Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia, Reza Syawawi berpedapat, transparansi dalam pengertian keterbukaan dana organisasi dan kampanye partai belum dipahami masyarakat. Bahasa sederhana seperti “partai korup†atau “politisi busuk†lebih bisa dipahami dan mendorong masyarakat untuk menggunakan hak pilih dengan baik.
Berikut wawancara Reza oleh Usep Hasan Sadikin dari rumahpemilu.org di Jakarta (6/1).
Keterbukaan dana organisasi dan kampanye partai terus diupayakan penggiat pemilu dan antikorupsi, bagaimana perkembangannya selama ini?
Saya menilai kampanye keterbukaan dana partai itu belum nyambung dengan pikiran masyarakat. Itu hanya dipahami penting oleh pegiat antikorupsi. Penyampaiannya perlu disederhanakan. Misalnya, partai ini korup. Atau (caleg) si A korupsi sebelumnya. Itu bisa nyambung. Masyarakat akan menangkap, oh orang itu korupsi, berarti dia sudah mengambil uang rakyat atau negara.
Permasalahan utamanya memang, partai telah gagal menjadi milik publik. Masyarakat menilai kerja partai ya urusan partai, termasuk di dalamnya keuangan partai.
Tuntutan keterbukaan dana kampanye seharusnya menjadi motivasi partai. Keterbukaan akan menjadi hal yang penting bagi calon pemilih. Sehingga partai terbuka akan banyak dipilih. Bagaimana tanggapan Reza?
Ini tantangan untuk gerakan antikorupsi. Masyarakat sebetulya mau ikut dukung pengupayaan pemilu bersih. Tapi kan susah. Kita mau menyambungkan wacana “partai tertutup berarti korup†kepada masyarakat. Bagaimana?
Masyarakat belum memahami, partai sebetulnya lembaga publik. Bagi masyarakat, partai punya orang-orang partai. Anggota dan pengurus.
Kalau milik publik semua orang bisa akses toh. Tapi ini tidak, hanya anggota dan pengurus yang bisa akses. Seperti perusahaan swasta. Susah minta data ke partai.
Kampanyenya yang perlu diperhatikan. Dulu ada kampanye politisi busuk. Menurutku kampanye politisi busuk diartikan masyarakat adalah politisi korupsi. Padahal korupsi hanya salah satu indikator busuk. Masih ada indikator busuk lainya. Tapi masyarakat mengerti. Yang korup tuh busuk, ya jangan dipilih.
Bagaimana dengan politisi yang masih dalam pemeriksaan hukum, misal, Anas Urbaningrum dari Partai Demokrat, strategiskah ini dikampanyekan sebagai bagian dari kampanye antikorupsi di pemilu?
Status hukum formalnya apa? Sebaiknya tunggu dulu. Nanti dinilai aneh kampanyenya. Udah, bikin aja kampanye, “partai korupâ€. Ini mudah masyarakat memahaminya. ICW kan sudah membuat tuh, peringkat partai terkorup. Pertama Golkar, kedua Demokrat, ketiga PDIP. Ini gampang dimengerti. Bisa dijelaskan dengan gampang juga. Ini, partai Golkar ada sekian orang yang korupsi, dan seterusnya.
Oh jadi, berdasarkan partai saja. Bukan caleg?
Iya. Partai saja. Berapa banyak anggota partai di pemerintahan yang korup. Berapa persentasenya dari total yang menjabat. Mudah. Dan pasti nyambung dengan logika publik.
Tapi ada satu tantangan juga. Kita kan lebih melihat dosa politikus. Harusnya kan kita perlu melihat kinerjanya bagaimana. Politikus yang lain melakukan apa. Jangan sampai politikus di DPR yang diam saja, tidak melakukan apa-apa, tapi tidak kita permasalahkan juga. Banyak loh, anggota dewan tuh yang tidak korupsi, tapi juga tidak berkontribusi. Tidak ada dosanya, tidak ada pahalanya juga. Jangan-jangannya ini jauh lebih banyak. Karena kita kan mengenalnya beberapa orang saja ya yang kerja. Yang lain? Terima gaji saja.
Dulu di gerakan antikorupsi mau bikin gerakan tagih janji. Akuntabiltas kan berarti pertanggungjawaban institusi. DPR melapor kepada publik mengenai fungsi legislatif, pengawasan dan anggaran. Nah, bagaimana mendorong akuntabilitas anggota dewan secara personal.
Menurut undang-undang bisa. Dituliskan, anggota dewan wajib mempertanggungjawabkan secara politis dan moral ke daerah pemilihannya. Itu ada. Tapi mekanismenya seperti apa, tidak jelas.
Kalau laporan institusi DPR kan jelas. Ada laporan tahunannya. Undang-undang yang telah dibuat berapa. Pengawasan capaiannya apa. Setiap tahun anggaran keluar berapa. Itu kan tercatat.
Yang personal masih belum. Padahal legitimasi DPR itu personal. Pada saat pemilu, kita memilih orang, bukan partai. Maka pertanggungjawabannya pun yang utama adalah personal. Sayangnya baru dinyatakan dalam undang-undang sebatas pertanggungjawaban politik dan moral.
Bagaimana selama ini peraktek pertanggungjawaban personal itu dilakuka anggota dewan?
Perakteknya bisa dibilang tidak ada. Hanya beberapa lah. Yang aku tahu, Si Ahok (Basuki Tjahya Purnama) itu.
Bentuk laporan pertanggungjawabannya seperti apa?
Bentuknya laporan tebal. Dia mencatat telah melakukan apa saja salama masa jabatannya. Sebetulnya itu yang perlu dilakukan anggota dewan. Ini sangat mungkin dilakukan. Dalam rapat dewan kan ada notulensinya. Dari situ kelihatan siapa saja yang punya gagasan. Ini perlu didorong sebagai bentuk akuntabilitas personal.
Anggota DPR ini merupakan jabatan yang tak dibatasi periodesisasinya. Berapa kali pun seseorang mencalonkan, itu bisa. Karena itu mengkampanyekan akuntabiltas personal itu penting. []