August 8, 2024

Sudiyatmiko Aribowo: “Kanibalisme” Caleg Disebabkan Pengawasan yang Lemah

Tahap rekapitulasi Pemilu DPR, DPD, dan DPRD (Pileg) 2014 menjadi momen para peserta pemilu, khususnya caleg, menilai Pileg 2014 sebagai pemilu yang paling vulgar pelanggarannya. Praktek pencurian suara antarcaleg di dalam satu partai (kanibalisme caleg) dinilai disebabkan tawaran oknum penyelenggara pemilu di tingkat TPS.

Sistem proporsional daftar terbuka dipilih lalu diterapkan pertama kali di Pemilu 2009 untuk memutuskan oligarki partai. Melalui pilihan rakyat secara langsung terhadap personal calon legislator, ke(se)wenangan partai coba dihilangkan dengan menguatkan keterwakilan personal terhadap pemilih. Bagaimana mengetahui praktek kanibalisme caleg terjadi dalam sistem proporsional daftar terbuka, rumahpemilu.org mewawancara Kuasa Hukum PDIP untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU), Sudiyatmiko Aribowo melalui telepon (15/10).

Mengapa penyelesaian sengketa antarcaleg pascapemilu diselesaikan di mahkamah partai?

Pada umumnya, caleg-caleg sejak awal memilih untuk diselesaikan melalui mahkamah partai. Para caleg harus buat pernyataan bahwa mereka memilih penyelesaian sengketa antarcaleg melalui mekanisme mahkamah partai. Dasarnya salah satunya, Mahkamah Konstitusi (MK) menyarankan perselisihan antarcaleg satu partai dibawa ke internal.

Sampai dengan saat ini kita sudah memeriksa sekitar 216 perkara, mulai dari perkara tingkat DPR RI sampai dengan perkara tingkat DPRD kabupaten/kota. Kita akan putuskan mana yang memang terbukti mana yang tidak. Tentunya kita tetap memakai hukum acara sebagaimana mahkamah pada umumnya. Jadi ada proses permohonan, ada proses jawaban, pembuktian, dan pemeriksaan bukti pun kita arahkan sebagaimana yang berlaku di peradilan.

Lalu, apa tindak lanjut dari hasil yang didapat mahkamah partai?

Mahkamah ini nanti akan memberikan putusan yang sifatnya seperti Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memberikan rekomendasi pada Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai untuk memberikan tindakan. Artinya, apakah itu bisa pemberhentian bisa penggantian antar waktu (PAW), bisa juga sanksi-sanksi yang sifatnya pencabutan hak untuk tidak diperboleh mencalonkan dalam struktural partai, hak untuk tidak boleh mencalonkan lagi.

Tapi kita harapkan bahwa proses mahkamah ini diakui dalam undang-undang partai politik. Artinya bahwa putusan mahkamah inipun bisa diajukan semacam proses banding di pengadilan negeri dan kemudian langsung kasasi. Dari situ nanti semua orang bisa melihat proses di mahkamah ini berjalan atau tidak.

Apa masalah mendasar sehingga ada calon mengambil suara calon lain, khususnya pengambilan suara di dalam satu partai?

Kami melihat dari bukti yang para caleg berikan. Memang, lebih banyak disebabkan karena lemahnya pengawasan penyelenggara pemilu di tingkat menengah ke bawah. Keadaan ini menjadikan kesempatan-kesempatan bertindak curang lebih terbuka.

Bagaimana memediasi antarcaleg yang bersengketa?

Kami mesti mempertemukan mereka. Dalam sengketa ini pasti ada pelapor dan ada terlapornya. Masing-masing punya dalil, punya bukti ini itu yang kemudian kami pertemukan. Kemudian kita nilai bukti masing-masing. Dari situ sudah mulai saling menyarankan pada para caleg untuk menyelesaikan permasalahan di antara mereka.

Dari pihak struktur juga ada upaya penyelesaian dan upaya perdamaian. Ketika usaha-usaha itu tidak ketemu, kemudian barulah ditarik ke mahkamah partai. Jadi sudah mulai proses mediasi sejak awal. Tapi ada juga yang memang bukan karena dari awal prosesnya tidak ketemu sehingga langsung dibawa ke mahkamah untuk diuji.

Apa sikap partai terhadap keadaan ini?

Partai bersikap tegas saja. Kalau memang terbukti berdasarkan bukti-bukti yang otentik kita putuskan melaporkan caleg terpilih berdasar kecurangan. Partai akan berhentikan, kemudian dilakukan PAW (pergantian antarwaktu). Kalau kemudian yang dilaporkan termasuk jajaran ketua partai kita lepas dari jabatannya.

Apa ini terkait dengan oligarki partai?

Tak ada kaitannya. Lebih disebabkan karena lemahnya pengawasan penyelenggara pemilu di tingkat menengah ke bawah. Mengenai penyelesaian pun, ini murni permintaan dari bawah. Begitu ada mekanisme penyelesaian justru kondisinya semakin bisa kondusif. Sehingga nantinya mereka saling menghormati keputusan itu. Karenakan sama-sama diberi kesempatan untuk membuktikan, sama-sama diberi kesempatan memberikan jawaban. Dulukan tidak ada mekanisme penyelesaian sehingga kondisi tidak kondusif.

Apakah ada kecenderungan pengambil suara punya hubungan lebih dekat dengan elite atau pemilik partai?

Tidak ada kaitan dengan para elite partai. Di antara para caleg yang gugat-menggugat ini bukan pengurus partai. Jadi ketika kami tanya kenapa ini begini, karena memang rata-rata banyak peluang pelanggaran karena lemahnya pengawasan. Kanibalisme suara antar caleg ini bukan hal yang baru. Sudah pernah terjadi di pemilu sebelumnya.

Berdasarkan hasil temuan dan laporan mahkamah partai apakah terjadi peningkatan kasus kanibalisme suara yang terjadi saat ini dibandingkan dengan pemilu lalu?

Mahkamah partai ini baru keberadaannya bagi semua partai.  Baru Undang-undang Parpol 2011 yang membuka. Kita tidak bisa membandingkan dengan pemilu sebelumnya karena memang mekanismenya baru ada di pemilu saat ini. Kita baru bisa membandingkan dengan Pemilu 2019 nanti. Kita belum bisa mengukur dengan Pemilu 2014 ke belakang.

Masa tugas mahkamah partai ini sampai kapan?

Mahkamah partai ini dasarnya kan Surat Keputusan (SK). SK artinya sifatnya dia bekerja sampai dengan permasalahan yang di SK kan itu selesai. Tapi dari kita, kita membatasi sampai November ini semua sudah selesai terperiksa dan kemudian dituangkan ke rekomendasi tindakannya. Semacam putusan rekomendasi. Kalau memang nantinya diperpanjang oleh DPP, yah kita menjalankan tugas saja. []