Adanya putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 mengenai pemilu legislatif dan eksekutif dilakasanakan secara bersamaan pada 2019, semakin menguatkan pentingnya kodifikasi UU pemilu. Dalam sudut pandang hukum, Anke Freckmann dan Thomas Wegerich (1999) menjelaskan kodifikasi sebagai ide untuk menstrukturkan hukum-hukum yang ada dan menampilkan sebagai suatu yang utuh dalam satu perangkat undang-undang.
Dengan kata lain, kodifikasi UU pemilu merupakan suatu cara untuk menstrukturkan berbagai kontradiksi dari UU pemilu yang ada. Tujuannya agar penyelenggaran pemilu lebih efektif dan efisien, serta kembali menata sistem pemilu yang mampu menciptakan sistem pemerintahan presidensial yang efektif.
Selama ini pemilu di Indonesia diatur kedalam empat UU. Adapun keempat UU itu adalah: UU No. 42/2008 untuk pemilu presiden dan wakil presiden, UU No. 8/2012 untuk pemilu anggota legislatif, serta UU No. 8/2015 mengenai pemilihan kepala daerah, dan terakhir undang-undang yang mengatur penyelenggara pemilu UU No. 15/2011.
Keempat pengaturan pemilu yang berbeda itu menimbulkan dua persoalan mendasar pada dua dimensi yang berbeda. Pertama, dimensi proses pemilu berkaitan dengan pelaksanaan tahapan pemilu. Kedua, dimensi hasil pemilu terkait dengan pemerintahan produk pemilu.
Pertama, persoalan pada dimensi proses pemilu terletak pada standar pengaturan yang berbeda antara pemilu legislatif dan eksekutif. Sebagai contoh, pada pemilu presiden rekapitulasi suara ditingkat desa/kelurahan ditiadakan, sedangkan dalam UU No. 15/2011 dan UU No. 8/2012 mengharuskan penyelenggara pemilu untuk melakukan rekapitulasi di tingkat desa/kelurahan pada pemilu legislatif. Meski keduanya memiliki sistem pemilu dan pejabat politik yang dipilih berbeda.
Tetapi apa yang membedakan keduanya dalam proses rekapitulasi suara ?. Padahal, jika belajar dari pemilu sebalumnya keberadaan rekapitulasi suara di desa/kelurahan cenderung membuat proses rekapitulasi menjadi lebih panjang dan tidak efisien. Belim lagi menambah beban biaya penyelenggaran, serta membuka ruang praktek manipulasi suara pada proses rekapitulasi.
Kedua, persoalan pada dimensi hasil pemilu ialah ke tidak mampuan kerangka regulasi mengatur sistem pemilu yang ada untuk menghasilkan pemerintahan presidensil yang efektif. Sejauh ini disain sistem pemilu legislatif selalu menghasilkan tingginya fragmantasi politik di parlemen dengan rendahnya dukungan DPR terhadap presiden di tengah sistem pemerintahan presidensial yang kita anut. Sehingga konflik antara legislatif dan eksekutif dalam formulasi kebijakan tidak dapat dihindarkan.
Secara lebih spesifik, variabel teknis sistem pemilu yang mempengaruhi proses konversi suara menjadi kursi tidak mampu mendorong sistem multipartai sederhana di parlemen. Seperti besaran alokasi kursi parlemen 3-10 kursi perdaerah pemilihan yang masih mengkondisikan tingginya jumlah partai politik di parlemen, dengan nilai indeks efective number of parliamentary parties (ENPP) sebesar 8.2 dan cenderung tidak efektif.
ENPP merupakan konsep yang dikemukan oleh Satori (1976) untuk mengukur sejauh mana efektifitas perlemen dengen logika bekerja, semakin besar nilai ENPP semakin tinggi fragmantasi dan semakin rendah efektifitas kerja parlemen. Sedangkan semakin rendah nilai ENPP semakin rendah pula tingkat fragmantasi dan semakin efektif kinerja parlemen.
Persoalan lain yang muncul dari dimensi hasil pemilu ini ialah, keterputusan hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah. Dalam hal ini partai politik pemenang pemilu presiden tidak mampu meraih dukungan dari pemerintah lokal dalam mengimplementasikan kebijakan, karena partai politik pemenang di daerah berbeda dengan partai politik presiden. Hal ini dilatarbelakangi oleh tidak adanya penyesuaian jadwal antara pemilu lokal dengan pemilu nasional.
Mengokohkan Fondasi
Ditengah dua persoalan tersebut, adanya pemilu presiden dan DPR pada waktu yang bersamaan di tahun 2019, sudah sepatutnya dijadikan sebagai momentum untuk melakukan kodifikasi UU pemilu dalam rangka konsolidasi demokrasi Indonesia kedepan. Hal ini karena kodifikasi UU pemilu tidak hanya menyatukan berbagai UU kedalam satu naskah saja, tetapi kembali menyesuaikan dan mengkaji ulang UU pemilu yang ada dari level teknis sampai dengan substansi.
Terdapat dua manfaat besar yang dapat diambil dari kodifikasi UU pemilu: Pertama, dari segi teknis keberadaan kodifikasi UU pemilu menjadi sumber regulasi utama dapat mempermudah kerja-kerja penyelenggara pemilu. Dalam hal ini para penyelenggara pemilu tidak lagi dibingungkan dengan bercecerannya pengaturan pemilu antara satu dan lainnya yang dapat menimbulkan multitafsir.
Selain itu, kodifikasi UU pemilu dapat meminimalisir tradisi lima tahunan sekali untuk merevisi UU pemilu yang dalam proses pengesahannya berdeketan dengan tahapan pemliu. Sehingga membuat penyelenggara pemilu perlu bekerja kerja keras menyusun pedoman teknis yang diterjemahkan dalam peraturan KPU atau Bawaslu. Dengan kata lain, kodifikasi UU pemilu membuat para penyelenggara pemilu untuk mempersiapakan penyelenggaran pemilu yang lebih matang.
Kedua, dari segi substansi karena sistem pemilu tidak hanya sebatas mengkonversi suara pemilih menjadi kursi. Melainkan, sistem pemilu berkorelasi secara langsung dengan sistem kepartaian dan sistem pemerintahan yang tentunya berdampak pada stabilitas politik yang kemudian dikenal dengan Duverger’s Law.
Untuk itu kodifikasi UU pemilu dapat dijadikan sebagai political engeneering untuk menyelesaikan persoalan klasik antara sistem kepartaian ekstrim yang menyababkan tingginya fragmantasi politik, dengan sistem pemerintahan presidensil sebagai single chief executive. Salah satu caranya ialah dengan merubah variabel-variebl teknis dalam sistem pemilu seperti besaran alokasi kursi, ambang batas, formula penghitungan suara, sampai dengan pemisahan jadwal pemilu nasional dengan pemilu lokal.
Namun demikian, perlu digaris bawahi penegasan sistem presidensil bukan berarti menempatkan presiden memiliki kewenangan lebih layaknya otoritarianisme. Penegasan sistem presidensil maksudnya ialah untuk menciptakan pemerintahan efektif yang dilihat dari adanya mekanisme check and balances antara legislatif serta eksekutif.
Selain itu, penegasan presidensil untuk membentuk koalisi permanen antara partai pemerintah dengan partai opisisi untuk mewujudkan relasi yang berorientasi pada kebijakan publik. Bukan relasi yang saling menjatuhkan dan berujung pada deadlock. Dengan demikian, kodifikasi merupakan suatu keniscayaan menjelang pemilu 2019 dalam rangka konsolidasi demokrasi Indonesia kedepan. []
HEROIK M. PRATAMA
Peneliti Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem)