Apa kabar afirmasi perempuan dalam rancangan undang-undang pemilu? Hari Kartini seperti penyadaran untuk tak melupakan perumusan sejumlah pasal dan ayat kepemiluan di dalam parlemen yang belum representatif gender. Rapat perumusan undang-undang yang lebih sering tak bisa diakses pers dan dilakukan malam hari membuat kesan kontradiktif dengan kebutuhan pemilu dan pemerintahan yang sejalan dengan pengarusutamaan gender.
21 April pasca-Reformasi memang tak lagi resmi sebagai Hari Kartini di kalender nasional. Tapi semoga tak menghapus pemahaman kita bahwa negara membutuhkan keterlibatan warga perempuan secara proporsional dalam pemerintahannya. Hak perempuan sebagai warga negara yang dijamin konstitusi cenderung terdistorsi saat dijalankan pemerintahan patriarkis dan timpang gender.
Syarat partai peserta pemilu
Afirmasi perempuan harus diprioritaskan dalam UU pemilu adalah membuat pemilu murah. Caranya, dengan mengubah syarat partai peserta pemilu. Ini lah jantung ketentuan untuk membuat demokrasi, parlemen, dan partai politik menjadi inklusif dan representatif. Pemilu mahal membuat wajah parlemen didominasi lelaki dan pengusaha yang juga didominasi lelaki.
Syarat partai peserta pemilu di UU No.8/2012 dan rancangan UU Pemilu berdasar pada kesekretariatan. Untuk menjadi peserta pemilu DPR dan DPRD partai harus mempunyai kantor berjumlah 100% provinsi, 75% kabupaten/kota, dan 50% kecamatan. Syarat sangat mahal ini akan berdampak pada watak rekrutmen caleg oleh partai yang menerima/mencari orang yang banyak uang dan popular yang jauh lebih banyak bergender lelaki.
Pemilu mahal membuat partai tak perhatian dengan kaderisasi yang representatif gender. Fokus partai adalah, jelang pemilu merekrut orang-orang yang punya banyak uang untuk menutupi pembiayaan kantor partai. Dengan peta sosial yang masih timpang gender dalam hal ekonomi dan politik, partai cenderung memilih lelaki sebagai caleg. Partai memilih perempuan sebagai caleg sebatas menggugurkan kewajiban kuota minimal 30% pencalonan perempuan.
Koalisi advokasi UU Pemilu merekomendasikan kepesertaan pemilu DPR dan DPRD bukan berdasar kepemilikan kantor, melainkan berdasar jumlah anggota sebanyak nilai satu kursi DPR/DPRD. Jika partai mau mengikuti pemilu DPR syarat peserta pemilunya, partai harus punya anggota minimal sebanyak nilai satu kursi DPR. Begitu pun untuk pemilu DPRD yang kepesertaannya berdasarkan banyaknya anggota senilai satu kursi DPRD.
Afirmasi perempuan di Pemilu Presiden
Selain mengubah syarat kepesertaan partai politik pemilu dari berdasar kantor menjadi berdasar anggota, perumusan UU Pemilu jangan sampai melupakan tujuan pemilu serentak yang ingin menguatkan sistem pemerintahan presidensial. Karena itu, jangan lagi syarat pencalonan presiden hanya tersedia melalui jalur partai parlemen dan persyaratan kepemilikan 25% kursi DPR.
Rekomendasi dari afirmasi perempuan di Pemilu Presiden adalah dengan membolehkan pencalonan presiden bagi semua partai peserta pemilu. Jadi, calon presiden bukan cuma dari partai atau gabungan partai parlemen berkursi 25%, bukan cuma partai parlemen berapapu kursinya, tapi juga partai luar parlemen.
Dengan syarat itu, calon presiden tak disandera pengaruh persentase kepemilikan kursi partai. Jika semua partai dibolehkan mencalonkan presiden, perempuan yang calon presiden/wakil presiden jauh lebih mungkin hadir.
Konstitusi masih menghambat calon presiden melalui jalur perseorangan. Sehingga kuasa partai parlemen harus dibuat inklusif dan partisipatif. Pencalonan presiden yang berdasar kepemilikan kursi parlemen 25% akan mendorong intervensi penguasa/pemilik partai dan politik transaksional yang cenderung tak bisa diakses perempuan.
Afirmasi perempuan di DPD
Yang jangan dilupa adalah afirmasi perempuan di pemilu Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Lembaga representasi daerah ini tak lebih diperhatikan karena dua alasan. Pertama, DPD lemah berkewenangan sehingga tak strategis diperhatikan menghasilkan kebijakan kesetaraan gender. Kedua, keterpilihan perempuan di DPD jauh relatif tercapai dengan angka hampir 30% meski tanpa afirmasi khusus dalam regulasi.
Tapi jumlah persentase perempuan di DPD yang hampir 30% malah makin berwatak merepresentasikan partai, bukan daerah, apa lagi perempuan. Pencalonan dan keterpilihan pemilu DPD yang merepresentasikan partai dan masih timpang gender disebabkan beratnya syarat pencalonan DPD.
Rekomendasi afirmasi perempuan di DPD dalam perumusan UU Pemilu adalah penurunan syarat pencalonan pemilu DPD. Ukuran pengumpulan dukungan harus diperkecil dan inklusif, misal: cukup dengan bukti pengakuan sekelompok orang. Dengan begini, sangat mungkin jauh lebih banyak orang, khususnya perempuan berkualitas baik yang bisa mencalonkan dan terpilih.
Gelap belum habis bagi perempuan untuk menuju terang. Rancangan UU pemilu harus dijamin penerangan akses keterlibatan agar aspiratif terhadap agenda keterwakilan perempuan. Karena getir ketakadilan masih dirasa saat kita mengingat dan mengucap “Selamat Hari Kartini”. []
USEP HASAN SADIKIN