Ketentuan afirmasi perempuan dalam undang-undang pemilu penting ditambah. Capaian persentase perempuan di DPR hasil Pemilu 2019 memang tertinggi sepanjang sejarah pemilu Indonesia tapi masih belum mencapai persentase minimal 30%. Afirmasi perempuan pun jangan melupakan keterwakilan perempuan di DPRD provinsi dan kabupaten/kota pun.
“Memasukan ketentuan perempuan caleg pada nomor urut 1 di 30% daerah pemilihan salah satu bentuk tambahan afirmasi perempuan,” kata Deputi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati dalam diskusi “Peran Perempuan dalam Dunia Politik” yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum Bandung Barat secara online (17/7).
Nisa menjelaskan angka 30% merupakan angka minimal agar aspirasi perempuan menjadi undang-undang yang membutuhkan persetujuan lebih dari 50% anggota DPR. Hasil Pemilu 2019, jumlah perempuan di DPR meningkat di angka 20,52% (118/575) tapi masih perlu ditingkatkan melalui tambahan afirmasi.
Akademisi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Dede Kania menyarankan, bentuk afirmasinya penting dengan memperhatikan kata dalam pasal dan ayat undang-undang. Misal, kata “memperhatikan” untuk ketentuan 30% perempuan dalam panitia dan seleksi penyelenggara pemilu harus diubah dengan kata yang lebih tegas seperti “mewajibkan” yang jika tak dipenuhi menyertakan sanksi.
“Penggunakan kata yang afirmatif merupakan bentuk keberpihakan kita terhadap afirmasi perempuan. Ini seperti mengubah kata ‘right of man’ jadi ‘human rights’ atau ‘one man one vote’ jadi ‘one person one vote’. Dari perubahan ini, tergambar keberpihakannya,” kata Kania.
Anggota KPU Provinsi Jawa Barat, Idham Holik menjelaskan sikap penyelenggara pemilu yang mendukung afirmasi perempuan dalam melaksanakan undang-undang. Melalui pendidikan politik dan kampanye memilih, KPU menyampaikan pesan afirmasi perempuan dan kesetaraan gender.
“Keberpihakan terhadap perempuan ini merupakan sikap diskriminatif tapi diskriminatif positif dan dijamin undang-undang,” ujar Idham. []