November 15, 2024

Veri Junaidi: MK adalah Mahkamah Kepercayaan

Tertangkapnya ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar di kasus penyuapan penyelesaian sengketa Pilkada Kabupaten Lebak semakin memperjelas ada perbedaan pandangan menyertai pihak dalam hal penegakan hukum pemilu. Pihak pertama ingin penyelesaian sengketa pilkada berada pada MK. Sedangkan pihak kedua ingin sengketa pemilihan kepala daerah itu di selesaikan ke Mahkamah Agung yang sebelumnya melalui Pengadilan Tinggi Usaha Negara di daerah. Untuk mendapat penjelasan hal ini rumahpemilu.org melakukan diskusi dan wawancara dengan pengamat penegakan hukum pemilu, Veri Junaidi di sekretariat Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Jakarta Selatan (9/10). Sebelumnya Veri menulis tesis berjudul “Mahkamah Konstitusi Bukan Mahkamah Kalkulator” yang kemudian diterbitkan Perludem menjadi buku. Menarik diperbincangkan untuk bersikap di tengah wacana kewenangan penyelesaian sengketa pilkada. Berikut hasil diskusi dan wawancaranya:

Apa dasar MK harus tetap memegang kewenangan menyelesaikan sengketa pilkada?

Tertangkap tangannya ketua MK, Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan, MK merupakan lembaga yang lebih mudah diawasi. Salah satu alasan pengalihan kewenangan sengketa di MA karena MK adalah karena di MA sulit diawasi. MK telah menguasai mekanisme kerja dan bersifat terbuka sehingga kepercayaan masih dimiliki MK. Ini yang pertama.

Yang kedua, demi keberlanjutan sistem. Kita tetap harus percaya pada MK. Keberlanjutan sistem yang sebelumnya dirintis dan diterapkan MK akan melahirkan sistem yang ajeg dan matang. Jika wewenang MK dicabut dan diserahkan kembali pada MA, maka negara tidak akan memiliki sistem yang matang. Selain itu, MK tidak hanya menyelesaikan rekapitulasi suara dari KPU, tapi juga masuk ke wilayah masalah lain-lain. Hal ini disebabkan karena banyaknya kasus pidana pilkada yang tidak teratasi di tingkat bawah.

Tadi mengutip tertangkapnya Akil Mochtar, tak menjadikan kepercayaan MK hilang?

Saya justru senang. Saya teriak hore. Akhirnya, MK bisa dibersihkan. Permasalah kita adalah bukan hanya pengawasan MK, tapi rekrutmen hakim MK. KPK akhirnya bisa membuktikan. Ini justru momentum kita untuk perbaikan. Saya malah semakin optimis.

Kedepannya hakim untuk MK jangan berasal dari partai. Penekanan ini menjadi lebih jelas pentingnya terkait tertangkap tangannya ketua MK, Akil Mochtar yang tak hanya merupakan pilihan partai tapi juga berasal dari partai.

Selain yang sudah disebutkan, apa penjelasan lain yang kemudian menyimpulkan kewenangan penyelesaian sengketa pilkada tak layak diberikan ke MA?

Di MA bukan tanpa masalah. Malah lebih bermasalah. Jurstru dasar banyaknya permasalahan penyelesaian sengketa pilkada di MA lah yang menjadikan pengalihan ke MK. Jika mau lebih jelas bisa merujuk pada buku yang ditulis Topo Santoso dan Saldi Isra pada 2005. Judulnya “Kepala Daerah Pilihan Hakim”. Dari isi buku itu kita bisa tahu, tak ada kejelasan proses penyelesaian sengketa di PTUN kemudian berakhir di MA. Sehingga bisa disimpulkan hakim lah yang memilih kepala daerah.

Salah satu yang menarik adalah kasus Pilkada Gorontalo. Penyelesaian sengketa yang berlarut-larut menghantarkan pada masa di mana Gorontalo mengalami kekosongan pemerintahan.

MA sendiri telah memiliki ribuan tunggakkan hukum perdata. Dengan melemparkan sengketa pilkada kepada MA, sama halnya dengan menambah tunggakkan MA. Beban perkara di MA begitu besar. Banyak. Kita bisa lihat laporan akhir 2012. Di tingkat pertama ada 284.334 kasus tingkat 1959.

Selain itu, penyelesaian sengketa di MA yang sebelumnya melalui PTUN akan mengundang unjuk kekuatan massa dan rentan kerusuhan. Independensi hakim bisa dipertanyakan saat dihadapkan dengan tekanan massa. Kita bisa dibayangkan jika Ratu Atut terlibat dalam penyuapan sengketa pilkada. Di depan gedung pengadilan aka nada massa yang mengancam pelaku sidang jika hasil sidang tak sesuai harapan. Apa lagi jika kekuatan massa berimbang, seperti di Banten, yang pro dan kontra Atut akan terjadi bentrok massa.

Jika penyelesaian sengketa pilkada di MK, kita bisa tahu dan memahami. MK bisa meredam konflik. Menjauhkan penyelesaian sengketa dari tempat sengketa terjadi, akan menjernihkan dan menjamin independensi hakim dari tekanan dalam memutuskan hasil sidang.

Penyelesaian sengketa pilkada di MK lebih terukur, maksudnya?

Pelanggaran sistematis, terukur, dan massif (STM). Ini menjadi dasar MK menerabas kewenangan sempit yang dimandatkan undang-undang. Menggunakan pendekatan fungsional penegak konstitusi dan pengawal demokrasi, MK menjatuhkan sanksi demi mengembalikan kedaulatan rakyat.

Pelanggaran terstruktur dan sistematis adalah pelanggaran yang tidak secara kebetulan dan tak berlangsung sendiri-sendiri, ada perencanaan dan diatur. Pelanggaran ini ada komponen yang bekerja melakukannya di berbagai tingkat dan tempat sesuai pembagian tugas. Dan tentu saja ini diperuntukan mencapai kemenangan kandidat.

Sedangkan masif adalah pelanggaran berskala luas yang karena jangkauannya maka dapat mempengaruhi hasil pemilu. Pelanggaran masif terjadi apabila terbukti dilakukan secara luas, dahsyat, dan merusak serta menghancurkan keadilan dan persamaan hak dan pemilu itu sendiri.

Bentuk konkret pelanggaran STM bermacam-macam. Bisa berupa penggelembungan suara atau penggembosan suara. Ada juga coblos tembus. Macam-macam politik uang seperti pascabayar, bayar tunai, atau menjadikan pemilh sebagai relawan seperti di Kabupaten Kotawaringin Barat. Atau politisasi birokrasi biasa dilakukan petahana melalui kebijakan Bansos, janji pengangkatan jabatan. Bisa juga intimidasi. Atau yang juga belakangan terjadi adalah koreksi administrasi persyaratan calon. []