November 11, 2024

Ketidakpahaman Pemohon Persulit MK Tangani Sengketa

ilustrasi-september-02Banyak pemohon sengketa di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang tidak benar-benar memahami ketentuan pengajuan sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK). Akibatnya,  MK sulit menangani kasus. Pada Pilkada Serentak tahap kedua yang akan dilangsungkan pada 2017, MK berharap masyarakat memahami ketentuan pengajuan dan menyertai kelengkapan bukti yang dicantumkan dalam laporan yang dikirimkan.
“MK ini seperti bukan mahkamah konstitusi, tapi mahkamah keranjang, karena sengketa pemilu apa saja dikirimkan ke MK. Di Pilkada 2015 kemarin mayoritas pemohon tidak menyertakan kelengkapan bukti. Tolong pahami ketentuan sebelum mengajukan ke MK. Kelengkapan bukti yang dicantumkan di laporan akan mempermudah kerja kami,” kata Staf Ahli Ketua MK, Pan Mohamad Faiz, pada acara diskusi “Pilkada Lancar Demokrasi Bersinar”, di Jakarta Selatan (19/10).
Mohamad menerangkan pentingnya memahami obyek sengketa dan para pihak yang akan dituliskan dalam laporan. Ada tiga pihak dalam sengketa yang dijelaskan. Pertama, pemohon. “Pemohon adalah pasangan calon (paslon) gubernur/wakil gubernur, paslon bupati/wakil bupati, atau paslon wali kota/wakil wali kota. Sementara untuk kasus paslon tunggal, yang berhak mengajukan permohonan adalah pemantau pemilihan yang terakreditasi.”
Kedua, termohon. Ada tiga pihak termohon, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU)/Komisi Independen Pemilihan (KIP) Provinsi, KPU/KIP Kabupaten, atau KPU/KIP Kota.
Ketiga, pihak terkait, yakni peserta pemilihan yang memperoleh suara terbanyak atau suara setuju. “Pihak terkait berkepentingan langsung terhadap permohonan pemohon. Umumnya, paslon yang menang akan dirugikan jika keputusan MK menggagalkan kemenangannya,” jelas Mohammad.
Pada Pilkada 2015 silam, MK mengabulkan 5 permohonan dan menolak 135 permohonan sengketa lainnya. Akan tetapi, tidak semua permohonan yang dikabulkan mengubah kemenangan paslon yang dicantumkan sebagai pihak terkait. [Amalia]