September 13, 2024

Pilih Caleg atau Partai?

Tahap pemungutan suara Pemilu 2014 tinggal menghitung hari. Rabu, 9 April 2014 setiap warga Indonesia yang menggunakan hak pilih memilih wakil di parlemen. Sudahkah kita tahu, calon legislator yang akan kita pilih? Siapa yang kita pilih untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat I dan II?

Selain karena tak tahu/tak kenal, kebingungan menentukan pilihan caleg disebabkan sangat banyaknya caleg. Jika 12 partai nasional mencalonkan 10 nama di setiap tingkat perwakilan, ada 360 nama caleg. Masyarakat Aceh harus ditambah 3 partai lokal beserta lebih dari 10 Ini belum termasuk caleg DPD yang setiap provinsinya sekitar 25 nama caleg. Singkatnya, sekitar 400 caleg yang kita pertimbangkan untuk dipilih. Adakah yang dikenal? Adakah yang sesuai?

Apa kita pilih partai saja? Jika alasan penerapan memilih caleg (bukan partai) adalah untuk memutus kuasa elite (oligarki) partai dan lebih berpeluang mendorong orang baik terpilih, mungkinkah memilih partai saja (bukan caleg) bisa lebih memperbaiki pemerintahan terpilih?

Memilih caleg

Memang ada caleg yang jelas bekerja nyata dan berpengaruh di parlemen. Tapi hanya beberapa nama. Untuk DPR RI 2009-2014, hanya beberapa nama yang disorot media karena prestasinya. Begitu pun untuk DPD atau tingkat DPRD I dan II. Mungkin, ada lebih banyak dewan yang berkemampuan baik mencalonkan kembali (petahana), tapi sayangnya masyarakat tak mengenalnya. Belum lagi caleg baru yang lebih banyak tak dikenal di media atau pun di keseharian setiap dapilnya.

Sejumlah LSM menawarkan para caleg berkualitas baik. Kualitas dibentuk berdasarkan bidang atau perspektif setiap LSM. Ada perspektif antikorupsi, HAM, lingkungan, perempuan (keadilan gender), dan lainnya.

Transaprency International Indonesia menyeleksi caleg berdasarkan jejak rekam jabatan publik dan tingkat transparansi serta akuntabilitasnya. Melalui situs www.chekyourcandidates.org, TI Indonesia menawarkan caleg muda antikorupsi. Ukuran usia mudanya di bawah 40 tahun. Kualitas antikorupsinya berdasar laporan kekayaan dan jejak rekam yang berhasil diketahui.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) melalui www.pemilu.walhi.or.id mengingatkan untuk tak memilih kandidat yang telah merusak lingkungan. Perusakan hutan tropis menjadi perkebunan sawit secara masif dan lahan gagal/selesai pengeboran minyak pun menjadi dasar tak ditawarkannya kandidat kepada pemilih.

Jika mau pertimbangan memilih calegnya lebih mudah dan ringan perspektif, beberapa aplikasi unggulan telepon pintar bersistem operasi (OS) Android merekomendasikan caleg berkualitas baik. “Orang Baik” www.orangbaik.org dari Appskitchen meranking caleg berdasarkan tingkat dan kualitas pendidikan kampus asal, kesesuaian tempat tinggal dengan dapil, dan riwayat organisasi. “Caleg Store” dari Alexier menyampaikan profil caleg yang penilaian kualitasnya bisa interaktif dengan pengguna. Keduanya merupakan pemenang dari kompetisi pembuatan berbasis teknologi informasi aplication program interface (API) aplikasi (Hackthon) di Bandung (9/3) yang diadakan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) beserta The Asia Foundation. Semua karya aplikasi dari Hackthon itu bisa diunduh di http://pemiluapps.org.

Merujuk pada tawaran informasi caleg itu, keadaannya tak terlalu berubah. Masih terlalu banyak caleg yang mesti dipertimbangkan untuk dipilih. Setelah diseleksi berdasarkan perspektif LSM pun jumlah pilihannya masih banyak. Atau sebaliknya, pada penawaran caleg berdasar perspektif LSM, malah tak ada sama sekali nama yang bisa ditawarkan jika dikaitkan dapil kita.

Memilih partai

Jika masih bingung memilih siapa calegnya, memilih partai jauh lebih mudah bisa dipertimbangkan. Jumlahnya hanya 12 (di Aceh ditambah 3 partai lokal). Jauh lebih sedikit dibandingkan caleg yang jumlahnya bisa 400-an di surat suara.

Aspek pertimbangan memilih partai lebih sederhana. Bisa membedakan partai nasionalis atau islamis. Bisa partai dominan atau tak dominan di parlemen. Bisa partai lama atau baru. Bisa partai yang anggotanya di masa jabatan legislatif/eksekutif, paling sedikit melakukan korupsi atau kejahatan lainnya.  Bisa tak ingin memilih partai pemenang pemilu sebelumnya, atau malah tetap mempertahankannya.

Memilih partai (bukan caleg) masih relevan, karena sistem pemilu kita menerima memilih partai. Memang, pasal 5 UU No. 8/2012 menyatakan Pemilu 2014 menggunakan sistem proporsional daftar terbuka untuk DPR serta DPRD I dan II (untuk DPD bersistem mayoritarian banyak wakil). Sistem pemilu ini dalam penerapan ketat teknis pemilihannya, memilih caleg/orang. Teknis memilih caleg (tanpa partai) menjadi salah satu pembeda dengan sistem proporsional daftar tertutup yang memilih partai.

Pemilu 2014 masih menerima pilihan partai saja karena beberapa pertimbangan. Indonesia masih di fase transisi, dari otokrasi menuju demokrasi. Politik, baik makna struktural maupun kultural, masih jauh dari masyarakat karena setengah dari usia bangsa Indonesia hidup di masa pengharaman politik. Pasca-Reformasi, baru tiga kali kita benar-benar menyelenggarakan pemilu setelah dari 1971 sampai 1997 menyelenggarakan pemilu pura-pura. Keadaan ini menjadikan penerapan sistem proporsional daftar terbuka di Pemilu 2009 dan 2014 tak utuh sesuai teori.

PKPU No.26/2013 tentang Pungut-Hitung Pemilu Legislatif makin melonggarkan bentuk pilihan sistem proporsional daftar terbuka. Melalui Bab Penghitungan Suara, peraturan mengesahkan empat bentuk pilihan. Selain mengesahkan memilih caleg saja, partai saja, partai dan caleg, peraturan pun mengesahkan memilih partai dan dua caleg atau lebih.

Pengesahan berbagai bentuk sasaran coblos dalam satu partai itu dalam penghitungannya mengembalikan suara kepada partai. Pemilu 2009 yang menilai bentuk sasaran coblos itu tak sah berdampak pada banyaknya suara tak sah/hilang. Dasar menyelamatkan hak pemilih di tengah kebingungan masyarakat pada pemilu Indonesia yang rumit ini menjadi dalih. Makna sistem proporsional yang juga menghargai setiap suara pemilih menjadi alasan.

Ada pun tips memilih partai adalah: pertama. Pilih partai yang memungkinkan lolos ambang batas masuk parlemen (parliamentary threshold/PT). Khususnya untuk kursi DPR RI karena DPRD I dan II tak ada PT. Ini mengingat, partai yang mendapat suara di bawah 3,5% dari total pemilih nasional, suaranya hangus. Semua calegnya tak dapat kursi DPR RI meskipun perolehan suara di dapilnya tinggi. Setelah penerapan PT, tahap awal merolehan kursi untuk partai didasari hitungan pemenuhan bilangan pembagi pemilih (BPP). Partai yang memenuhi BPP otomatis mendapatkan kursi.

Kedua. Pilih partai berpendukung kuat, khususnya di dapil tempat kita memilih. Ini pun cara, agar suara kita tak hangus. Setelah PT diterapkan untuk menyeleksi partai parlemen RI 2014-2019, perolehan suara lanjut ke penghitungan suara partai untuk DPRD I dan II. Sebagaimana konversi suara ke kursi di penghitungan DPR RI, dasar pemberian kursi tahap awal berdasarkan BPP (bilangan pembagi pemilih). Partai yang suaranya di bawah BPP, mendapat sisa kursi di penghitungan berikutnya.

Ketiga. Pilih partai yang kerja kolektif di parlemennya baik. Pasca-Reformasi, undang-undang pemilu dan partai politik di Indonesia tak bisa menunda orang-orang Orde Baru dan (purnawirawan) militer ikut pemilu. Idealnya, pemilu pertama setelah penumbangan rezim otoriter melarang satu periode pihak yang berkuasa di rezim yang ditumbangkan. Karena aturan ini tak diterapkan (mungkin ini konsekuensi Reformasi, bukan Revolusi), kita hanya mungkin menghukumnya melalui pemilu dengan tak memilih pihak itu.

Memilih partai tertentu, berarti juga menghukum dengan cara tak memilih partai yang lain. Dari hasil Pemilu 1999-2004 sampai 2009-2014, ada anggota dewan dan pejabat eksekutif asal partai yang melanggar hukum, seperti: korupsi (termasuk suap, gratifikasi, dan pencucian uang), perusakan lingkungan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan lainnya.

Selain itu, secara kolektif, anggota dewan merupakan bagian dari partai. Partai harus mempertanggungjawabkan orang/kadernya yang bersalah di masa jabatannya. Sebab, partai yang melakukan perekrutan dan kaderisasi. Secara lembaga pun, partai merasa punya peran terhadap keberhasilan caleg mendapat kursi. Atas nama kerja kolektif organisasi, partai pun meminta dan menerima uang bulanan atau akumulasi tahunan dari gaji si anggota dewan atau eksekutif partai bersangkutan.

Atas dasar itu, penting menghukum partai yang banyak kader/orang-nya bermasalah hukum. Partai apa yang banyak kadernya korup dan merugikan negara saat memegang jabatan publik? Partai apa yang berplatform anti-HAM? Partai apa yang kepemimpinannya punya catatan pengrusakan berat terhadap lingkungan? Pertanggungjawaban apa dari partai secara lembaga terhadap permasalahan tersebut? Tak ada. UU pemilu, UU partai politik, dan UU lembaga publik pun tak bisa menunda keikutsertaan pihak-pihak bermasalah hukum di pemilu untuk menjalani pengadilan.

Hebatnya pemilu bisa menghukum pihak/partai itu. Tentu saja dengan cara, setiap diri kita datang ke TPS memilih partai yang relatif tak bermasalah secara hukum. []

USEP HASAN SADIKIN