Beberapa pekan terakhir publik nasional ramai disuguhi berita seputar polemik (menjurus konflik) antara dua institusi penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Konflik diawali dengan keluhan Bawaslu kepada media massa atas sikap tertutup KPU dalam memberikan akses pengawasan proses verifikasi parpol. Tudingan Bawaslu tersebut lantas dibantah KPU yang mengatakan sudah bersikap terbuka dan sama sekali tidak membatasi akses Bawaslu.
Konflik makin meruncing dengan dilaporkannya KPU kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) oleh Bawaslu. KPU dituduh melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Tuduhan yang tidak main-main, yang bisa berujung pada penjatuhan sanksi pemberhentian anggota KPU.
Bawaslu menuding KPU melanggar Kode Etik karena tiga alasan. Pertama soal pengunduran jadwal hasil verifikasi parpol dari jadwal yang semula sudah ditetapkan sehingga bawaslu menganggap pengumuman tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Kedua, soal teknologi sistem informasi partai politik (Sipol) yang digunakan KPU dalam verifikasi parpol yang dalam pelaksanaannya melibatkan pihak “asing†International Foundation for Electoral System (IFES). Ketiga, KPU tidak punya itikad baik untuk memberikan informasi kepada Bawaslu karena dua kali diundang klarifikasi ke Bawaslu tidak hadir. Bawaslu juga mempersoalkan verifikasi berjenjang yang dilakukan KPU yang dianggap tidak sesuai dengan UU.
Selain melapor ke DKPP, Bawaslu juga mengeluarkan rekomendasi berdasarkan temuan pelanggaran administrasi verifikasi parpol. Bawaslu dalam rekomendasinya meminta KPU melakukan verifikasi faktual terhadap 12 (dari 18) parpol yang dinyatakan tidak lolos verifikasi administrasi oleh KPU. Bahkan rekomendasi tersebut disertai ancaman untuk mempidanakan KPU jika KPU tidak melakukan apa yang direkomendasikan Bawaslu.
Atas berbagai tuduhan tersebut, KPU secara tegas membantahnya. KPU menyatakan sejak awal sudah berusaha membangun profesionalisme penyelenggaran pemilu. KPU juga mengatakan selalu terbuka dan memberikan rapor kepada Bawaslu, LSM, partai politik, dan publik terkait kinerja mereka.
Terkait dengan rekomendasi Bawaslu untuk mengikutsertakan 12 parpol dalam verifikasi faktual, dalam rapat pleno KPU secara aklamasi diputuskan KPU tidak akan melaksanakan apa yang dimintakan Bawaslu. Berdasarkan pemeriksaan ulang, KPU memiliki bukti kuat bahwa ke-12 parpol tersebut memang tidak memenuhi persyaratan.
Walau pada akhirnya melalui Putusan DKPP (yang juga fenomenal dan debatable) 28 November lalu, diputuskan bahwa ketujuh anggota KPU tidak terbukti mempunyai i’tikad buruk untuk melanggar kode etik penyelenggara Pemilu. Akan tetapi,  DKPP juga membenarkan rekomendasi Bawaslu agar KPU mengikutsertakan partai politik yang tidak lolos verifikasi administrasi untuk diberi kesempatan mengikuti verifikasi faktual sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan KPU,
Meski demikian kendati putusan DKPP sudah dikeluarkan, dan masalah seakan telah mendapatkan jawabannya, namun dalam konteks dinamika hubungan KPU Bawaslu, meski DKPP sudah mengambil putusannya, tetap saja menarik untuk diulas dan diurai. Sebenarnya apa yang terjadi antara dua lembaga ini. Mengapa begitu sulit untuk harmonis bekerja dalam satu nafas kesatuan fungsi penyelenggara pemilu? Dan apa yang bisa dilakukan agar konflik tersebut tak terus berulang?
Desain Ideal, Implementasi Gagal?
Sejatinya, UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelengga Pemilu secara ideal telah merumuskan keberadaan KPU dan Bawaslu dalam satu nafas harmonis sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu. Kedua lembaga ini telah diamanatkan UU untuk menyelenggarakan pemilu menurut fungsi, tugas, dan kewenangannya masing-masing. KPU sebagai pelaksana teknis setiap tahapan pemilu. Bawaslu pada fungsi pengawasan, penanganan pelanggaran, dan penyelesaian sengketa pemilu.
Namun, dalam pelaksanaannya KPU dan Bawaslu tak pernah bisa lepas dari polemik, konflik dan perdebatan (laten) satu sama lain. Konflik yang saat ini terjadi bukanlah konflik pertama. Sejak pemilu era reformasi, hubungan antara pengawas dan pelaksana pemilu selalu cenderung tak harmonis. Bedanya, ada yang mampu meredam ketidakharmonisan itu dalam bingkai kerja peran kritis pengawasan pemilu demokratis. Misalnya pengawasan pemilu 1999 dan 2004. Beberapa kali KPU dan Pengawas Pemilu terlibat diskursus terkait pelaksanaan suatu tahapan pemilu. Akan tetapi diskursus tersebut lebih fokus pada kinerja dan kerja pengawasannya ketimbang kompetisi antar dua lembaga. Publik lebih menilainya sebagai bentuk kontrol dalam penyelenggaraan pemilu ketimbang konflik antar institusi penyelenggara pemilu.
Pemilu 2009, arah konflik hubungan KPU dan bawaslu lebih mengarah pada persoalan eksistensi. Pengabaian peran yang satu oleh yang lain. Banyak perdebatan yang terjadi karena persoalan pengakuan keberadaan Pengawas Pemilu yang dianggap tidak terlalu diperhitungkan KPU (dan jajarannya). Juga yang selalu berkaitan dengan persoalan klasik: pembatasan akses data dan informasi oleh KPU. Dan nampaknya apa yang terjadi pada 2009 kini kembali terulang pada persiapan pemilu 2014, dengan kondisi lebih mengkhawatirkan karena disertai ancaman kriminalisasi KPU.
Desain ideal yang dirumuskan UU nampaknya tidak mampu atau gagal diimplementasikan dalam pelaksanaan di lapangan. Ketimbang pencapaian kesepakatan pembagian tugas, fungsi, dan wewenang antar masing-masing lembaga, apa yang terjadi antara KPU dan Bawaslu lebih banyak pada kesalahpahaman dan ketidaksepahaman tentang suatu hal. Berbahayanya kesalahpahaman dan ketidaksepahaman itu selalu terlontar ke ranah publik. Publik ikut dilibatkan pada perdebatan yang akhirnya menjauh dari upaya-upaya membangun kepercayaan terhadap penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu yang luber, jurdil, dan demokratis.
Publik semakin dihadapkan pada situasi tidak sehat. Ketimbang disuguhi oleh perkembangan persiapan penyelenggaraan pemilu yang berkualitas, mereka lebih banyak diberikan berita soal kisruh antar dua lembaga ini. Bukan tidak mungkin jika terus dibiarkan apatisme akan menguat dan kepercayaan terhadap lembaga penyelenggara pemilu semakin menurun.
Dialog dan SOP
Ancaman terhadap kualitas pemilu Indonesia yang disebabkan konflik berkepanjangan KPU Bawaslu tidak boleh dibiarkan. Sebagai solusi mestinya KPU dan Bawaslu lebih mengedepankan pendekatan dialog, komunikasi, dan koordinasi secara terbuka satu sama lain. Sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggara pemilu semestinya diinsyafi sebagai saling melengkapi keberadaan satu sama lain bukan saling kompetisi tunjukan eksistensi.
KPU dan Bawaslu harus memiliki standard operating procedure (SOP) atau prosedur kerja standar bagaimana pola dialog dan koordinasi antar dua lembaga ini bisa dilakukan. Misalnya, KPU sebelum mengambil kebijakan atau keputusan strategis terlebih dahulu mengajak diskusi Bawaslu. Demikian juga Bawaslu, ketimbang mengancam mengkriminalisasikan KPU, akan lebih baik terlebih dahulu mengingatkan secara persuasif. Lagipula kita sama-sama meyakini baik komisioner KPU maupun anggota Bawaslu bukanlah musuh bebuyutan yang tidak saling mengenal dan tak saling bertegur sapa, sehingga tidak selalu komunikasi harus diperantai media massa.
Karenanya, KPU dan Bawaslu harus sesegera mungkin duduk bersama untuk membahas dan merumuskan mekanisme dialog dan koordinasi kerja antara mereka. Jika kebuntuan tidak segera dipecahkan dan dibiarkan terus berlarut maka akan bisa berdampak pada ketidakpercayaan terhadap proses dan hasil pemilu mendatang. Tentu kita semua tidak menginginkan itu. Karenanya KPU Bawaslu berdialoglah! []
TITI ANGGRAINI
Direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)