December 7, 2024

Karpet Merah Keterwakilan Politik Bernama Patriarki

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Muhammad dalam sambutan peluncuran buku “Materi Pelatihan Kepemimpinan Perempuan dalam Kepemiluan 2014” (19/11) membandingkan pemilu Indonesia dengan pemilu Amerika Serikat. Salah satu perbedaannya menurut Muhammad adalah tak ada “karpet merah” bagi perempuan di pemilu Amerika Serikat.

“Saat saya berkunjung dan menyaksikan pemilu Amerika Serikat, isu perempuan adalah salah satu hal yang kami diskusikan. Dan ternyata di Amerika tak ada Karpet Merah seperti di pemilu Indonesia,” kata lelaki yang namanya sama dengan manusia paling berpengaruh di dunia (The 100) menurut Michel Hart itu.

Pernyataan Muhammad sebetulnya sudah dibantah (baca: ditegur) dengan baik oleh wakil direktur Pusat Kajian Ilmu Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Anna Margret. Peraih Master of Science in Gender and International Relations ini mengingatkan, Kuota 30 persen dalam pencalonan setiap dapil dalam sistem proporsional daftar terbuka berdasar upaya panjang gerakan perempuan dan berkonteks pengalaman korban dan keadaaan timpang perempuan terhadap lelaki.

Karpet merah patriarki

Jika Muhammad paham pentingnya afirmasi perempuan harusnya berpemahaman, justru kenapa adanya penguatan posisi perempuan di pemilu karena selama ini lelaki mendapat karpet merah patriarki. Mengutip penjelasannya Anna (19/11), bayangkan ada dua orang melompati tembok. Yang satu, titik acuan lompatnya datar. Yang satunya, titik acuannya di lembah. Titik acuan datar adalah karpet merah patriarki yang merupakan keistimewaan posisi lelaki di ruang publik.

Yayasan Jurnal Perempuan melalui video “Cita-cita” justru menilai “karpet merah” Muhammad sebagai logika yang terbalik. Video salah satu finalis kompetisi kampanye se-Asia Pasifik ini menarasikan sejumlah siswa sekolah dasar yang menyebutkan cita-citanya, ingin menjadi pilot, presiden, dan astronot. Saat siswa perempuan ditanya guru perempuannya, si anak menjawab, “ingin menjadi cowok!”.

Di negara (bahkan peradaban dunia yang) patriarki, tak ada yang mau menjadi perempuan. Dibandingkan menjadi perempuan, menjadi lelaki berarti mendapat karpet merah untuk berperan di ranah publik, termasuk berpolitik menjadi pejabat publik.

Muhammad bisa merefleksikan pengalaman dan karir dirinya. Jika Muhammad bukan lelaki, apakah bisa menjadi ketua dewan etik Front Pembela Islam Sulawesi Selatan? Jika Muhammad bukan lelaki, apakah bisa menjadi ketua Bawaslu RI? Kita tahu di Pemilu 2009, anggota pengawas pemilu nasional, mayoritas perempuan berkualitas baik tapi ketuanya malah lelaki.

Puskapol UI melalui buku hasil penelitian berjudul “Paradoks Representasi Politik Perempuan” (2013) membuktikan betapa hebatnya karpet merah patriarki di pemilu. Caleg perempuan terpilih merupakan perempuan yang menjadi perpanjangan kuasa patriarki. Lebih banyak dari mereka merupakan istri dari petahana eksekutif di daerah, istri petahana legislator, atau istri dari elite partai.

Keadaan itu berlanjut pada hasil keterpilihan caleg perempuan di Pemilu 2014. Jumlah perempuan legislator 2014-2019 yang menurun kuantitas harus juga diterima dengan tak representatifnya terhadap agenda kebijakan kesetaraan gender yang nanti dihasilkan.

Meskipun Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang Pileg 2014 dan sejumlah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) lebih membuka pencalonan perempuan sehingga meningkat, perempuan hanya memperoleh 96 kursi dari 560 kursi di DPR RI. Berkurang 1 persen dari hasil Pileg 2009, 102 kursi. Jumlah yang makin sedikit ini merupakan sosok perempuan yang lebih banyak mewakili dinasti politik dan elite partai yang patriarkis.

Paradoksal keterwakilan perempuan itu bertambah gamblang dengan sosok Ratu Atut Chosiyah. Gubernur Banten ini terpilih di dua kali pilkada langsung 2006 dan 2011. Awalnya, koruptor tahanan penjara wanita Pondok Bambu ini terpilih menjadi wakil gubernur Banten (2002) melalui dinasti ayahnya, Chasan Sochib. Karpet merah patriarki yang korup menghantarkan Atut pada kepemimpinan politik publik.

Apa urusannya Muhammad merujuk Amerika Serikat sebagai standar? Filsafat pragmatis warga Amerika Serikat dengan sistem pemilu mayoritarian dan electoral vote (yang usang itu) jelas tak relevan dinilai dan dirujuk sebagai negara demokrasi keterwakilan, apalagi dalam hal gerakan perempuan. Semoga Muhammad tahu, negara yang katanya Super Power itu pernah melarang perempuan memilih di pemilu dengan alasan bervagina dan payudara. Tanpa gerakan perempuan, pemilu hanya untuk lelaki.

Jauh-jauh ke Amerika Serikat tampaknya yang didapat justru ngadatnya pikiran keadilan karena menguatnya patriarkisme. Ketimpangan gender adalah keadaan dan kesadaran yang mendunia. Pengarusutamaan gender di banyak bidang dengan beragam bentuknya pun menjadi keharusan untuk menciptakan peradaban yang lebih representatif gender. Semoga insiden “karpet merah” Muhammad makin menyetarakan kita, perempuan, lelaki, dan siapa pun. Di pemilu dan hasil dari pemilu. []

USEP HASAN SADIKIN