November 15, 2024

Sejumlah Ketentuan Pemilu Mendukung Oligarki

Sejumlah ketentuan hukum mengenai pemilu dan tata negara Indonesia mendukung oligarki. Pengaruh penguasaan segelintir orang dalam pemerintahan menguat karena ketentuan partisipasi pemilu tidak inklusif. Jika sejumlah ketentuan ini tak diubah, pemilu akan terus menghasilkan pemerintahan oligarkis menyerta kebijakannya yang merusak fungsi negara.

“Presiden Indonesia berwenang dalam proses pembuatan undang-undang sejak dari awal. Proses ini lebih memungkinkan kesepakatan melalui lobi tertutup dibanding proses terbuka yang terakses publik,” kata akademisi hukum Universitas Gajah Mada, Zainal Arifin Mochtar dalam diskusi “Pemilu, Pilkada, dan Oligarki” yang diadakan secara daring oleh Muhammadiyah (22/7).

Kewenangan besar presiden itu semakin mungkin diintervensi oligarki karena ada syarat ambang batas pencalonan presiden dalam undang-undang pemilu. Bagi Zainal, jika ambang batas pencalonan dihapus maka makin banyak calon presiden dan makin banyak kemungkinan keterpilihan presiden sehingga oligarki lebih sulit mengintervensi kebijakan.

Direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menambahkan ketentuan hukum yang mendukung oligarki dalam undang-undang pemilu dan partai politik. Selain ambang batas pencalonan presiden dan kepala daerah, ada juga ketentuan pendirian partai politik dan pencalonan jalur perseorangan yang makin berat serta pelaporan keuangan partai politik dan dana kampanye hanya basa-basi.

“Ada juga sentralisasi rekrutmen di pemilu dan pilkada khususnya nominasi dari DPP (dewan pengurus pusat) partai politik dalam pencalonan,” tambah Titi.

Partai politik yang sentralistik ini pun bagi akademisi Universitas Muhammadiyah Malang, Sulardi sebagai sebab menguatnya oligarki. Sulardi menyinggung contoh pencalonan di pilkada yang ditentukan oleh elite politik di pusat, Jakarta. Menurutnya, mengubah ketentuan dalam undang-undang untuk menciptakan iklim transaksi politik dan partisipasi pemilu yang terbuka akan bisa mengatasi oligarki.

“Sudah saatnya dibangun partai lokal di semua daerah,” kata Sulardi.

Direktur eksekutif Lokataru, Haris Azhar mengatasi oligarki tak cukup dalam ranah politik dan undang-undang bidang politik. Perlu juga perbaikan undang-undang bidang lain. Menurut Haris, yang juga terjadi adalah oligarki hukum yang menghasilkan sejumlah undang-undang dengan ketentuan yang melemahkan masyarakat sipil.

“Jika dulu pemerintahan oligarkis masih mengakali hukum yang ada, sekarang oligarki membuat hukum untuk melemahkan masyarakat sipil,” kata Haris.

Haris mengusulkan penguatan masyarakat sipil harus diupayakan terus menerus. Kuatnya masyarakat sipil ini yang akan masuk ke sektor politik dan ekonomi untuk melemahkan oligarki. Organisasi besar seperti Muhammadiyah penting meluaskan jaringannya dengan kontributif menguatkan representasi masyarakat sipil yang lebih kecil.

Zainal berpendapat, solusi mengurangi kekuatan oligarki adalah salah satunya menghapus ambang batas pencalonan presiden dan kepala daerah. Secara lebih luas sistemik, kekuasaan negara perlu dikurangi karena keadaan ini lebih memudahkan oligarki tumbuh dengan melakukan jual beli kebijakan.

Titi merekomendasikan, sejumlah ketentuan yang menghambat partisipasi inklusif, bebas, dan setara harus dihapus dalam undang-undang pemilu dan partai politik. Selain ambang batas pencalonan presidan/kepala daerah, ada juga ketentuan berupa mempermudah syarat jalur perseorangan, peningkatan bantuan keuangan partai politik, menolak peningkatan ambang batas parlemen, mengadopsi sistem integritas partai politik (KPK dan LIPI), sanksi diskualifikasi, dan lainnya. []

USEP HASAN SADIKIN