November 15, 2024

Inklusivitas Pemilu untuk Keterwakilan Perempuan

Berdasarkan hasil penetapan perolehan kursi dan calon terpilih yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Keputusan KPU No. 416/Kpts/KPU/Tahun 2014 pada 14 Mei 2014, tercatat 97 calon anggota legislatif (caleg) perempuan terpilih dari total 560 kursi DPR RI yang tersedia. Dalam persentase, berarti ada 17,32% caleg perempuan terpilih melalui Pemilu Legislatif 9 April 2014 lalu. Angka tersebut mengalami penurunan dibanding Pemilu 2009 yang berhasil mengantarkan 103 caleg perempuan terpilih ke DPR RI atau sejumlah 18,39%.

Hasil tersebut tentu berbanding terbalik dengan persentase pencalonan caleg perempuan yang mengalami kenaikan cukup signifikan pada Pemilu 2014. Jika pada Pemilu Legislatif 2009 calon perempuan hanya berkisar pada 33,6%, Pemilu 2014 mencatat 37% lebih caleg perempuan dicalonkan untuk kursi DPR RI.

Hal itu tak lepas dari upaya dan komitmen KPU melalui Peraturan KPU No. 7 Tahun 2013 untuk memperkuat pengaturan pencalonan sekurangnya 30% keterwakilan perempuan pada setiap daerah pemilihan (dapil). Syarat persentase sekurangnya 30% keterwakilan perempuan dalam proses pencalonan anggota DPR dan DPRD oleh partai politik (parpol), disertai dengan ancaman tegas pencoretan parpol sebagai peserta pemilu di dapil yang tak memenuhi syarat keterwakilan perempuan 30%.[1]

Merespon hal itu, beberapa pihak beranggapan bahwa turunnya persentase keterwakilan perempuan di DPR RI terutama disebabkan oleh tingginya persaingan antar caleg, baik caleg antarpartai maupun internalpartai pengusung. Caleg perempuan harus bersaing secara bebas (tanpa afirmasi) untuk memastikan parpolnya memperoleh kursi dan juga sekaligus untuk memastikan dia mendapatkan suara terbanyak dalam parpol yang mengusungnya. Caleg perempuan seperti halnya juga kandidat laki-laki, benar-benar berhadapan dengan “mekanisme pasar bebas” dalam kompetisi memperebutkan kursi menuju parlemen.

Hal ini harus diakui tak lepas dari sistem pemilu yang digunakan dalam Pemilu Legislatif lalu. Keberlakuan sistem proporsional (daftar terbuka) suara terbanyak sejatinya sudah diberlakukan sejak Pemilu Legislatif 2009. Namun, pada Pemilu Legislatif 2009 sendiri, sistem ini baru “diintrodusir” Mahkamah Konstitusi (MK) pada bulan Desember 2008, atau kurang dari 4 (empat) bulan jelang Pemilu Legislatif 9 April 2009. Caleg juga masyarakat (pada saat itu) masih terkaget-kaget dengan sistem tersebut, atau bisa dikatakan belum terlalu siap dan familiar dengan adanya konsep suara terbanyak.[2]

Pada Pemilu 2014 justeru sebaliknya, caleg dan masyarakat sudah belajar dari pemilu sebelumnya. Sistem proporsional daftar terbuka suara terbanyak sudah sejak awal diperkenalkan dan diberlakukan sebagai aturan main dalam perebutan kursi legislatif 2014. Pengaturannya eksplisit disebut dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Dengan sistem ini, maka konsekwensi logisnya, caleg akan lebih “agresif” dalam mendekati pemilih dan juga membangun popularitas demi keterpilihan dalam pemilu. Ditambah lagi jadwal kampanye yang panjang membuat kompetisi antarcaleg (satu atau beda partai) berjalan lama dan makin intens. Artinya modal yang dikeluarkan juga akan semakin besar.

Fenomena ketatnya kompetisi antar caleg sayangnya tetap tidak diantisipasi secara optimal oleh partai. Alih-alih memberikan proteksi dan aturan main yang fair dan kompetitif, partai cenderung membiarkan kompetisi antar calegnya berlangsung bebas. Sehingga kampanye betul-betul menjadi battle groundatau arena tempur habis-habisan bagi para caleg. Dalam pemantauan yang dilakukan Perludem, belum dijumpai asistensi secara maksimal yang dilakukan parpol untuk mendampingi caleg perempuan yang secara pendanaan dan juga etika politik, harus diakui tak “sekaya” dan “seganas” caleg laki-laki.

Pencalonan dengan prasyarat keterwakilan perempuan sekurangnya 30% bisa dikatakan berhenti hanya sampai di sana (pada pemenuhan formalitas batas pencalonan saja). Riset Perludem (2014) menyimpulkan salah satunya bahwa “…. di tingkat kabupaten/kota, partai politik sesungguhnya kesulitan memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan tersebut, karena mereka tidak memiliki kader perempuan yang mencukupi. Untuk memenuhi kekurangan kader perempuan tersebut, partai mencomot perempuan dari mana saja untuk dijadikan calon demi tercapainya ketentuan kuota 30% keterwakilan perempuan. Langkah asal comot ini merupakan dampak pertama dari ancaman sanksi yang tegas. Dampak lanjutannya, partai politik di tingkat kabupaten/kota mau tidak mau harus mempersiapkan kader-kader perempuan dengan baik, agar mereka bisa berkompetisi dalam pemilu mendatang.”[3]

Tidak banyak upaya sungguh-sungguh dan berarti yang dilakukan parpol untuk mengawal dan juga memastikan keterpilihan caleg perempuannya sampai ke parlemen. Penguatan kapasitas dan juga strategy building terhadap caleg-caleg perempuan lebih banyak dilakukan oleh gerakan di luar parpol ketimbang oleh internal parpol itu sendiri. Justeru gerakan di luar parpol yang bergairah untuk melakukan kerja-kerja penguatan kapasitas caleg perempuan.

Ini yang ditunjukkan misalnya oleh Puskapol UI, Koalisi Perempuan Indonesia, Solidaritas Perempuan, UNDP, Kemitraan, dan banyak organisasi lainnya. Jika ditimbang-timbang, apa yang dikerjakan organisasi di luar partai, akhirnya jauh lebih besar bobot dan intensitasnya ketimbang ikhtiar partai pengususng untuk para kader perempuannya.

Selain itu, banyaknya praktik politik transaksional yang terjadi juga menjadi hambatan tersendiri bagi caleg perempuan. Banyak caleg perempuan potensial namun tidak didukung dana maksimal harus berhadapan dengan caleg lain yang didukung modal kuat dan struktur politik yang tangguh di internal partai.

Sementara caleg perempuan identik dan selalu ditekankan untuk melakukan politik bersih, antipolitik uang, nontraksaksional, dan anticurang. Ini kemudian yang menjadi paradoks di lapangan, saat uang menjadi jalan pintas untuk menang, yang dibuktikan dengan maraknya kasus jual beli suara maupun suap menyuap baik pada pemilih, sesama caleg, maupun penyelenggara.

Perilaku pemilih juga belum maksimal dalam memilih caleg perempuan. Ditambah lagi banyaknya calon yang berkompetisi membuat sulit bagi pemilih untuk mengenali calon-calon di dapilnya. Untuk Dapil Banten 3 saja misalnya, ada kurang lebih 300 orang caleg yang harus dikenali pemilih, yang meliputi caleg DPR, caleg DPD, caleg DPRD provinsi, dan caleg DPRD kabupaten/kota.

Tak heran dalam beberapa kasus, pemilih bahkan tak menyadari bahwa surat suara yang mereka gunakan adalah surat suara yang tertukar dan bukan surat suara untuk dapilnya. Sederhana saja, mereka tak mengenali siapa calonnya, apalagi untuk teliti memeriksa surat suara mereka apakah sesuai dapil atau tidak. Sehingga tak mengherankan jika pemilih merasa lebih mudah untuk memilih caleg pada nomor urut atas.

Meski ada kenaikan persentase perempuan di nomor urut atas, namun riset Perludem membuktikan bahwa perempuan masih dominan dicalonkan pada nomor urut 3, 5, dan 6. Hasil Pemilu 2014 juga menggambarkan bahwa mayoritas caleg terpilih untuk DPR RI berada pada nomor urut kecil 1 dan 2.

Dari 97 orang caleg perempuan yang terpilih pada Pemilu Legislatif 2014 lalu, 46 orang diantaranya berada pada nomor urut 1, 21 orang pada nomor urut 2, dan 15 orang pada nomor urut 3. Ini sama dengan 84,5% caleg perempuan terpilih adalah caleg yang berada pada nomor urut atas atau nomor urut kecil. Hanya ada 2 orang caleg perempuan yang terpilih meskipun diletakkan pada nomor urut 9.

Beberapa faktor di atas hanyalah sedikit saja dari penyebab belum maksimalnya keterwakilan dan keterlibatan perempuan dalam ranah politik di Indonesia. Intervensi pasal dan pasar yang belum mampu berkontribusi optimal bagi kiprah perempuan di bidang politik menyisakan pekerjaan rumah besar bagi banyak pihak. []

TITI ANGGRAINI
Direktur Eksekutif Perludem


[1] Lihat lebih lanjut Pasal 24 ayat (1) huruf c dan Pasal 27 ayat (2) huruf b Peraturan KPU No. 7 Tahun 2013 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Untuk pertama kali dalam sejarah pemilu Indonesia, syarat pencalonan sekurangnya 30% keterwakilan perempuan ini diterapkan berbasis dapil. Sebelumnya pada Pemilu Legislatif 2009, KPU menerapkan keberlakuannya dalam skala nasional, tidak berdasar dapil per dapil.

[2] Penentuan calon terpilih melalui suara terbanyak ini termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-VI/2008 yang dimohonkan oleh Muhammad Sholeh, dkk.

[3] Pencomotan Perempuan untuk Daftar Calon: Rekrutmen Calon Anggota DPRD Kabupaten/Kota untuk Memenuhi Kuota 30% Perempuan dalam Pemilu 2014, Lia Wulandari, Khoirunnisa Agustyati, dkk, Perludem, 2013, hal. 64.