Mahkamah Konstitusi membatalkan semua permohonan perselisihan hasil Pilkada 2015 yang melewati tenggat waktu pendaftaran 3 x 24 jam. Ada 41 permohonan yang ditolak, sebagian besar karena tak tepat waktu. Seperti apa penjelasan terhadap keadaan ini? Apakah ada harapan terobosan penegakan keadilan di MK?
Berikut wawancara rumahpemilu.org dengan direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini di Kantor Perludem, Gandaria Tengah III, Jakarta Selatan (18/1):
Sebagian besar permohonan ditolak karena keterlambatan waktu pendaftaran, komentarnya?
Saya sudah memperkirakan ini. Dari banyaknya pemohon, yang pertama-tama dilakukan MK adalah mencoret perkara-perkara yang melewati tenggat waktu pendaftaran 3 x 24 jam. Berdasarkan catatan Perludem, ada 37 perkara yang lewat batas tenggat waktu pendaftaran, 3 x 24 jam.
Wajarkah ini?
Dalam hal ketetatan waktu ini, tak masalah menurut saya. Dari pemilu ke pemilu persyaratannya sama. Sejak dulu diterapkan ketat oleh MK. Sosialisasi dan diseminasinya juga luas dan masif.
Ketetatan waktu pendaftaran ini bukan sesuatu yang pertama kali diterapkan dan dibelakukan MK. Wajar jika MK bersikap tegas soal syarat ini. Â Justru aneh jika MK mengabaikan syarat tenggat waktu pengajuan perselisihan hasil pilkada ini.
Bukankah ini menambah kesan MK terlalu kalkulatif? Para pencari keadilan pilkada ini dimungkinkan punya permasalahan krusial di pilkada.
Intinya, kalau memang keberatan atas hasil atau proses pilkada, persiapkanlah segala sesuatu secara matang dan baik. Jika MK tak ketat soal tenggat waktu pendaftaran itu, coba kita pertimbangkan posisi pasangan calon di pihak terpilih atau yang berseberangan dengan Pemohon. MK akan dinilai tak konsisten dan tak menjamin kepastian hukum.
Lalu apa lagi kemungkinan dari tahap perselisihan hasil Pilkada 2015 ini?
Saya masih punya keyakinan MK akan mempertimbangkan hal lain, tidak sekadar selisih suara. Ini Mahkamah Konstitusi, lembaga yang paling kita harapkan dalam menjaga demokrasi, termasuk keadilan hasil pemilu atau pilkada.
Memastikan, pendapat Perludem soal batasan selisih suara?
Perludem sejak dulu tak setuju syarat pembatasan selisih suara dalam permohonan sengketa hasil pilkada di MK. Bagi kami ini merupakan pembatasan untuk mencari keadilan. Sudah tak relevan menggugat pasal 158 Undang-undang Pilkada. Yang relevan digugat jika MK menjadikan syarat selisih suara untuk menerimaan permohonan. 158 harusnya ditafsirkan untuk mengeluarkan putusan bukan penerimaan permohonan.