Tak hanya di daerah, politik dinasti pun terjadi di pemerintahan nasional. Ditangkapnya Ratu Atut Choisiyah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bisa menjadi momentum mengikis politik dinasti di yang terjadi di provinsi, kabupaten/kota, hingga bahkan kuasa partai nasional.
Prosedur demokrasi bernama pemilu baiknya dikuatkan melalui momentum ini untuk menghasilkan pemerintahan yang lebih demokratis. Pemilihan langsung presiden dan kepala daerah, sudah sesuai konstitusi yang menempatkan sistem pemerintahan presidensial bagi Indonesia. Ini pun sesuai dengan makna keterwakilan yang mendekatkan rakyat sebagai pemilih kepada pilihan pemimpinnya.
Wacana beralihnya pemilihan kepala pemerintahan (khususnya pilkada) melalui dewan, melupakan pengalaman kelam Orde Baru yang menciptakan dinasti politik. Baik nasional maupun lokal, dinasti politik dikuatkan melalui penguasaan dewan. Corak kuasa dinasti politik di pusat dan daerah bercorak politik partai yang sama.
Bagaimana baiknya pemilu yang demokratis bisa menghasilkan pemerintahan demokratis yang lepas dari politik dinasti. Berikut ini wawancara reporter rumahpemlu.org, Nelvia Gustina bersama dengan pegiat politik dan pemilu dari Soegeng Soerjadi Syndicate, Toto Sugiarto di Jakarta (2/1).
Apa yang menyebabkan pemilu dan pilkada menghasilkan dinasti politik?
Demokrasi memberikan kemungkinan bagi semua pihak untuk mengembangkan dirinya. Di dalam kondisi seperti ini, pihak-pihak yang memiliki kelebihan sumber daya akan lebih mudah memenangkan persaingan. Sumber daya ini dapat berupa finansial, politik, dan kapital.
Contoh saja di Banten, keluarga Atut bisa begitu mendominasi karena punya sumber daya kapital keluarga. Ia tumbuh dari keluarga yang terhormat, terpandang, dan berkharisma. Atut juga punya sumber daya finansial luar biasa kekayaannya dan politik dengan menguasai DPD Partai Golkar.
Ketiga sumber daya ini dimiliki secara penuh oleh keluarga Atut. Hal ini sangat memungkinkan terjadinya dinasti politik yang akan semakin besar. Di dalam era demokrasi, liberalisasi, Â dan pasar bebas, siapa yang mampu bersaing, memenangkan persaingan dia akan menjadi pemenang.
Akumulasi ketiga sumber daya ini membuat kompetisi menjadi tak adil. Kompetisi dikuasai salah satu keluarga dan pada akhirnya, seperti kejadian di Banten. Itulah bentuk berbagai sumber daya dikuasai secara bulat oleh satu keluarga.
Mengapa politik dinasti dalam pemilu cenderung buruk?
Di Amerika Serikat, Kennedy dan George Bush juga mempraktikan dinasti politik. Mereka cenderung tak berdampak buruk karena sistemnya sudah baik. Begitu pun, undang-undang regulasinya sudah tertata dengan baik dan pelarangan-pelarangannya sudah jelas. Kemudian, rakyat pemilih sudah terdidik, sudah well inform.
Berbeda dengan di Indonesia, sudah banyak masyarakat yang belum terdidik, banyak yang belum well inform, banyak yang kekurangan secara ekonomi. Itu semua membuat banyak pemilu pada akhirnya pragmatis. Mencari keuntungan sempit saja. Siapa yang bisa memberikan keuntungan pada hari ini akan dipilih.
Selain itu, politik dinasti dapat terjadi karena kekuasaan absolut terpusat pada satu orang. Di setiap kekuasaan absolut akan mudah memunculkan penyalahgunaan kekuasaan. Tak heran jika di satu daerah, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatifnya dikuasai satu keluarga. Sudah pasti akan memunculkan dampak negatif.
Bagaimana mencegah atau menghilangkan politik dinasti melalui pemilu?Â
Untuk mencegah terjadinya politik dinasti melalui pemilu, regulasi kampanye  dan dana kampanye harus diatur dan diawasi ketat. Jika kedua hal ini terlalu bebas, siapapun yang memilki modal kapital besar akan mendominasi kampanye. Dengan dominasi kampanye, calon-calon yang lain akan menjadi tak setara.
Selain itu, proporsi kampanye harus berimbang. Misalnya di media massa, jam tayang iklan harus berimbang. Masalah beragam bantuan sosial juga sebaiknya dihilangkan menjelang pemilu, karena itu rawan penyelewengan.
Ada yang mengatakan, upaya mencegah politik dinasti di daerah dengan cara penyelenggaraan pilkada tak langsung (melalui DPRD). Anda setuju?
Saya tak setuju. Menurut saya, penyelenggaraan pilkada tak langsung justru mempermudah berkecambahnya politik dinasti. Bisa jadi, di dalam DPRD terdapat keluarga yang bersangkutan. Hal ini akan mudah bagi mereka mengatur hasil pilkada tak langsung itu.
Lalu bagaimana mengantisipasinya?
Pertama, informasi harus disebar secara merata dan lengkap ke seluruh lapisan masyarakat. Kedua, meningkatkan pendidikan masyarakat. Pendidikan masyarakat harus cukup baik tak seperti sekarang. Menurut saya, tak ada pilihan lain untuk menghapus politik dinasti selain dengan pilkada langsung.
Selain itu, sebenarnya di UU Pilkada sudah mengatur calon kepala daerah tak boleh segaris atau keturunan vertikal dengan petahana. Aturan ini sebenarnya sudah cukup baik dari sebelumnya cuma belum banyak diterapkan. Saya yakin undang-undang ini bisa mencegah timbulnya politik dinasti jika dijalankan dengan konsekuen akan efektif. [Nel]