Pramoedya Ananta Toer menuliskan tutur Raden Ajeng Kartini yang jengah terhadap patriarki feodal. “Panggil aku Kartini saja!” Tegas Kartini menggugat adat. Cukup sebut “Kartini”, tanpa “Raden Ajeng” yang mendahului. Keluhuran gelar ningrat malah juga mengurung perempuan dari publik. Tak jauh beda dengan jelata. Domestifikasi bagi perempuan ibarat takdir pertumbuhan itu sendiri.
Cita kesetaraan untuk adil berelasi di ranah domestik dan publik terlalu maju saat Indonesia masih diraba Belanda. Kartini harus mau menikah muda dipoligami agar berkesempatan mendidik di ruang publik. Tragis, peran strategis itu harus berakhir karena pendarahan hebat Kartini saat melahirkan membuatnya mati muda.
Kini, setelah ratusan tahun berlalu, saat afirmasi perempuan melalui kuota minimal 30 persen dikritik, kita perlu merujuk keadaan dan pengalaman Kartini. Karena identitasnya “perempuan”, Kartini dipingit, tak boleh sekolah tinggi, diatur paksa gestur serta tuturnya, ditawar selayak barang dagang, dipoligami, dan mati karena medis tak pahami tubuh Kartini.
Lalu tariklah keadaan dan pengalaman Kartini itu kepada kaum perempuan saat ini. Ternyata, masih banyak perempuan yang berkeadaan dan berpengalaman seperti Kartini. Gelap belum habis untuk menuju pencerahan yang terang.
Afirmasi perempuan
Kartini yang lahir 21 April 1879 suka menghabiskan waktu untuk membaca, salah satunya tentang pergerakan perempuan Eropa. Karena ingin tahu lebih banyak, Kartini pada usia 12 tahun berkorespondensi dengan feminis di Belanda. Melalui iklan penawaran sahabat pena majalah “Hollandsche Lelieâ€, Kartini berteman dengan Stella, anggota militan pergerakan feminis di Belanda yang terhubung dengan SDAP (Partai Sosialis Belanda) di Tweede Kamer (Parlemen).
“Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput. Bila berjalan agak cepat, dicaci orang, disebut kuda liar.
…Peduli apa aku dengan segala tata cara itu, segala peraturan, semua itu bikinan manusia, dan menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu.
Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini dan Kardinah) tidak ada cara lagi. Perasaan kami sendiri yang akan menentukan sampai batas-batas mana cara liberal boleh dijalankan.â€
(Surat kepada Stella, 18 Agustus 1899)
Abad ke-19 merupakan masa awal feminisme terlibat di pemilu. Sebelumnya, perempuan tak dilibatkan sama sekali dalam pemilihan pemerintahan berkala. Pergerakan perempuan di Eropa dan Amerika Serikat dimulai dengan memperjuangkan hak perempuan dalam bentuk hak pilih di pemilu. Lalu berkembang menuntut keterwakilan perempuan di parlemen melalui pencalonan di pemilu.
Pentingnya tubuh perempuan hadir di ruang publik pun menjadi perjuangan Kartini. Kuatnya permintaan Kartini terhadap keluarganya untuk bisa mendidik di sekolah berdasar dari pemahaman, perempuan yang paling memahami kebutuhan tubuh dan peran sosial.
“Mohon dengan sangat supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak perempuan, bukanlah karena kami hendak menjadikan perempuan menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidup ini. Kami hendak menjadikan perempuan menjadi lebih cakap dalam melakukan tugas besar yang diletakan oleh Ibu Alam sendiri ke dalam tangannya agar menjadi ibu –pendidik umat manusia yang utama!â€
(Surat kepada Prof. G.K. Anton dan Nyonya, 4 Oktober, 1902)
Kartini akhirnya bisa mendidik di sekolah. Tapi peliknya itu didapat dengan syarat harus menikah sebagai istri keempat Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Sebagian feminis menilai ini bentuk abadinya budaya patriah, sebagian lagi menilai Kartini telah “kalahâ€.
Capaian afirmasi
Masih gelapnya permasalahan kaum perempuan disimpulkan aktivis hak perempuan karena disebabkan kebijakan berupa aturan dan anggaran yang belum berpihak terhadap perempuan beserta minimnya keterlibatan perempuan dalam kebijakan. Angka kematian bayi lahir dan ibu yang melahirkan masih tinggi. Kekerasan (termasuk pelecehan) terhadap perempuan masih kuat. Suplai gizi dan pelayanan kesehatan masih rendah. Jaminan pendidikan terhadap perempuan belum sama dengan lelaki.
Verdhi Adhanta pada Jurnal Perempuan 46 melaporkan telaah referensinya (Community Agency of Social Enquiry, Debbie Budlender), eksistensi perempuan menyertai perspektif feminisme menghasilkan kebijakan yang sensitif gender. Pada tahun 1984, Australia menjadi negara pertama yang menerapkan audit gender terhadap anggaran nasionalnya yang dilakukan feminis dari partai buruh. Pada 1997 sampai 2000, di Kanada, Bangladesh, Brasil dan Vietnam, organisasi perempuan yang terhubung dengan partai politik bisa mendorong aturan dan anggaran sensitif gender yang diintegrasikan pada semua kebijakan.
Di Indonesia kebijakan yang mendukung keadilan perempuan dihasilkan anggota dewan perempuan berperspektif feminis. Parlemen 2004-2009 membuktikan sistem Pemilu 2004 yang semi terbuka dengan memprioritaskan caleg perempuan berkualitas, menghasilkan undang-undang KDRT, antitrafiking, pembelaan buruh migran, perlindungan saksi/korban, juga status kewarganegaraan perempuan dan anak.
Parlemen untuk 2009-2014 hasil pemilu 2009 disimpulkan lebih sebagai euforia kenaikan jumlah legislator. Pusat Kajian Ilmu Politik (Puskapol) Universitas Indonesia menilai, capaian kuantitas masih menyisakan banyak persoalan dan tantangan. Masih tingginya angka korban KDRT, kematian ibu dan anak, perdagangan perempuan dan anak, dan perempuan buta huruf merupakan bentuk nyata yang harus dijadikan dasar agenda perjuangan politik perempuan.
Pengalaman proses pemerintahan tersebut menyimpulkan, menghasilkan aturan dan anggaran sensitif gender dilakukan dengan meningkatkan kuota perempuan di kepengurusan partai dan pencalonan legislator di pemilu menyertai keterhubungan antara aktivis perempuan di masyarakat dengan parlemen. Keterwakilan dan format relasi elite-rakyat ini yang mendorong parlemen melakukan fungsi pembuatan undang-undang, anggaran dan pengawasan menyertai keberpihakan terhadap kaum perempuan.
Puskapol UI melalui hasil riset juga menemukan fakta daerah yang jumlah legislator perempuannya di atas rata-rata DPRD se-Indonesia (16%) seperti Jakarta 23% (22/94), Jawa Barat 25% (25/100) dan Banten 18% (16/85), tapi permasalahan perempuan di tiga daerah tersebut malah relatif lebih banyak dibanding daerah lain.
Kontradiksi itu bukan berarti kita menilai perempuan tak layak menjadi legislator. Kesimpulannya, permasalahan perempuan ternyata tak cukup dijawab dengan mendudukan perempuan di parlemen. Harus ditambah kuantitas dan kualitas. Faktanya, dewan perwakilan rakyat yang bias gender, seksis, elitis, korup, miskin ideologi dan rendah empatik pada rakyat itu selalu dikuasai laki-laki.
Itulah dampak akut patriarki yang tertanam kuat di masyarakat. Menembus hingga dinding parlemen, patriarki tak hanya menjadikan lelaki menilai wajar ketidaksetaraan tapi juga membuat perempuan sukar memahami diskriminasi yang dialami.
Melalui afirmasi di pemilu, kesetaraan untuk keadilan coba terus diperjuangkan. Perempuan harus menentukan, kuat sebenar-benarnya setara atau siap dinilai “kalah†oleh sebagian kaum perempuan, layaknya Kartini yang dipoligami. []
USEP HASAN SADIKIN