Karena pertama, publik tidak dipaksa untuk membeli kucing dalam karung. Sudah menjadi rahasia umum, selama ini publik dipaksa membeli kucing dalam karung. Alhasil, Pilkada tidak menjadi pembelajaran politik bagi publik, dan calon kepala daerahnya pun tidak sesuai harapan publik.
Publik pun sampai saat ini masih meyakini bahwa, seleksi di partai poitik tidak berjalan secara demokratis. Jadi, jika Uji Publik benar-benar dihapus dari UU No. 1/2015, secara otomatis partai politik akan memprioritaskan para bakal calon kepala daerah yang berani membayar mahal kursi kepala daerah. Untuk kualitas, kapabilitas, dan integritas bakal calon kepala daerah menjadi nomor sekian atau dikesampingkan.
Kedua, Uji Publik bermanfaat membongkar oligarki di dalam partai politik. Proses demokratisasi di dalam partai politik pun akan semakin fair, sehingga mendorong partai politik semakin selektif, transparan, dan akuntabel dalam mengajukan calon kepala daerah.
Ketiga, Uji Publik juga dapat dimanfaatkan sebagai media kampanye bakal calon kepala daerah. Sebab, masing-masing bakal calon kepala daerah akan menunjukan kapasitas, kredibilitas, dan integritasnya untuk meyakini partai, gabungan partai, dan pemilih.
Keempat, Uji Publik atau sosialisasi juga dapat meningkatkan partisipasi publik. Pada pemilu-pemilu sebelumnya publik selalu tidak diberi ruang untuk ikut berpartisipasi dalam penyeleksian calon kepala daerahnya. Harapan itu, akhirnya muncul di peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 (Perppu No 1/2014).
Namun, hal itu ternyata tidak dilihat oleh para anggota dewan. Mereka (DPR) menghapus bab VI pasal 38 Uji Publik, dengan dalil Uji Publik sudah dijelaskan, dalam undang-undang menjadi kewenangan partai politik dalam mengusung calon. Uji publik tidak akan mengugurkaan calon. Lulus atau tidak lulus tetap mendapatkan sertifikat. Oleh karenanya, harus dihapus demi efisiensi tahapan.
Penghapusan Uji Publik dan pemaksaan Pilkada serentak di akhir tahun ini, tentu akan berdampak fatal bagi prosesi penyelenggaraan pemilihan umum. Tingkat Golongan Putih (Golput) yang semestinya dapat diminimalisasi tentu akan meningkat. Karena, publik tidak terlibat dalam pemilihan ‘kucing’.
Dengan waktu yang relatif pendek, KPU dipastikan akan kewalahan dalam menyelesaikan tahapan persiapan dan penyelenggaraan. Pasalnya, setelah penetapan UU No 1/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, KPU harus segera membuat peraturan komisi pemilihan umum (PKPU) untuk nantinya sebagai dasar hukum mereka. Â Tentu kita mengetahui bersama bahwa, Pembuatan PKPU bukan urusan yang mudah dan cepat. Pembuatan peraturan tersebut butuh waktu setidaknya satu minggu, karena harus menyatukan dan menyamakan ketujuh komisioner KPU.
Di sisi lain, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan para penggiat pemilu selalu mengawasi kinerja penyelenggara pemilu. Jika ada kesalahan, mereka (Bawaslu dan penggiat pemilu) tak segan-segan untuk berteriak baik langsung ke KPU ataupun ke publik. Dampaknya pilkada serentak pertama yang pemungutan suaranya pada Desember 2015, akan dihantui oleh para golongan putih yang keritis dan diam. []
AHMAD HALIM
Peneliti di Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jakarta