December 20, 2024

Pentingnya Kemandirian Politik Perempuan

“Kami menyatakan keyakinan kami pada prinsip kemandirian politik.”
(Alice Paul: 1885-1977)

Perkembangan partisipasi politik perempuan di Amerika Serikat semaju saat ini tak lepas dari perjuangan gerakan perempuan di masa lalu yang dilakukan dalam waktu yang lama, berliku, dan berdarah. Salah satu potret sejarah gerakan perempuan Amerika Serikat pada abad ke 19 tergambar dalam film Iron Jawed Angels.

Film yang disutradarai Katja von Garnier ini diambil dari kisah nyata perjuangan perempuan Amerika Serikat gelombang kedua yang mencapai fase pencapaian hasilnya pada tahun 1920. Pada saat itu, hak pilih perempuan diakomodir di dalam Amandemen ke 19 Konstitusi Amerika Serikat. Tentu, bukan jalan yang mudah mencapai kemenangan mendasar perempuan di ranah politik ini.

Diawali dengan kemauan aktivis muda, Alice Stokes Paul yang ditemani Lucy Burns menginginkan adanya amandemen konstitusi soal hak pilih perempuan. Motivasi mereka membangun gerakan hak pilih (suffragist), tak lepas dari kondisi masyarakat Amerika Serikat saat itu yang masih patriarkhal. Pandangan perempuan tak lebih cerdas dari laki-laki apalagi dalam dunia politik seolah tak terbantahkan selama sekian abad.

Pada tahun 1912 di Philadelphia, Alice dan Lucy mendatangi pimpinan National American Woman Suffrage Association (NAWSA), Carrie Chapman Catt dan Anna Howard Shaw untuk melobi amandemen konstitusi soal hak pilih perempuan. Sekalipun awalnya diremehkan, mereka diberi kesempatan menjadi pengurus komite NAWSA di Washington D. C untuk mencapai tujuannya itu.

NAWSA sendiri organisasi perempuan yang lahir dari sejarah panjang gerakan perempuan untuk hak pilih yang memulai konvensi pertamanya pada 19-20 Juli 1848. Konvensi itu melahirkan “The Declaration of Sentiment” dan tak lama kemudian membentuk National America Women Suffrage Association (NAWSA). Tokoh yang mengemuka saat itu di antaranya Susan B Anthony, Elizabeth Candy Stanton, dan Lucretia Mott.

Di Washington D. C, Alice dan Lucy menggalang dana sendiri dari masyarakat dan tokoh-tokoh lokal. Awalnya, mereka banyak tak mendapatkan simpati. Dengan kerja keras, mereka berhasil mendapatkan donatur, salah satunya istri dari Senator Thomas Leighton. Ia diam-diam memberikan donasinya setiap bulan ke gerakan hak pilih ini karena ditentang suaminya yang berasal dari Partai Demokrat, partai pengusung Presiden Amerika Serikat saat itu, Woodrow Wilson.

Mereka juga berhasil mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh nasional perempuan, seperti Hellen Keller, Phoebe Harkes, dan terakhir Harriet Blatch, anak dari Elizabeth Candy Stanton. Ketiga perempuan itu dijadikan penasihat NAWSA di Washington D. C.

Di dalam suatu pertemuan, Alice dan Lucy bertemu dengan Inez Mulholland, pengacara buruh dan Ben Weissman, kartunis surat kabar Washington Post. Inez diproyeksikan NAWSA untuk menjadi tokoh yang tampil di publik karena kecerdasan, kesamaan ideologi, dan agitasi massanya. Ia dipercaya dapat menggalang suara publik untuk mendorong adanya amandemen konstitusi. Ia berorasi di berbagai negara bagian untuk mendapatkan suara di parlemen.

Sedangkan, Ben Weissman membantu lobi pemberitaan di Washington Post yang besar perannya di dalam mendorong dan mengontrol isu hak pilih perempuan.

Gerakan NAWSA diawali dengan parade gerakan perempuan pada Maret 1912 saat presiden terpilih Woodrow Wilson dilantik di Washington D. C. Metode parade digunakan untuk mendapatkan perhatian media dan masyarakat Amerika. Awalnya parade berjalan lancar dan terkendali. Tak lama kemudian, sekelompok laki-laki yang tak senang mengejek aksi dan menyerang para partisipan aksi yang semuanya perempuan.

Situasi ini langsung mendapatkan perhatian Presiden Woodrow Wilson yang saat itu baru tiba di Washington. Parade memang ditujukan sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan Presiden. Keesokan harinya, peristiwa ini menjadi berita utama di media massa dan mereka sangat puas atas pencapaian itu. Dari publikasi itu berhasil mempertemukan delegasi NASWA yang dipimpin Alice dengan Presiden yang berjanji mengkaji ulang isu yang disasar. Mereka juga diberi keleluasaan melakukan lobi politik.

Di tengah jalan, muncul perbedaan pandangan dan masalah antara Alice dan Catt. Catt sebagai pimpinan NAWSA tak menginginkan kampanye boikot kebijakan presiden. Catt juga tak senang dana besar yang diperoleh Alice tak masuk ke dalam kas NAWSA. Dua hal ini yang kemudian membuat Alice dan Lucy keluar dari NAWSA dan mendirikan The National Woman’s Party (NWP) dengan barisan gerakan yang sama, yang mereka bangun sejak awal.

Dengan bendera NWP, gelora tuntutan hak pilih perempuan di dalam amandemen konstitusi semakin besar dan radikal. Mereka melakukan aksi desakan di depan Gedung Putih setiap hari sampai tuntutan mereka dipenuhi.

“Tuan Presiden, berapa lama perempuan harus menanti kemerdekaannya?” menjadi tagline yang menyindir Presiden Wilson saat itu.

Perang Dunia I dimulai. Setelah Jerman menenggelamkan sejumlah kapal perang Amerika Serikat, presiden mengumumkan negara dalam situasi darurat perang. Perang dimanfaatkan presiden untuk menaikan popularitasnya di masyarakat. Tujuannya, agar Wilson dapat dipilih kembali saat pemilu kedua.

Dalam kondisi darurat perang, para aktivis NWP tak surut selangkah pun. Mereka mengetahui risiko tak disukai publik karena melayangkan aksi protes ke presiden saat kondisi perang. Puncaknya, aksi protes mereka di depan Gedung Putih dibubarkan paksa sekelompok laki-laki yang tak simpatik dan ditahan polisi dengan dalih mengganggu lalu lintas.

Di persidangan, aktivis NWP, salah satunya Lucy, menolak membayar denda karena menganggap tak melanggar hukum. Akhirnya, mereka mendekam di dalam penjara selama 60 hari di Occoquan, sebuah penjara perempuan di Virginia. Sekali pun ditahan, aktivis NWP lainnya menggantikan aksi mereka. Tak sudi teman-teman sebelumnya dipenjara, Alice berserta beberapa orang melakukan aksi serupa yang berakhir di belakang jeruji.

Di dalam penjara, Alice melakukan mogok makan yang diikuti teman-teman seperjuangannya.  Merasa aksi mereka jangan sampai diketahui publik, sipir penjara memaksa Alice mengonsumsi makanan yang dibuat lunak dengan memasukannya ke tenggorokan dan lubang hidung menggunakan selang. Begitu menyakitkannya tindak kekerasan yang dilakukan sipir itu.

Penganiayaan yang diterima selama itu berakhir setelah catatan-catatan Alice terungkap di Washington Post. Tersebarnya berita itu mengubah opini publik tentang perjuangan aktivis NWP dan menjuluki mereka “Iron Jawed Angels”. Kesempatan ini dimanfaatkan NAWSA untuk mendesak Presiden Wilson mengamandemen peraturan ini dan membebaskan aktivis NWP dari penjara.

Pada 1920, sebanyak 36 wilayah telah menyetujui untuk meratifikasi amandemen, di mana Tennessee menjadi Negara terakhir dan juga penentu jebolnya undang-undang ini. Pada 26 Agustus 1920, amandemen ke-19 memberikan perempuan hak pilih dan ditetapkan menjadi hukum konstitusional. Hampir 10 tahun gerakan NWP akhirnya memberikan hasil. Tak dipandangnya perempuan dalam ranah politik seperti di Amerika Seriat terjadi hampir di semua negara.

Gerakan politik perempuan Indonesia

Gerakan perempuan di Amerika Serikat saat itu mirip dengan yang terjadi di Indonesia. Saat jaman kemerdekaan, banyak organisasi sosial dan politik perempuan sejak tahun 1920an bermunculan. Mereka bersama kaum laki-laki melangkah berjuang bersama melawan imperialisme asing. Sampai puncaknya gerakan perempuan berakhir pada masa kelam tahun 1965.

Sejak pemerintahan Orde Baru berkuasa, posisi dan peran perempuan mengalami rekonstruksi sosial. Ranah gerak perempuan dipaksakan masuk ke dalam wilayah domestik dan subordinat dari laki-laki. Perempuan ditundukkan pada persoalan rumah tangga dan inferioritas. Rezim Orde Baru kemudian mereproduksi wacana, simbol, film, kurikulum pendidikan, dakwah agama, dll yang semuanya dalam rangka inferiorisasi sekaligus stigmatisasi perempuan.

Rezim tiran tak berlangsung abadi. Pada 1998, rezim itu hancur dan gerakan perempuan kembali bergelora. Pelan-pelan gerakan perempuan meredefinisi, merekonstruksi, dan mereproduksi keperempuanan Orde Baru menjadi ke arah perjuangan kesetaraan gender. Tak cukup hanya itu, perjuangan kesetaraan gender semestinya simetris dengan perjuangan politik praktis. Bagaimana pun, segala kebijakan yang menyangkut tubuh dan gagasan perempuan di wilayah privat, domestik, maupun publik ditentukan melalui kebijakan politik yang dilahirkan rahim parlemen.

Merasa tak pernah terwakili secara politik, sekelompok perempuan mulai menggeliat upaya affirmative action sejak tahun 2001. Membutuhkan waktu 2 tahun untuk mengampanyekan affirmative action dan membentuk jaringan perempuan dengan isu perjuangan yang sama. Kemudian muncul perjuangan affirmative action yang dikenal dengan Kelompok Perempuan Peduli Politik yang dalam perjalanannya menggunakan wadah Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI).

KPPI gabungan dari 17 partai politik, perempuan anggota DPR-RI yang bergabung dalam Kaukus Perempuan Parlemen, 38 LSM, kelompok akademisi yang bergabung dalam Jaringan Perempuan dan Politik, dan 78 organisasi wanita yang bergabung dalam Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) (Swara Androgini, Vol. II No. 5 Juni 2003, hal 14).

Akhirnya, setelah melalui desakan dengan berbagai cara, afirmatif kouta 30 persen perempuan termaktub dalam UU Pemilu pada tahun 2003. Meski demikian, kultur partai yang masih didominasi patriakhal tak pernah secara penuh mendukung partisipasi politik perempuan.

Sejak, pemilu 1999 – 2004 keterwakilan perempuan di parlemen tak melebihi 10 persen. Calon legislator perempuan direkrut hanya untuk memenuhi persyaratan administratif pemilu soal 30 persen kuota perempuan. Alhasil, perempuan hanya jadi objek politik. Mereka masih berada di bawah ketiak kuasa laki-laki sejak dalam partai hingga sampai ke gedung parlemen. Tragisnya, mereka juga dimanfaatkan secara finansial untuk pemasukan partai dari transaksi pencalonan anggota legislatif.

Padahal, latar belakang kuota 30 persen perempuan di parlemen tercipta dari koreksi dan kompensasi perlakuan diskriminatif perempuan yang berakibat pada tak terwujudnya “de-facto equality” seperti dijamin UU Dasar 1945. Jadi, kuota 30 persen sifatnya sementara untuk percepatan keadilan gender di ranah politik. Jika kemudian hari, peluang ini dirasa tetap menjadikan perempuan sebagai objek politik, perlu kiranya mengevaluasi langkah politik afirmatif 30 persen perempuan.

Partai perempuan, bukan afirmasi perempuan

Melihat objektivikasi politik perempuan di hadapan oligarki patriarkhi politik, penting kemudian kemandirian politik perempuan seperti diserukan NWP pada abad 19. Tokoh sentralnya, Alice Paul, pada 1913 membentuk Uni Kongres untuk Hak Pilih Wanita (CUWS) dan mulai memperkenalkan metode militan yang digunakan Uni Perempuan Sosial dan Politik di Inggris dimana ia pernah berkiprah.

Partai politik perempuan dibentuk sebagai manifestasi kemandirian politik perempuan saat itu. Mereka sadar oligarki patriakhal dalam politik tak akan pernah secara leluasa memberikan akses kekuasaannya sebagaimana oligarki kapital yang memberi akses kepada kaum proletar sepanjang massa. Untuk mencapai perkembangan sejarah manusia tanpa penghisapan dari manusia lain dan kesetaraan gender, dibutuhkan perjuangan kelas atau cluster.

Partai politik perempuan digagas untuk berkonsentrasi melakukan pendidikan politik perempuan yang kemudian dapat mengambil alih ruang politik yang didominasi kultur patriarkhi. Dari wadah tertinggi di ranah politik ini, kepercayaan diri perempuan dalam aktivitas-aktivitas politik dapat terwujud. Sekaligus, menggalang dan memperkuat solidaritas jaringan perempuan untuk terwujudnya kesetaraan gender di ranah politik.

Tak perlu disangkal lagi, suatu saat nanti kita tak lagi memerlukan kuota politik di parlemen yang hanya jadi permainan sistem patriarkhi. Tetapi, kita dapat membawa satu gerbong politisi perempuan yang diusung oleh partai politik perempuan di parlemen yang berdampak ke wilayah privat, domestik, dan publik perempuan itu sendiri. Sangat mungkin itu terjadi. []

HERU SUPRAPTO
Pegiat rumahpemilu.org