Maret 19, 2024
iden

Menegaskan Kehadiran Perempuan di Parlemen

29 September 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Permohonan yang dikabulkan adalah soal keterwakilan perempuan dalam susunan pimpinan alat kelengkapan dewan. Mahkamah berpendapat pengarusutamaan gender dalam bidang politik telah menjadi agenda politik hukum Indonesia. Hal ini dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.

Sebelumnya, Pemilu DPR, DPD, dan DPRD (Legislatif) 2014 menghasilkan perempuan legislator terpilih berjumlah 97 dari 560 kursi di DPR untuk lima tahun ke depan. Jumlah ini masih jauh dari setara. Maka, “the politics of presence,” afirmasi keterwakilan perempuan di parlemen perlu dilanjutkan dengan menempatkannya pada posisi strategis, salah satunya posisi pimpinan alat kelengkapan dewan.

Perempuan, yang didorong oleh kebijakan afirmasi perempuan dalam pencalonan legislatif, menuai hasil yang kurang memuaskan di Pileg 2014 lalu. Ia hanya mampu mengisi 17, 32 persen kursi di DPR—97 dari 560 kursi. Jumlah kehadiran perempuan di DPR ini menurun dibandingkan periode 2009-2014 yang mencapai 18 persen dari total kursi di DPR. Perempuan caleg terpilih mencapai 103 orang.

Kondisi ini hendaknya tidak dimaknai sebagai ketakmampuan perempuan (bertarung dengan laki-laki) dalam kancah politik. Ani Soetjipto, aktivis perempuan dan akademisi Universitas Indonesia, menilai masih kentalnya diskriminasi perempuan di ruang-ruang publik yang jadi sebab utama. Akibatnya, ia tak memiliki basis sosial sekuat yang dimiliki laki-laki. Sistem pemilu proporsional daftar terbuka memungkinkan laki-laki, yang lebih punya kesempatan di ruang-ruang publik ini, dikenal luas dan meraih suara terbanyak.

Atas ruang-ruang yang tak setara itu, muncullah afirmasi keterwakilan perempuan. Afirmasi keterwakilan perempuan dalam politik adalah soal memberikan ruang yang setara dalam bidang tersebut. Anne Philips menyebut konsep “the politics of presence.” Ia menyarankan agar dilakukan genderisasi terhadap ruang pribadi, ruang domestik, dan ranah publik secara bersamaan. Tujuan politiknya adalah menciptakan bentuk pluralisme baru, termasuk pluralitas arena, peran, dan identitas politik perempuan.

Dalam pencalonan anggota legislatif, kesetaraan ruang laki-laki dan perempuan sebetulnya telah didorong. UU No. 8 Tahun 2012 memaksa partai untuk memberikan setidaknya 30 persen ruang pencalonan anggota legislatif bagi perempuan. PKPU No. 7 Tahun 2013 menegaskan, partai yang tidak memenuhi afirmasi 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar calon di suatu daerah pemilihan dinyatakan tidak bisa mengikuti pemilu di daerah pemilihan yang bersangkutan.

Di pemilu, UU dan PKPU itu telah mendorong ruang tanding politik yang setara antara laki-laki dan perempuan. Afirmasi keterwakilan perempuan dalam pencalonan ini telah berhasil dalam hal memberi ruang lebih luas bagi kesetaraan perempuan dengan laki-laki. Terbukti, persentase pencalonan berhasil naik, yakni 33, 6 persen pada Pemilu 2009 dan 37 persen pada Pemilu 2014.

Meskipun demikian, ternyata kehadiran caleg perempuan hasil Pemilu 2014 ini masih didominasi oleh hasil dari adopsi kebijakan afirmatif yang ditundukkan di bawah kuasa politik dan ekonomi para pejabat atau penguasa politik maupun elit ekonomi (Puskapol UI menyebutnya politik gender oligarki). Implementasi kebijakan afirmatif masih sangat terbatas pada pemenuhan syarat administratif agar partai dapat meloloskan diri untuk ikut dalam pemilu.

97 perempuan yang bisa masuk parlemen itu pun kemudian dijegal keterwakilannya di DPR. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) mengebiri ruang berpolitiknya. Hilangnya frasa dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut pertimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi di enam pasal UU MD3 menutup peluang perempuan untuk bisa memimpin alat kelengkapan dewan.

Enam pasal dalam UU MD3, menghilangkan klausul keterwakilan perempuan. Pasal-pasalnya adalah pasal 97 ayat (2) yang mengatur komposisi pimpinan komisi, pasal 104 ayat (2) terkait komposisi pimpinan badan legislasi, dan pasal 109 ayat (2) tentang komposisi pimpinan badan anggaran.

Selain itu, keterwakilan perempuan juga dihapus dalam pasal 115 ayat (2) tentang komposisi pimpinan Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), pasal 121 ayat (2) tentang mahkamah kehormatan dewan, pasal 152 ayat (2) terkait komposisi pimpinan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), dan pasal 158 ayat (2) tentang pimpinan panitia khusus.

Dalam sidang perdana permohonan Perludem pada MK untuk melakukan judicial review UU MD3 atas hilangnya frasa memperhatikan keterwakilan perempuan itu, Kamis (28/8), hakim Ahmad Fadlil Sumadi menyebut argumen permohonan perlu berangkat dari konstitusi, UUD 1945. Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 menjamin setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama, guna mencapai persamaan dan keadilan. Ia menanyakan, apakah hak perempuan, seperti tersirat dalam UUD itu, masih terdiskriminasi?

Pada praktiknya, hak konstitusional itu memang dinafikan. Perempuan, di DPR masa kepengurusan 2009—2014, tak ada yang jadi pimpinan DPR. Komposisi perempuan dalam anggota alat kelengkapan juga masih timpang. Di Badan Anggaran, ada 87 anggota laki-laki dan 7 perempuan. Di Badan Legislasi, komposisinya 43 laki-laki dan 7 perempuan.

Badan Urusan Rumah Tangga terdiri atas 42 anggota laki-laki dan 11 perempuan. Badan Kehormatan terdiri atas 11 anggota laki-laki saja. Badan Kerja Sama Antar Parlemen terdiri atas 36 anggota laki-laki dan 14 perempuan. Sementara Badan Akuntabilitas Keuangan Negara komposisinya 8 orang laki-laki dan 2 orang perempuan.

Posisi perempuan di komisi, yang berhubungan langsung dengan pembuatan kebijakan di berbagai bidang, juga timpang. Perempuan legislator lebih banyak ditempatkan pada bidang-bidang yang terstereotip dekat dengan perempuan, yaitu komisi VIII (Agama dan Sosial), IX (Tenaga Kerja), dan X (Pendidikan). Komposisi perempuan di komisi itu berturut-turut adalah 29,5%, 40,8%, dan 21,2% dari total anggota masing-masing komisi.

Dua dari komisi ini dipimpin oleh perempuan, Ida Fauziyah dari PKB memimpin komisi VIII dan Ribka TJiptaning dari PDIP memimpin komisi IX. Sementara di komisi lain, komposisi perempuan menempati kisaran 5,8 % (Komisi III/ Hukum) hingga 19 % (Komisi II/ Pemerintahan dalam negeri) dari total anggota masing-masing komisi.

Oleh karena itu, dalam kondisi ini, perempuan masih memerlukan afirmasi keterwakilan di parlemen. Ia masih membutuhkan ruang berpolitik yang setara dan tentunya “the politics of presence.” Maka, menempatkannya pada posisi pimpinan alat kelengkapan dewan adalah bentuk afirmasi keterwakilan perempuan dalam jumlahnya yang tak setara di parlemen. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan tak menghapus frasa dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut pertimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

Dengan menjadi pimpinan alat kelengkapan, perempuan akan terlibat aktif dalam proses pembuatan keputusan, termasuk memberikan pertimbangan-pertimbangan yang mengedepankan kepentingan kaum perempuan. Ketika perempuan dan laki-laki dalam parlemen—ataupun dalam pemerintahan secara umum—dalam posisi yang setara, kepentingan perempuan (demikian juga dengan laki-laki) tidak akan banyak dipinggirkan.

Posisi pimpinan alat kelengkapan dewan strategis bagi perempuan untuk mengawal kepentingan. Dengan ada di pimpinan alat kelengkapan dewan, keterwakilan perempuan terjamin, apalagi pada saat voting dan pengambilan keputusan. Perempuan harus terwakili dalam posisi-posisi pengambil kebijakan di DPR.

Dalam membuat kebijakan, pimpinan hampir pasti harus hadir dan mengawal setiap pembahasan. Jika perempuan ada di posisi anggota, dengan kuantitasnya yang sedikit, ia dimungkinkan untuk dipindah-pindah membahas kebijakan lain yang jumlahnya banyak. Perempuan tidak akan bisa fokus dalam setiap pembahasan kebijakan.

Perempuan juga perlu ada di posisi pimpinan sebagai representasi kepentingan perempuan yang sering didorong organisasi masyarakat sipil. Nur Iman Soebono, dalam Jurnal Sosial Demokrasi (2009), menyatakan proses ini juga menyangkut upaya membangun basis sosial representasi politik perempuan, baik melalui lembaga-lembaga representasi politik formal maupun informal, termasuk partisipasi langsung (direct democracy).

Ada pengaitan ulang antara gerakan perempuan (sebagai bagian integral dari gerakan sosial), dengan aksi-aksi politik perempuan (yang merupakan bagian dari demokrasi representasi). Representasi politik yang diusung kalangan aktivis dan politisi perempuan setidaknya merepresentasikan tiga elemen penting, yakni mewakili pemilihnya (functional), partai politiknya (ideology), serta konstituen perempuan sebagai identitas (social). Perempuan dengan basis sosial yang menguat diharapkan dapat mendobrak politik gender oligarki di DPR.

Proses mensinergikan ketiganya dalam pengaitan ulang tindakan-tindakan politik dengan gerakan sosial perempuan, lanjut Nur Iman Soebono, merupakan tantangan yang harus dijawab kalangan perempuan di tengah-tengah kritik, keraguan, dan bahkan cibiran masyarakat (laki-laki pada umumnya) atas kemampuan dan keberdayaan mereka.

Tanpa mengecilkan kemampuan perempuan yang lolos karena oligarki politik dan ekonomi, dalam konteks ini, kepercayaan perlu ditaruh pada setidaknya enam perempuan berlatarbelakang aktivis yang lolos di parlemen. Tak hanya itu, dukungan juga perlu diberikan pada perempuan-perempuan kader partai yang punya perspektif gender. Mereka perlu terus didorong karena resiko isu dan kepentingan perempuan kemungkinan besar akan dikooptasi, tersubordinasi, dan bahkan masuk dalam daftar yang bukan prioritas dalam perdebatan di parlemen.

Tak mudah memang bagi perempuan legislator untuk hanya memfokuskan diri pada kepentingan perempuan. Walau bagaimana pun, mereka adalah pribadi independen yang memiliki pemikiran dan keinginan sendiri. Selain itu, mereka juga memainkan representasi ganda menjadi wakil partai yang harus mengakomodasi kepentingan partainya, menjadi wakil para konstituennya (baik laki-laki maupun perempuan), dan secara spesifik menjadi wakil para perempuan di luar parlemen karena kesamaan pengalaman dan kebutuhan.

Meskipun demikian, pertanyaan tentang keterwakilan substantif tentu harus diajukan secara terus menerus agar para anggota parlemen perempuan dapat benar-benar berkontribusi bagi perbaikan kehidupan masyarakat Indonesia dan perempuan secara khusus. Di sisi lain, perempuan mesti siap bagaimana memaksimalkan perannya sebagai legislator dalam fungsi memperjuangkan anggaran, regulasi, dan pengawasan. Tentu ini akan baik bagi pendidikan demokrasi dan politik ke depan. []

MAHARDDHIKA