Panitia khusus RUU Penyelenggaraan Pemilu menggulirkan wacana perubahan sifat kelembagaan penyelenggara pemilu tingkat kabupaten/kotamenjadi ad hoc.
Gagasan tersebut direspons beragam oleh para pemangku kepentingan pemilu. Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan tak setuju karena tak sesuai dengan sifat lembaga KPU yang permanen, sebagaimana dimaksud Pasal 22 E Ayat (5) UUD 1945. Sementara, penggiat pemilu berpandangan pansus perlu menjelaskan kepada publik mengapa mengusulkan KPU kabupaten/kota menjadi lembaga ad hoc(Kompas,3/5).
Bersifat permanen
Rumusan Pasal 22 E Ayat (5) UUD 1945 perlu dipahami secara komprehensif dengan mencermati kembali risalah amendemen ketiga UUD 1945. Salah satu anggota Panitia Ad Hoc IBadan Pekerja MPR Hamdan Zoelva dari Fraksi PBB, menyampaikan pandangannya tentang bentuk dan sifat lembaga penyelenggara pemilu. Katanya, ”Lembaga yang melaksanakan pemilu adalah suatu komisi pemilihan umum yang sifatnya independen dan mandiri. Kemudian lembaga ini sifatnya permanen yang punya masa jabatan tertentu. Organisasi KPU secara lengkap diatur dalam UU mengenai Pemilu”. Memperhatikan saran ahli bahasa, kata ”permanen” diganti dengan kata ”tetap” sehingga rumusan terakhir berbunyi: ”Pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”.
Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 22 E Ayat (5) UUD 1945, pembentuk UU mengatur organisasi KPU, jumlah anggota dan masa keanggotaan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, serta badan penyelenggara ad hoc dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 17 Ayat (1) dan (2) menyebutkan struktur organisasi penyelenggara pemilu terdiri atas KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang merupakan bagian dari KPU. Ketentuan tersebut sejalan dengan mandat konstitusi, kelembagaan KPU bersifat tetap, yaitu di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, serta bersifat hierarkis.
Sementara, masa keanggotaan KPU menurut UU No 12/2003 adalah lima tahun sejak pengucapan sumpah/janji. Selain itu, UU No 12/2003 juga mengatur struktur dan personel sekretariat pada setiap jenjang berstatus pegawai negeri sipil yang berfungsi sebagai pendukung sistem KPU.
Setelah penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004, melalui UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, nomenklatur dan sifat hierarki kelembagaan KPU di tingkat provinsi dan kabupaten/kota mengalami perubahan cukup signifikan. Berpedomanketentuan Pasal 18 UUD 1945, pembentuk UU mempunyai pemahaman pemilihan kepala daerah merupakan rezim pemerintah daerah.
Alhasil, dirumuskan Pasal 1 Angka 21 UU Pemda: ”Komisi Pemilihan Umum Daerah yang selanjutnya disebut KPUD adalah KPU Provinsi, Kabupaten/ Kota sebagaimana dimaksud UU No 12/2003 yang diberi wewenang khusus oleh UU untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di setiap provinsi dan/atau kabupaten/kota”. Selanjutnya, Pasal 57 Ayat (1) menyatakan, KPUD bertanggung jawab kepada DPRD.
Ketentuan Pasal 1 Angka 21 dan Pasal 57 Ayat (1) UU No 32/2004 diajukan judicial review oleh sekelompok masyarakat sipil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pertimbangan hukum MK dalam putusan perkara ini antara lain menyatakan yang dimaksud dalam rumusan pasal tersebut, penyelenggara pilkada langsung adalah KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota sebagai bagian dari KPU sebagaimana ketentuan Pasal 22 E UUD 1945. Dengan demikian, dalam penyelenggaraan pilkada, KPU menjadi regulator dan pengawas internal penyelenggaraan pilkada yang dilaksanakan oleh KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.
Secara hierarkis KPU berkewajiban melakukan tugas-tugas koordinasi dan supervisi untuk memberdayakan kinerja KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. Selanjutnya, terhadap pengujian Pasal 57 Ayat (1), MK berpendapat, penyelenggaraan pilkada yang berdasarkan asas ”Luber Jurdil” tidak mungkin dicapai bila KPUD harus bertanggung jawab ke DPRD. Sebab, DPRD terdiri atas unsur-unsur parpol yang jadi pelaku dalam pilkada langsung tersebut. Karena itu, KPUD harus bertanggung jawab ke publik bukan kepada DPRD.
Memperhatikan putusan MK tersebut, melalui UU No 22/2007 dan UU No 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu, dilakukan penyempurnaan terhadap kelembagaan KPU sesuai mandat konstitusi bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Pemilu dan pilkada dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota, bersifat hierarkis.
Rekontruksi kelembagaan
Redesain kelembagaan KPU,khususnya di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, perlu memperhatikan beberapa hal. Pertama, adanya kebijakan politik tentang penataan jadwal pemilu. Ini sebagai tindak lanjut putusan MK No 14/PUU-XI/2013,dalam pertimbangan hukumnya MK menyatakan pilpres dilaksanakan bersamaan dengan pemilu legislatif yang secara efektif dilaksanakan pada 2019.
Memperhatikan hasil evaluasi pilkada langsung sejak 2005, putusan MK dimanfaatkan sebagai momentum oleh pembentuk UU untuk melakukan penataan jadwalpilkada. Melalui Perppu No 1/2015, sebagaimana diubah dengan UU No 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, dinyatakan pemilihan kepala daerah serentak nasionaldilaksanakan pada tahun 2024.
Penataan jadwal pemilu dimaksudkan untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial, efisiensi penyelenggaraan dan anggaran pemilu, serta meningkatkan partisipasi pemilih. Namun, desain penataan jadwal pemilu itu masih jauh dari harapan untuk mewujudkan sistem pemerintahanpresidensial yang efektif. Karena itu, pemerintahan presidensial yang efektif hanya dapat diwujudkan dengan mengadopsi konsep presidential coattails, di mana warga negara memilih anggota legislatif pusat bersamaan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. Sementara, pemilihan anggota legislatif daerah bersamaan dengan pemilihan kepala daerah.
Apabila hanya ada dua jadwal pemilu dalam siklus lima tahun, pertanyaannya: apakah masa tugas anggota KPU kabupaten/kota perlu dipertahankan selama lima tahun? Ini patut direnungkanguna menjadikan salah satu latar belakang pemikiran dalammeredesain keanggotaan KPU kabupaten/kota semula lima tahun jadi ad hoc. Perekrutan anggota KPU kabupaten/kota dilakukan menjelang pelaksanaan pemilu dan pilkada. Kesinambungan pelaksanaan tugas KPU kabupaten/kota yang bersifat permanen dapat dilaksanakan oleh sekretariat dengan syarat adanya peningkatan standar mutu pelayanan publik yang lebih baik.
Kedua, memperhatikan uraian tugas dan wewenang KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/ kota dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada, sebagaimana dimaksud UU No 15/2011, KPU kabupaten/kota hanya sebagaipelaksana regulasi KPU. Selanjutnya, menimbang beban tugas KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota ditinjau dari aspek geografis, cakupan wilayah administratif pada lingkup provinsi atau kabupaten/kota, besaran jumlah penduduk atau pemilih.
Mengingat UU Otonomi Khusus yang berlaku di Provinsi Papua, Papua Barat, UU Pemerintahan Aceh, UU Keistimewaan DIY, dan UU Pemerintahan Provinsi DKI, selayaknya dilakukan penataan ulang kelembagaan di tingkat kabupaten/kota. Misalnya, kabupaten/kota di wilayah DKI Jakarta tidak melaksanakan pemilihan anggota DPRD dan pemilihan wali kota sehingga dapat dipertimbangkan pengisian keanggotaannya bersifat ad hoc. Demikian pula jumlah keanggotaan KPU provinsi dan kabupaten/kota disesuaikan dengan beban tugas di wilayah kerjanya. []
IDA BUDHIATI, MAHASISWI PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UNDIP
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/kompas/2017/20170513kompas/#/7/