November 15, 2024

KHOIRUNNISA NUR AGUSTYATI | Estafet Asa Aktivisme Pemilu

Bayang-bayang sosok biasa hadir membandingkan, yang sebelum dengan yang selanjutnya. Ini pun terjadi bagi aktivis pemilu, Khoirunnisa Nur Agustyati. Menjadi ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) untuk kepengurusan 2020 ke depan, perempuan kelahiran Palembang 24 Agustus 1987 ini cenderung dibandingkan dengan nama Titi Anggraini. “Inget pemilu, inget Titi. Inget Titi, inget Perludem,” simpul penulis pemilu, Harun Husein. Pengetahuan dan pengalaman antar kita mengenai aktivisme pemilu Indonesia akan jernih menggambarkannya.

Khoirunnisa tak ujug-ujug memimpin Perludem. “Ninis” sebagai panggilannya pun tak dikaitkan-kaitkan dengan nama pendek berulang seperti “Titi” atau “Didik”. Sebelum di Perludem, ia merupakan peneliti di lembaga pemilu dengan nama besar, Center for Electoral Reform (Cetro) yang dipimpin begawan pemilu, Hadar Nafis Gumay dan sebelumnya Smita Notosusanto. “Gimana Nis, pandanganmu sebagai eks Cetro?” tanya Didik Supriyanto mengajaknya menulis di konteks Pilkada DKI Jakarta 2012 dan persiapan Pemilu 2014.

Ninis yang berlatarbelakang peneliti Perludem dan eks Cetro sekaligus ini punya mekanisme yang langka mengklarifikasi perdebatan isu pemilu, khususnya sistem pemilu. Kita tahu begitu seru argumen beradu antara Didik (Perludem) dengan Hadar (Cetro) mengenai sistem proporsional tertutup vs terbuka yang terkadang sentimentil. Interaksi dan pengalaman simulasi sistem pemilu yang dilalui Ninis bersama Hadar di Cetro dan Didik di Perludem menghasilkan penjelasan sistem pemilu yang berimbang mengenai buka/tutup sistem proporsional.

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti punya penekanan kuat bahwa penting memahami pemilu dari sistem pemilu dan konsekuensinya. Ninis ada dalam kesadaran yang disinggung Sang Profesor. Penjelasan sistem pemilu yang mistis dari Pipit Kartawidjaja menjadi manis jika disampaikan oleh Ninis. Beberapa pegiat pemilu merasa beruntung awal perjumpaannya dengan pemilu dimulai dari penjelasan sistem pemilu dari Ninis.

Hasrat Ninis pada sistem pemilu disertakannya dalam mengadvokasi pemilu Indonesia, khususnya dalam soal tata kelola pemilu. Pengingatan Titi dan Didik mengenai manajemen pemilu coba disikapi Ninis sebagai amanah. Pemilu Indonesia begitu besar dan kompleks dengan aktor penyelenggara pemilu yang amat banyak tapi belum menghias angkasa. Keadaan besar, kompleks, dan banyak jadi kesimpulan pemilu Indonesia yang juga kekurangan orang yang menekuni manajemen pemilu.

Kajian kepemiluan yang cenderung disederhanakan, jika bukan disepelekan, dengan pernyataan “ah, teknis!” ini sesekali dirasa sebagai jalan sepi bagi Ninis. Dalam keramaian pesta demokrasi, riuh pawai, juga guyuran uang kampanye dan survei, kadang membuat Ninis lirih mencurahkan hati tentang para pihak yang bisa menyepelekan rekomendasi perbaikan pemilu berdasarkan simulasi panjang, penelitian, dan studi perbandingan.

Komitmen Ninis terhadap kepemiluan ia kuatkan dengan menempuh kuliah jenjang S2 Ilmu Politik di Universias Indonesia. Mengingat kemampuannya berbahasa Inggris, kita bertanya padanya mengapa tak melanjutkan studi di luar negeri seperti rekannya di Perludem, Lia Wulandari? Kompleksitas Khoirunnisa sebagai anak perempuan , istri, dan ibu sekaligus bisa membuat kita cepat mengerti mengenai pilihan bebas yang terbatas. Dengan kesabaran panjang, lulusan Sosiologi UI ini bisa meraih gelar masternya menyertakan proses hamil, melahirkan, eksklusif menyusui, dan menumbuhkan bayi.

Tesis Ninis melalui bimbingan akademisi ilmu politik Universitas Indonesia dan komisioner KPU Pemilu 2004, Chusnul Mar’iyah menambah kuat keterlibatannya di pemilu. “Strategi Partai Politik dalam Memenuhi Kebijakan Afirmasi Pemilu 2014: Studi Kasus PKS dan PPP” (2017) sebagai tesis yang dipublikasikan Perludem menambah banyak artikel jurnal dan buku karya ibu dari Aishani Meutia Azzahra dan Kemal Rasyid Fachruddin ini. Sebelumnya ada “Syarat Kepesertaan Peserta Pemilu” (2016); “Menata Ulang Mekanisme Pendaftaran Pemilih Pilkada” (2016); “Pencomotan Perempuan untuk Daftar Calon” (2013) bersama Lia Wulandari; “Menata Ulang Jadwal Pilkada” (2013) bersama Didik Supriyanto dan August Mellaz; “Menetapkan Arena Perebutan Kursi DPRD” (2013) bersama Lia Wulandari; “Keserentakan Pemilu: Pelaksanaan Pemilukada Menuju Pemilu Nasional” (2013) bersama August Mellaz; dan “Membunuh Demokrasi Lokal” (2012) bersama sang suami, Reza Syawawi.

Pendalaman ilmu politik Ninis seiring dengan penguatan keberpihakannya terhadap perempuan. Bersama Dian Kartikasari, Sri Budi Eko Wardani, Wahidah Suaib Wittoeng, Yuda Irlang, dan nama lainnya Ninis terus berkomitmen pada peningkatan keterwakilan perempuan berdemokrasi. Pelibatannya oleh gerakan muda Women’s March dan Jakarta Feminist tanda keberlanjutan terhubungnya gerakan perempuan dengan pemilu. Ini semua seperti panggilan Ninis dari makna perempuan dalam namanya, “Khoirun-Nisa”.

Estafet kepemimpinan Perludem dipercayakan kepada Ninis. Minimal ada dua tantangan sekaligus harapan baginya. Pertama, sebagaimana tantangan kepemimpinan baru lainnya, setidaknya Ninis mempertahankan capaian Perludem kepemimpinan Titi yang mengadvokasi pemilu nasional dan kini menjajaki tingkat regional. Kedua, bagaimana aktivisme pemilu kembali dilanjutkan bersama jejaring masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lainnya dalam proses panjang perbaikan pemilu sebagai satu-satunya jalan kekuasaan demokrasi. []

USEP HASAN SADIKIN