September 13, 2024

Sebelum Partai Korup Terpilih Kembali

Aku punya ide bikin partai baru
Namanya partai anjing
Logo gambar partai garis segilima
Tengahnya gambar anjing
Punya program kerja korupsi terang-terangan
Yang tak mau korupsi jangan masuk partai kami
Kuasai suara di dewan rakyat yang terhormat
Korupsi yang banyak biar modal balik lagi

Begitu lirik lagu “Partai Anjing” oleh Iksan Skuter menutup film “Sebelum Pagi Terulang Kembali” (SPTK). Setelah “K VS K”, film produksi Cangkir Kopi bersama Transparency Internasional Indonesia ini mencoba lagi menyampaikan antikorupsi melalui media film. Ada upaya di dalam cerita untuk mengaitkan langsung tema korupsi dengan realitas anggota dewan yang terpilih melalui pemilu beserta eksistensi pemberantasan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Mungkin ini yang dimaksud “tambahan” menurut KPK saat menilai “kurang” film “K VS K”.

SPTK bercerita tentang satu keluarga dari pasangan suami-istri yang idealis. Yan (Alex Komang) pejabat berintegritas di Dinas Perhubungan dan Ratna (Nungki Kusumastuti) dosen etika di Jurusan Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Keluarga Yan-Ratna berelasi dengan anggota parlemen, secara publik dan privat sekaligus. Anggota DPR RI bernama Hasan (Ibnu Jamil) merupakan calon suami Dian (Adinia Wirasti), anak terakhir Yan. Hasan mau mengeruk keuntungan pribadi dari investasi pembangunan pelabuhan. Undang-undang dan anggaran bisa disiasati tapi penerimaan tender pihaknya harus disahkan Yan sebagai wakil ketua Dinhub.

Dari cerita SPTK kita kuat menangkap, keidealismean peran publik bisa sangat gagap di ranah privat bernama keluarga. Kebenaran, seperti judul film ini, tak bisa langsung diucap dalam keintiman relasi keluarga. Seperti gambaran poster film, bangunan kehormatan Yan malah menjadi suram karena Yan berikan begitu saja proyek pembangunan pelabuhan kepada anak keduannya, Satria (Fauzi Badilah) yang ternyata berkolusi dengan Hasan. Merujuk makna integritas, ketaksesuaian penerapan kebenaran di ranah privat yang sifatnya keseharian justru akan merusak penerapan kebenaran di ranah publik.

Basa-basi antikorupsi di pemilu

Judul film SPTK bersama lagu Partai Anjing menyadarkan, ada kepuitisan pesan dari kedua karya seni ini. Jika kita disodorkan kedua judul itu tanpa pemberitahuan bahwa keduanya karya seni tentang (anti)korupsi, kita tak tahu sebelum menikmati isinya. Nomativisme tak langsung ini mengingatkan basa-basi antikorupsi di pemilu. Setelah transparansi dan akuntabilitas keuangan partai dan dana kampanye tak kuat diupayakan melalui UU No. 8/2012 tentang Pemilu Legislatif dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum, LSM antikorupsi dan pemilu pun tak optimal membuat penilaian kualitas partai peserta pemilu berdasar jejak rekam berperspektif antikorupsi.

Bagi kita yang punya perhatian di isu antikorupsi pasti mengetahui, ada partai (beserta anggota dewannya) yang korup. Tapi lucunya kita tak berani mengucap di publik bahwa partai-partai tertentu lebih korup. Ini menjadi paradoks saat kita menempatkan korupsi sebagai salah satu permasalahan besar Indonesia. Kenapa kita tak berani mencegah pemerintahan korup melalui pemilu dengan mengajak tak memilih partai yang relatif lebih korup?

Padahal, penting memberikan informasi partai yang relatif bersih ke masyarakat untuk memilih di pemilu. Aktivis antikorupsi Reza Syawawi mengatakan (6/1/2013), info partai korup sangat membantu warga untuk mengerti isu antikorupsi di pemilu. Bagi peneliti bidang hukum TII ini, info partai korup mendorong partisipasi warga mencegah pemerintahan korup melalui pemilu dengan memilih partai yang relatif bersih. Istilah integritas, transparansi, dana organisasi, dan kampanye partai masih jauh dimengerti warga.

Aktivis antikorupsi lainnya, Donal Fariz menjelaskan (11/2/2014), partai tak bisa dilepaskan dari kadernya yang korup. Bagi peneliti bidang korupsi politik ICW ini, tindak pidana korupsi yang dilakukan anggota dewan tak bisa bersih dari keterkaitan partai dengan menyatakan anggota dewan tersebut sebagai oknum. Kader partai di parlemen atau fungsionaris partai yang terjerat kasus korupsi tak bisa dipisahkan dengan partainya. Kader dan partai ibarat dua mata uang. Tindak suap dan korupsi yang dilakukan kader partai menggambarkan partai itu sendiri.

Akhir 2012 ICW mempublikasikan peringkat partai terkorup. Partai Golkar berada diurutan pertama dengan 12 kadernya yang terkena kasus korupsi. Golkar diikuti Partai Demokrat (10) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (8). Peringkat ini bersumber dari pemberitaan media. Angka hasil akumulasi anggota dewan asal partai dari DPR RI, DPRD I, dan DPRD II yang mendapatkan status hukum terpidana korupsi.

Kenapa peringkat partai terkorup tak dikeluarkan ICW di 2014? Padahal kebutuhannya semakin meningkat bagi masyarakat untuk memilih di pemilu. Malah staf khusus kepresidenan, Andi Arief yang di 2014 membuat ranking partai korup berdasarkan jumlah korupsi anggota DPR RI dari tahun 2004 sampai 2014. Didapat Golkar diurutan pertama dengan perbandingan anggota fraksi dan perolehan kursi, 40/235 (17%); lalu PDIP 27/203 (13%); Demokrat 17/205 (8%); PAN 8/99 (8%); PKB 2/80 (3%); PPP 2/96 (2%); dan PKS 1/102 (1%). Tentu saja ranking ini tak meluas karena tak diapresiasi dan didukung masyarakat, khususnya LSM antikorupsi.

KPK melalui divisi pelayanan masyarakatnya melakukan inisiatif Gerakan Pemilu Bersih serta kampanye bertema “Pilih yang Jujur”. Hal ini patut diapresiasi karena sejak berdiri di tahun 2003, ini kali pertama KPK terlibat di pemilu. Sudah ada pemahaman di KPK, fungsi pencegahan korupsi dari KPK menjadi strategis diterapkan di pemilu. Dari pemilu lah anggota dewan dipilih, lalu anggota dewan ini pun akan menentukan posisi eksekutif, menteri, dan orang-orang di komisi.

Tapi pertanyaannya, siapa caleg yang jujur? Partai apa yang banyak calegnya berjejak rekam berintegritas atau antikorupsi? “Pilih yang Jujur” menjadi tak strategis (jika tak dibilang sebatas slogan) karena berada di konteks ketidaktahuan pemilih, siapa yang jujur? Sikap KPK di pemilu dengan aksi “Pilih yang Jujur” terlalu puitis di konteks tingginya kebutuhan informasi mengenai kualitas partai di pemilu berdasar perspektif antikorupsi.

Padahal, menurut Laporan Akhir Tahun KPK dari 2010-2013, bisa dikumpulkan nama-nama orang partai di pemerintahan yang terkait kasus korupsi. Sayang, kita tak bisa tahu berapa jumlah kerugian negara dari setiap kasus itu. Kita pun harus mencari, setiap nama koruptur dari KPK itu berasal dari partai mana. KPK seharusnya bisa lebih membuka dan memudahkan akses data nama-nama orang partai yang terkait kasus korupsi dan telah berstatus hukum sebagai koruptor. Jika memang kita tak ada sentimentil dukungan terhadap personal atau partai dan meyakini data beserta status hukum para koruptor dalam meranking partai, kenapa tak dilakukan?

Rilis ICW mengenai daftar 36 nama caleg yang diragukan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi tak relevan dengan kompleksitas Pemilu Legislatif 2014. Angka 36 nama caleg itu tak ada signifikansinya dalam sebaran 77 daerah pemilihan (dapil) DPR RI, 259 dapil DPRD provinsi, dan 2.102 dapil DPRD kabupaten/kota.

Pemilu Legislatif 2014 yang menggunakan sistem proporsional daftar terbuka untuk DPR RI, DPRD I dan II (beserta sistem mayoritarian banyak wakil untuk DPD) kurang lebih menampung 200.000 caleg dari partai politik maupun perseorangan DPD di seluruh Indonesia. Jika 12 partai nasional mencalonkan 10 nama di setiap tingkat perwakilan, ada 360 nama caleg di surat suara. Masyarakat Aceh harus ditambah 3 partai lokal. Ini belum termasuk caleg DPD yang di setiap provinsinya kuran lebih 20 nama caleg. Jadi, pemilih ditawarkan kurang lebih 400 nama caleg dari total tiga atau empat surat suara. Dari keadaan terlalu banyaknya pilihan yang disertai kurangnya info jejak rekam caleg dan belum pahamnya rata-rata pemilih mengenai pemilu, Pemilu legislatif 2014 mengalami dampak berbalik, tak menawarkan apa-apa kepada pemilih untuk menjadi rujukan memilih.

Informasi peringkat partai terkorup atau terbersih penting karena bisa membantu masyarakat memilih. Jumlahnya hanya 12 (di Aceh ditambah 3 partai lokal). Jauh lebih sedikit dibandingkan caleg yang jumlahnya bisa 400-an di surat suara. Dari sedikitnya pilihan partai itu kita info partai korup/bersih memudahkan dalam memilih. Meski pasal 5 UU No. 8/2012 menyatakan Pemilu 2014 menggunakan sistem proporsional daftar terbuka untuk DPR serta DPRD I dan II (untuk DPD bersistem mayoritarian banyak wakil), pemilih tetap bisa memilih partai.

Penting menghukum partai yang banyak kader/orang-nya bermasalah hukum. Partai apa yang banyak kadernya korup dan merugikan negara saat memegang jabatan publik? Pertanggungjawaban apa dari partai secara lembaga terhadap permasalahan tersebut? Tak ada. UU pemilu, UU partai politik, dan UU lembaga publik pun tak bisa menunda keikutsertaan pihak-pihak bermasalah hukum di pemilu untuk menjalani pengadilan. Pemilu seharusnya bisa menghukum pihak/partai itu. Tentu saja dengan cara, setiap diri kita datang ke TPS memilih partai yang relatif tak korup.

Pemungutan suara Pemilu Legislatif 2014 telah berlalu. Tak heran hasilnya menempatkan kembali partai korup meraup banyak suara. Dari semua hasil hitung cepat, peringkat perolehan suara partai mirip dengan peringkat partai korup. Kita tahu daerah seperti Banten, Riau , Sulawesi Selatan, Gorontalo, merupakan daerah yang korupsi, kolusi, dan nepotismenya dibangun dari kuasa partai dan dinasti keluarga, sekaligus. Para pesohor yang berjaya dari kuasa pemerintahan Orde Baru yang korup terpilih lagi bersama keluarga dan kerabat.

Di Pemilu 2019 jangan sampai kita punya Yan Syndrom atau sindrom keluarga Yan-Ratna di SPTK. Kita tahu apa itu etika integritas tapi gagap menilai dengan sikap saat ada partai yang jejak rekam kelembagaan serta para kadernya yang koruptif. Ada kemungkinan Indonesia kembali menerapkan sistem proporsional daftar tertutup. Semoga dengan sistem yang kembali memilih partai (bukan personal caleg), kita bisa dengan kuat membuat info peringkat partai yang korup atau relatif bersih untuk ditawarkan kepada masyarakat. Sangat penting dilakukan, sebelum partai korup terpilih kembali. []

USEP HASAN SADIKIN