Hampir bisa dipastikan Pilakda 2017 tak bisa dibiayai APBN. Dalam rancangan revisi undang-undang pilkada dari Kementerian Dalam Negeri, pembiayaan Pilkada 2017 berasal dari APBD. Padahal keadaan keuangan daerah berbeda-beda, dan tak sedikit yang kesulitan untuk bisa membiayai pilkada.
Rancangan ini bisa saja diubah melalui kewenangan DPR RI sebelum rancangan UU Pilkada dari Kemendagri disahkan. Sayangnya, Ketua Komisi II DPR RI, Rambe Kamarul Zaman berpendapat, Pilkada 2017 tetap dibiayai melalui APBD atas dasar prinsip kesamaan. Berikut catatan rumahpemilu.org dari penjelasannya mengenai revisi UU Pilkada pada diskusi media di Cikini (3/4) dan Rapat Dengar Pendapat di Komisi II (8/4).
Mengapa Pilkada Serentak 2017 tahapannya tak disesuaikan dengan siklus anggaran agar bisa dibiayai APBN?
Itu sudah terpikirkan oleh kami. Tapi kalau Pilkada 2017 pakai APBN, 269 daerah yang Pilkada 2015 lalu akan teriak. Mereka (pemerintah di 269 daerah Pilkada 2015) akan merasa dibedakan.
Mengapa jadwal dan tahapan pilkada tak juga diubah dalam revisi ini? Agar bisa disesuaikan dengan siklus anggaran nasional.
Kami juga sudah pertimbangkan ini. Jika jadwal dan tahapan kami rombak sesuai dengan siklus anggaran nasional, berarti jadwal gelombang 2 dan 3 pilkada serentak akan diubah. Ini lebih sulit lagi. Repot. Lebih baik kita berdasar jadwal dan tahapan yang sudah ada di undang-undang.
Sebab anggaran pilkada tak efisien karena kampanye difasilitasi KPU provinsi dan kabupaten/kota sehingga membebani anggaran sejumlah daerah. Akan ada perubahan apa terkait hal ini?
Kesalahan dari Pilkada 2015, kampanye seluruhnya dibebani ke KPU. Katanya tujuannya untuk menciptakan kesetaraan para calon. Jangan sampai ada perbedaan mencolok antara calon yang banyak uang dengan yang sedikit uang. Tapi malah kesannya, orang yang tak punya uang bisa mencalonkan. Kan lucu, ada orang tak punya uang, terus ingin dikampanyekan gratis oleh KPU.
Perubahannya seperti apa?
Kita coba undang-undangnya membolehkan calon berkampanye. Kalau soal kemungkinan jor-joran sehingga persaingan tak berimbang, nanti kita hitung-hitung batasannya.
Secara umum, dari DPR punya masukan apa dalam revisi UU pilkada ini?
Ada yang berkait dengan putusan MK soal pencalonan. Misalnya, soal pengunduran jabatan. Sebelumnya yang diminta mundur dari jabatannya kan, anggota DPR, DPD, DPRD lalu anggota TNI dan polisi. Tapi inkumben, kepala daerah, mencalonkan lagi tak perlu mengundurkan diri. Ini kami mau coba ubah. Kalau mundur, mundur semua. Kalau tak usah mundur, ya tak usah mundur semua.
Lalu, soal syarat dukungan calon perseorangan. Kami mau mengembalikan banyaknya dukungan kembali ke awal. Sebelum diubah MK, syarat dukungan berdasarkan jumlah penduduk. MK ubah jadi berdasarkan DPT pemilu terakhir. Nah, dasar DPT pemilu terakhirnya kami tak ubah. Yang kami ubah persentasenya, dari 6,5-10% jadi 10-15%.
Tapi aspirasi masyarakat justru ingin persentase syarat dukungan calon perseorangan diturunkan. Bukannya ini DPR jadi berkesan berpihak pada kepentingan elite partai?
Ini bukan kepentingan elite partai. Itu JPPR bilang kalau syarat perseorangan ini dinaikan partai juga yang akan dirugikan. Terutama Golkar. Calon perseorangan di Pilkada 2015 yang terpilih kan justru kader Golkar. Jelas ini bukan kepentingan DPR atau elite partai Golkar. Kami tak mau saja, calon perseorangan didukung masyarakat yang jumlahnya cuma sedikit. Ini untuk jabatan penting loh, kepala daerah. Syaratnya jangan main-main. []