October 6, 2024

Mohammad Hasan Ansori: Pilkada Bangun Perdamaian Pascakonflik

Demokratisasi dipandang sebagai salah satu cara mencapai perdamaian di daerah konflik. Salah satu wujud demokratisasi yang dilakukan di Indonesia adalah dilaksanakannya pilkada di daerah pascakonflik. Istilah ini kemudian dinamai dengan pemilu pascakonflik yang kemudian dinilai sebagai instrumen strategis untuk penyelesaian konflik dan pembangunan perdamaian di banyak daerah yang sebelumnya berkonflik.

Aceh dan Maluku merupakan dua daerah yang mengalami konflik besar yang terus membaik keadaannya melalui pilkada.  Aceh merupakan wilayah pascakonflik dimana pelaksanaan pilkadanya merupakan bagian integral dari isi Perjanjian Damai Helsinski. Adapun Maluku, pelaksanaan pemilu pascakonflik lebih merupakan efek dari implementasi kebijakan desentralisasi.

Untuk lebih jelas membahas pemilu pascakonflik rumahpemilu.org mewawancarai peneliti The Habibie Center, Mohammad Hasan Ansori di sela Seminar Nasional “Demokrasi, Kekerasan dan Pembangunan Perdamaian di Wilayah Pasca Konflik di Indonesia”, Jakarta (25/3). Berikut hasil wawancara jurnalis rumahpemilu.org, Debora Blandina:

Apa yang dimaksud dengan pemilu pascakonflik?

Secara kontekstual, istilah pemilu pascakonflik merupakan inovasi kreatif yang dibawa oleh generasi kedua operasi penjaga perdamaian dan kemudian meluas pasca-berhentinya perang Dingin. Semenjak tahun 1990, demokrasi menjadi bagian integral misi-misi pembangunan perdamaian internasional pada masa meluasnya erupsi perang sipil. Dalam konteks Indonesia, Aceh merupakan wilayah pascakonflik dimana pelaksanaan pemilupasca konflik merupakan bagian integral dari isi Perjanjian Damai Helsinski. Adapun di wilayah pascakonflik lainnya, seperti Maluku, pelaksanaan pemilu pascakonflik lebih merupakan efek dari implementasi kebijakan desentralisasi.

Kenapa pemilu pascakonflik menjadi instrumen untuk membangun perdamaian di daerah konflik?

Setelah konflik selesai bukan berarti semua selesai. Tidak ada cara lain selain pilkada untuk membangun proses pascakonflik. Pilkada tujuannya ada dua, bagaimana perdamaian dan stabilitas tercapai, tapi saat yang bersamaan bagaimana demokrasi terbangun. Karena perdamaian dan demokrasi itu sendiri saling terikat dan berhubungan.

Demokrasi dianggap sebagai sistem dimana berbagai perbedaan kepentingan dikelola melalui negosiasi terus menerus dan diakomodasi melalui instrumen yang sah. Perdamaian bisa diperkuat menjadi suistanable ketika perbedaan konflik dan kepentingan sebelumnya bisa diselesaikan, yakni lewat demokrasi yang damai. Begitu juga dengan demokrasi bisa berjalan dengan baik kalau aktor dalam demokrasi itu berkompetisi dengan situasi dan kondisi yang damai.

Kenapa pilkada selepas konflik? Karena memang tidak ada instrumen lain yang lebih komprehensif. Ini sebenarnya penggabungan. Kalau dulu orang hanya fokus pada demokrasi dan di sisi lain fokus pada pembangunan damai itu. Itu terpisah dilakukan padahal dua hal ini saling terkait.

Apakah dengan pemilu pascakonflik maka perdamaian itu secara otomatis bisa tercapai?

Perlu diketahui tidak otomatis keduanya bisa tercapai sempurna. Artinya stabilitas tercapai dan demokrasi tercapai sempurna jarang terjadi. Pasti ada kekurangan masing-masing. Kita menyebutnya Partially Succesful. Stabilitasi/perdamaian tercapai tapi tanpa legitimasi demokrasi. Misalnya di Aceh dan Maluku bisa dikatakan damai dan stabil. Tapi tidak sepenuhnya damai dan stabil karena masih terdapat kekerasan dan sebagainya.

Begitu juga tidak sepenuhnya demokrastis karena perilaku koruptor, tidak adanya netralitas dan masih adanya imparsial penyelenggara serta pembangunan nilai-nilai demokrastis belum sepenuhnya. Butuh waktu untuk succesful, dimana dihasilkan stabilitas pembangunan perdamaian dan menumbuhkan demokrasi.

Lalu bagaimana untuk hasil pilkada pascakonflik di Aceh dan Maluku?

Temuan-temuan dalam penelitian ini terbukti mengkonfirmasi proposisi studi ini yang mengasumsikan bahwa pilkada pascakonflik telah membantu membangun demokrasi lokal dan memperkuat perdamaian di Aceh dan Maluku. Hal ini terlihat dari stabilitas ekonomi dan politik serta relasi dan interaksi sosial semakin solid di Aceh dan Maluku. Hanya saja kritik ditujukan terhadap level perdamaian di Aceh yang dinilai belum banyak menyentuh persoalan substantif perdamaian seperti keadilan sosial-ekonomi dan kesetaraan, khususnya diatara wilayah dan suku berbeda di Aceh.

Pembangunan perdamaian dan stabilitas di Maluku terkait dengan perimbangan kekuasaan yang merupakan inisiatif kreatif lokal. Tentunya, perimbangan kekuasaan tidak secara otomatis membantu membangun perdamaian di Maluku.

Berarti penelitian ini hanya melihat dua daerah ini saja (Aceh dan Maluku) dan keduanya Partially Succsesfull?

Iya betul. Tapi secara khsusus Maluku lebih sukses dari pada Aceh. Ini dipengaruhi karakter konflik yang berbeda diantara keduanya. Yakni antara konflik horizontal di Maluku dan Konflik vertikal di Aceh. Durasi konflik itu juga berpengaruh. Di Aceh itu lama sekali, hampir 32 tahun baru selesai konflik. Durasi waktu ini menimbulkan kebiasaan bagi masyarakat. Orang setiap hari melihat senjata pikirannya sudah terbangun dengan kekerasan. Bedanya dengan Maluku yang mulai konfliknya tahun 1999 dan berakhir 2003. Ini juga sangat berpengaruh. Disamping karakter konflik tadi ada yang vertikal dan horizontal.

Di Aceh banyak memakai senjata seperti AK-47 dan kombatan-kombatan. Namun di Maluku walaupun horizontal ada sejata paling panah, tombak atau molotov.

Setelah pilkada di Aceh, mantan anggota GAM justru mendominasi pemerintahan serta adanya keterpecahan diatara mereka. Bagaimana dengan hal itu?

Menurut saya justru masuknya GAM di pusat-pusat pemerintahan malah membantu Aceh relatif stabil setelah pilkada. Anda bisa bayangkan jika mereka kalah pada 2005 dan kemudian kalah lagi di 2012. Itu bisa panas lagi dan angkat senjata lagi. Dan kita juga tahu tidak sepenuhnya senjata itu diserahkan.

Ada keuntungan juga GAM itu mendominasi. Untuk jangka pendek bagus, tapi untuk jangka panjang tidak bagus untuk demokrasi. Tapi paling tidak untuk saat ini bagus karena menjaga Aceh stabil dan tidak goyang. Tapi dalam jangka panjang harus ada keseimbangan.

Nah kalau di Maluku, yang membuat konteksnya lebih bagus karena ada keseimbangan power. Semua partai kursinya seimbang satu sama lain dan hanya terpaut satu atau dua kursi. Nah itu bagus dalam arti cek and balance.

Lalu dukungan seperti apa yang perlu dilakukan agar pilkada bisa menghasilkan perdamaian dan demokrasi yang diharapkan?

Menurut saya yang pertama adalah perbaikan penyelenggara, itu yang paling krusial. Kemudian aparat hukum harus rule of law, kalau benar-benar melanggar harus benar- benar fair ditindak. Itu yang terjadi di Aceh, cenderung dibiarkan. Bagaimana tidak, kapolda bisa jadi kapolda harus disetujui gubernur. Nah dia mau menindak orang GAM malu juga karena gubernurnya orang GAM. Nah itu berputar seperti itu.

Pendidikan politik juga perlu dilakukan. Mereka lama berkonflik dan tidak memikirkan pendidikan politiknya. Dan ketika tujuan-tujuan mereka belum tercapai melalui sistem demokrasi, maka bisa saja timbul perang jika tidak diberi pendidikan politik. []