August 8, 2024

“Omnibus Law” Cilaka Demokrasi

Tren turunnya kualitas demokrasi Indonesia (Freedom House dan The Economist) tak jadi perhatian Para Pembuat Kebijakan. Keberadaan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja/Cilaka menguatkan kesimpulan, Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) abai terhadap tatanan demokrasi hukum. Para pejabat politik hasil pemilu kelima pasca-Reformasi ini terus memproses RUU Cipta Kerja tanpa mengindahkan demokrasi dalam negara hukum.

RUU Cipta Kerja yang ingin mengganti banyak pasal dari puluhan undang-undang satu bidang ini malah mengabaikan puluhan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal Pasal 24C ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen ketiga menyebutkan, sifat Putusan MK adalah final. Apa yang dihasilkan dari cabang kekuasaan yudisial ini seharusnya jadi acuan kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam merancang undang-undang.

Pengabain capaian konstitusi Reformasi itu, menguatkan dugaan bahwa RUU Cipta Kerja ingin mengulang yang Soeharto lakukan pada Orde Baru. Presiden otoriter ini dengan dalih peningkatkan investasi mengeluarkan PP 20/1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing (19 Mei 1994). PP 20/1994 dibuat untuk melaksanakan beberapa UU sekaligus: UU Tenaga Atom; UU Pers; UU Penanaman Modal Asing; UU Penanaman Modal Dalam Negeri; UU  Ketenagalistrikan; UU Telekomunikasi; UU  Perkeretaapian; UU Penerbangan, dan UU Pelayaran. Saat itu PP melanggar Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan undang-undang sebagaimana mestinya”.

Ketentuan dalam PP itu seperti di-copy paste dalam Bab XIII Pasal 170 ayat (1) dan (2) RUU Cipta Kerja. Ayat (1) berbunyi: Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini. Ayat (2) berbunyi: Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pengabaian norma peraturan perundang-undangan

Kepastian demokrasi berjalan harus menyertai kepastian tatanan hukum. Pasal 170 RUU Cipta Kerja melanggar tatanan hukum demokratis berwujud hierarki peraturan perundang-undangan. UU No. 12/2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, mengatur norma peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai Negara Hukum. Pasal 7 berbunyi:

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Berdasarkan Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 itu, jenis peraturan perundang-undangan yang memiliki kedudukan tertinggi adalah UUD 1945 dan terendah adalah Perda Kabupaten/Kota. Norma yang lebih tinggi menjadi acuan norma yang lebih rendah. Lalu, norma yang lebih rendah tak boleh bertentangan dengan norma yang lebih tinggi.

Prinsip norma peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai Negara Hukum itu sesuai dengan teori otoritatif hierarki norma (stufenbau theory). Hans Kelsen menyatakan, sistem norma merupakan suatu kesatuan yang tersusun berjenjang dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Bagi Kelsen, norma yang lebih tinggi mengabsahkan (authorized) atau mendelegasikan (delegated) pembentukan norma pada tingkat yang lebih rendah. Dan, norma yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma yang lebih tinggi.

Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 12 UU No. 12/2011 berbunyi, Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Kesimpulannya, kewenangan PP sebagai peraturan pelaksanaan (Verordnung en Autonome Satzung) sebatas menjalankan undang-undang. RUU Cipta Kerja malah menjadikan PP berwenang mengubah undang-undang sehingga melabrak hierarki hukum yang menjaga trias politik.

Salah garuk

Pemerintah sebagai inisiator RUU Cipta Kerja mengklarifikasi isi Pasal 170. Menurut Mahfud MD dan Yasonna Laoly, kalimat ayat-ayat pasal ini merupakan salah ketik. Bagi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) serta Menteri Hukum dan HAM ini, yang menggantikan undang-undang adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu), bukan PP. Tapi keduanya, tak mempermasalahkan puluhan ketentuan RUU Cipta Kerja yang bertentangan dengan Putusan MK.

Sejatinya, RUU Cipta Kerja dalam format omnibus law merupakan bentuk salah garuk pemerintah. Kita sadar Indonesia punya gatal-gatal kualitas negara berupa tanah air luas banyak penduduk tidak menyertakan keberadaan investasi dan lapangan kerja yang baik. Lalu, segala gatal ini digaruk dengan RUU Sapu Jagat yang melabrak kaidah demokrasi hukum.

Padahal, jika merujuk pada indeks persepsi korupsi dari Transparency International, korupsi dan ketidakpastian hukum merupakan sebab laten gatal-gatalnya Indonesia. Tindak rasuah jadi sebab utama macetnya investasi di negara Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab ini. Transparansi, akuntabilitas, dan keadilan jadi barang mewah bagi pelaku usaha lokal, nasional, dan internasional. Menginisiasi kegiatan usaha di Indonesia berarti hidup dalam hutan belantara. Iklimnya, ketidakpastian hukum. Metodenya, kasih uang habis perkara (KUHP). Prosesnya, asal bapak (pejabat negara) senang.

Karena salah garuk, Pemerintah dan DPR sudah seharusnya mengevaluasi Omnibus Law Cipta Kerja lalu memetakan segala kegatalan untuk bisa akurat digaruk. Tatanan demokrasi hukum bukanlah gatal-gatal penghalang investasi dan penyediaan lapangan kerja di Indonesia.

Transparansi-akuntabilitas, perampingan, dan efisiensi kelembagaan pemerintah sebagai janji Presiden Joko Widodo di Pemilu 2014 dan 2019 merupakan cara benar menggaruk gatal-gatal negara yang menghambat investasi. Pemerintah yang menginisiasi Omnibus Law Cipta Kerja dalam penyelenggaraan negara yang gemuk birokrasi koruptif dengan segala ego sektoralnya, bukan hanya meniru cilaka kesewenangan hukum Soeharto tapi juga bentuk ingkar janji pemilu Jokowi. []

USEP HASAN SADIKIN