Penambahan kursi belum terjamin dapat mengatasi persoalan disproporsional. Penambahan kursi malah berkonsekuensi pada pemborosan anggaran.
Isu penambahan kursi mula-mula muncul untuk mengatasi persoalan representasi dan disproporsionalitas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Penambahan jumlah penduduk dan daerah otonom baru jadi alasan untuk menambah kursi. Selain itu, daerah yang sudah lama tidak memperoleh kursi perwakilan sebagaimana semestinya (under represented) atau daerah yang memiliki kursi berlebih (over represented) jadi alasan bagi DPR untuk menggulirkan wacana penambahan kursi.
Tarik ulur
Persoalan alokasi kursi yang tak taat pada prinsip representasi dan proporsionalitas jadi persoalan laten yang muncul dari pemilu ke pemilu. Pada Pemilu 2004, ada inkonsistensi penerapan alokasi kursi untuk Provinsi Papua, Maluku, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Aceh. Pemilu 2009, alokasi 24 kursi DPR untuk Sulawesi Selatan dinilai berlebih (over represented).
Pada Pemilu 2014, kursi DPR untuk Riau dan Kepulauan Riau jadi yang paling mahal. Provinsi Kepulauan Riau dengan jumlah penduduk 1.685.698 berhak memperoleh empat kursi DPR. Tetapi, UU No 8/2012 hanya mengalokasikan tiga kursi. Implikasinya satu kursi DPR di Provinsi Kepulauan Riau setara dengan 561.899 jumlah penduduk di Kepri. Padahal, rata-rata nasional satu kursi DPR hanya 405.335 penduduk.
Dari hasil hitung-hitungan pemerintah, selain Riau dan Kepulauan Riau, ada daerah lain yang butuh tambahan kursi. Daerah itu antara lain Lampung, Kalimantan Barat, Papua, Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Utara sebagai daerah otonom baru.
Hitung-hitungan ini langsung ditelan DPR. Dalam Rapat Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu, Benny K. Harman—pimpinan Pansus RUU Pemilu dari Fraksi Partai Demokrat—menjelaskan secara kronologis, Pansus RUU Pemilu menghendaki 19 kursi tambahan tanpa realokasi kursi. DPR hendak menambah dua kursi untuk Riau, Kalimantan Barat, Papua, dan Lampung; satu kursi untuk Sumatera Utara, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Jambi, NTB, dan Sumatera Selatan; serta tiga kursi untuk Kalimantan Utara. DPR juga tak mau mengurangi kursi pada daerah-daerah yang kelebihan kursi. Instabilitas politik di daerah jadi alasan DPR.
“Muncul angka 19 itu ada sejarahnya. Waktu itu kita minta daerah yang tidak berhak tak boleh dapat lagi. Harus dikembalikan pada yang berhak. Lalu disepakati waktu itu untuk menjaga stabilitas bagaimana yang existing itu tidak diganggu gugat. Kita mengisi daerah-daerah yang berhak tapi diambil. Maka muncullah angka itu,” kata Benny K. Harman saat rapat Pansus di Kompleks Parlemen (29/5).
Sementara pemerintah yang di rapat hari itu diwakili Sekretaris Jendral (Sekjen) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tak mau ada penambahan 19 kursi. Simulasi pemerintah menghendaki realokasi—kursi yang kurang diambil dari daerah yang kelebihan kursi. Kalaupun ditambah, Pemerintah hanya menghendaki tambahan tiga kursi untuk daerah otonom baru Kalimantan Utara.
“Kami push ke 560. Berkembang lah di Pansus yang lebih tak dikurang. Harusnya penambahan itu 0 karena kita push ke 560 Justifikasi metodologisnya gak nemu ini 579. Karena yang kelebihan tak dikurangi,” tegas Yuswandi A. Temenggung, Sekjen Kemendagri, saat rapat (29/5).
DPR tetap ngotot meminta 19 kursi tambahan. Yandri Susanto, pimpinan Pansus RUU Pemilu dari Fraksi PAN, mengaku keputusan untuk tak mengurangi daerah yang kelebihan kursi telah disepakati Pansus. Soal formula, ia menekankan tak akan ada rumus yang cocok karena kondisi Indonesia khas.
“Persoalan tambah kursi ini gak akan ketemu kalau pakai satu rumus. Kalau pendekatan wilayah, pendekatan penduduk gak akan ketemu. Kalau pakai metode tidak akan ketemu. Ini Indonesia,” tegas Yandri.
Rapat di hari Senin itu buntu. Pemerintah dan DPR sama-sama teguh pada pendiriannya.
Tak Tepat
Dalam rapat lanjutan keesokan harinya (30/5), Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri turun tangan. Ia membuka peluang penambahan 10—15 kursi.
“Pemerintah memahami usulan Pansus dengan pertimbangan tingkat kemahalan kursi dsb. Awalnya pemerintah masih berkeinginan tambahan 5 kursi: 3 untuk Kalimantan Utara, 1 Riau, 1 Kepri. Hasil simulasi dengan mempertimbankan usulan, alasan Pansus 19 kami paham. Kami hitung gimana kalau 10 sampai 15? Pembagiannya terserah Pansus,” kata Tjahjo (30/5).
Usulan yang terasa bak kesepakatan politis itu langsung disetujui Pansus. Tak lebih dari 15 menit palu diketukkan tanda persetujuan penambahan 15 kursi. Pilihan ini disebut sebagai pilihan jalan tengah yang bijaksana. Penentuan 15 kursi dialokasikan ke daerah mana ditentukan kemudian bersama Pemerintah.
Kesepakatan Pansus dan Pemerintah ini sontak menuai kritik. Penambahan kursi memang diyakini dapat mengatasi persoalan disproporsionalitas di daerah yang under represented atau kekurangan kursi, tapi persoalan disproporsionalitas di daerah yang kelebihan kursi tak terpecahkan. Kesenjangan akan tetap terjadi.
“Proporsionalitas alokasi kursi DPR ke provinsi belum terjamin,” kata Heroik M. Pratama, peneliti pada Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), saat dihubungi (2/6).
Apalagi, Pemerintah menyerahkan pengalokasian tambahan kursi itu ke DPR. Hal tersebut membuka ruang untuk tarik-menarik kepentingan politik di DPR atau anggota Pansus tertentu di Pemilu 2019. Partai yang punya basis kekuatan di daerah tertentu akan membuat anggotanya memperjuangkan penambahan kursi di daerah tersebut untuk mengkatrol potensi raihan kursi di Pemilu 2019.
Penambahan kursi juga dinilai tak sesuai dengan prinsip efisiensi. Penambahan 15 kursi berkonsekuensi pada pemborosan anggaran negara sebesar 56 milyar per tahun. Indonesia Budget Center (IBC) menyayangkan sikap anggota Pansus Rancangan Undang-undang pemilu yang menganggap remeh pemborosan ini.
“IBC menyayangkan, DPR menganggap anggaran Rp56 milyar/tahun dianggap remeh temeh, di tengah Presiden Jokowi sedang berupaya melakukan penghematan anggaran dan pengetatan belanja konsumtif,” kata Roy Salam, Direktur Eksekutif IBC, dalam keterangan persnya (30/5).
Hasil hitungan IBC, seorang anggota DPR menelan dana negara Rp3,7 milyar per tahun. Anggaran itu meliputi lima item. Pertama, gaji dan tunjangan sebesar Rp694,73 juta per tahun. Kedua, pengadaan tenaga ahli dan asisten sebanyak lima orang yang mencapai Rp420 juta per tahun. Ketiga, biaya uang muka untuk pembelian kendaraan pribadi sebesar Rp116,65 juta. Keempat, biaya kegiatan reses sebesar Rp2,36 milyar per tahun. Kelima, biaya pengadaan dan operasional rumah aspirasi Rp150 juta per tahun.
Anggaran tersebut belum termasuk biaya sarana dan prasana pendukung lainnya seperti biaya pembangunan rumah dinas baru dan perlengkapannya, biaya pembangunan ruang kerja anggota DPR baru dan perlengkapannya, anggaran untuk rapat-rapat alat kelengkapan dewan dan anggaran perjalanan dinas di dalam dan luar negeri.
Dari hitung-hitungan itu, penambahan kursi bukan pilihan yang bijak. IBC merekomendasikan untuk mempertahankan jumlah anggota DPR saat ini dan menghitung kembali alokasi kursi ke daerah pemilihan secara adil dan proporsional.